studi ilmu hadist
Khusniati
Rofiah, M.Si
Studi Ilmu Hadis
STUDI
ILMU HADIS
Penulis:
Khusniati Rofiah, M.Si
Editor:
Muhammad
Junaidi, M.H.I
Desain Cover:
Aura Latifa
Layout:
Audina
Perpustakaan
Nasional Katalog Dalam Terbitan (KDT):
x+196 hlm.; 14.5x20 cm ISBN: 978-979-3946-80-1
Cetakan II, Maret 2018
Diterbitkan oleh:
IAIN
PO Press
Jl. Pramuka No.156
Ponorogo 63471
Tlpn.
(0352) 481277, 462972 Fax. (0352) 461893
Dicetak oleh:
Nadi Offset Jl. Nakulo No. 19A, Pugeran,
Sleman, Yogyakarta Telp. (0274) 4333626/081578626131/081392868382
email: kantornadi@gmail.com
Sanksi Pelanggaran
Pasal 113 Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Setiap orang yang dengan tanpa hak
dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf e, dan/atau huruf g, untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah)
Isi tulisan menjadi
tanggungjawab penulis
Kata Pengantar
Puji Syukur
senantiasa kami panjatkan kepada Allah SWT, atas segala karunia dan inayahNya,
penulis dapat menyelesaikan penulisan buku yang berjudul STUDI ILMU HADIS ini. Shalawat dan salam semoga selamanya
tercurahkan kepada Rasul saw, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya.
Ilmu Hadis
merupakan disiplin ilmu yang sangat penting, karena tanpa ilmu hadis maka
mustahil hadis bisa dipelajari dan dikaji dengan benar sesuai dengan
metodologinya. Dari fungsinya terhadap hadis,
dapat diibaratkan bagaikan ilmu tafsir
terhadap Al-Qur’an. Pemahaman Al-Qur’an tanpa menggunakan ilmu tafsir akan sulit
untuk dilakukan. Demikian
juga ilmu hadis terhadap hadis.
Buku ini
kami susun berisikan tentang materi-materi yang kami sampaikan dalam
perkuliahan dan kami sajikan sesuai dengan silabus yang ada. Sehingga buku ini
dapat dijadikan sebagai referensi atau bahan rujukan perkuliahan mahasiswa
dalam mata kuliah Ulumul Hadis.
Dengan
terselesaikannya penulisan buku ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih
kepada semua pihak, terutama kepada teman-teman seangkatan yang telah banyak
memberikan Support untuk menerbitkan buku ini.
Buku ini penulis susun berdasarkan sumber bacaan
yang penulis baca dan penulis pelajari, dengan segala keterbatasannya. Sehingga di dalamnya masih
banyak kesalahan dan kekurangan.
Demi penyempurnaan buku ini, penulis sangat mengharapkan kritikan dan masukan yang membangun, sehingga
di kemudian hari buku ini dapat disajikan dengan
lebih baik dan lengkap.
Akhirnya,
semoga buku ini dapat menjadi pelengkap referensi-referensi lainnya
yang sudah ada dalam bidang
ulumul hadis dan bermanfaat bagi mahasiswa dan kalangan yang berhasrat
mendalami bidang Ulumul Hadis.
Ponorogo,
Maret 2017
Sambutan Dekan Fakultas Sariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ponorogo
Bismillahi al-Rahman al-Rahim
Puji Syukur
senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karunia dan inayahNya
kepada kita sehingga kita dapat menjalani kehidupan ini. Shalawat dan salam
semoga selamanya tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat
dan seluruh pengikutnya.
Penulisan
buku ajar merupakan bagian dari peningkatan proses belajar mengajar untuk meningkatkan kualitas
dan mutu pendidikan Fakultas Syariah khususnya dan
pendidikan di IAIN pada umumnya.
Dengan terbitnya buku ajar STUDI
ILMU HADIS ini,
meski- pun hadir dalam bentuk yang sederhana namun diharapkan
mampu memberikan manfaat
bagi dosen dan mahasiswa sehingga proses belajar mengajar dapat
mencapai hasil yang diharapkan.
Semoga Allah SWT meridloi
setiap amal kebajikan yang kita tanam dan menjadi manfaat bagi kita semua.
Amin.
Ponorogo, Maret
2017 Dekan Fakultas Syariah Dr. H. Moh. Munir, M.Ag
Kata Pengantar.............................................................................. iii
Sambutan Dekan Fakultas Sariah.................................................... v
Institut Agama Islam
Negeri............................................................ v
(IAIN) Ponorogo............................................................................ v
Daftar isi...................................................................................... vii
BAB I Hadis Dan Ruang Lingkupnya....................................... 1
A. Pengertian Hadits...................................................... 1
B. Sinonim Hadis.......................................................... 4
C. Bentuk-Bentuk Hadist............................................ 12
D. Struktur Hadits........................................................ 15
E. Model Periwayatan Hadis....................................... 17
BAB
II Hadis dan
Hubungannya Dengan Al-Qur’an............... 21
Kompetensi Dasar:...................................................... 21
A. Kedudukan Hadits dalam
Islam............................... 21
B. Fungsi Hadits Terhadap
Al-Qur’an......................... 26
C.
Perbedaan antara Hadis Nabawi,
Hadis Qudsi
dan Al-Qur’a>n. ...................................................... 36
BAB
III Golongan Inkar As-Sunnah.......................................... 47
A. Pengertian Inka>r
As-Sunnah. ................................. 48
B. Latar Belakang
dan Sejarah Perkembangan Golongan Inka>r As-Sunnah. 51
C. Ajaran-Ajaran Inkar
As-Sunnah.............................. 59
BAB
IV Sejarah Perkembangan Hadis....................................... 67
A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW......................... 67
B. H}adi>th Pada Masa S}ah}a>bat .................................... 76
C. H}adi>th Pada Masa Ta>bi’i>n .................................... 79
D. Hadis Pada Masa
Kodifikasi dan Sesudahnya......... 82
BAB
V Ulumul Hadis Dan Cabang-Cabangnya....................... 99
A. Pengertian Ilmu Hadist............................................ 99
B. Cabang-Cabang Ulumul
Hadis.............................. 103
C. Sejarah
Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Hadis. 110
BAB VI Pembagian Hadist Berdasarkan Kuantitas Sanad....... 117
A. Hadits Mutawatir.................................................. 118
B. Hadis Ahad........................................................... 124
BAB
VII Pembagian Hadis
Berdasarkan Kualitas Sanad........... 133
A. Hadits Ahad Yang Maqbul.................................... 134
B. Hadits Ahad Yang Mardud................................... 136
C. Hadits Shahih........................................................ 136
D. Hadits Hasan........................................................ 144
E. Hadis Dlaif........................................................... 146
F. Hadis Maudhu’..................................................... 150
BAB VIII Proses Penerimaan dan Penyampaian
Hadis (Tahammul dan ‘Ada al-Hadis) 155
A.
Penerimaan dan Penyampaian Periwayatan......... 155
B.
Metode Mempelajari Hadis (Tahammul
wa Ada al- Hadis) 160
BAB IX Ilmu al-Jarh wat-Ta’dil.............................................. 165
A. Pengertian Ilmu Jarh Wat-Ta’dil.......................... 165
B. Urgensi Ilmu Al-Jarh
wat-Ta’dil............................ 166
C. Cara Mengetahui
Kecacatan dan Keadilan
Perawi................................................................... 168
D. Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
Wat-Ta’dil................ 169
E. Perlawanan
antara Jahr dan Ta’dil........................ 171
F. Kitab-Kitab Al-Jarh
wat-Ta’dil............................. 172
BAB
X Ilmu Takhrij Hadis.................................................... 177
A. Pengertian Takhrij
al-Hadits.................................. 178
B. Latar Belakang
Munculnya Ilmu Takhrij
al-Hadits................................................................ 179
C. Tujuan dan
Manfaat Takhrij al-Hadits................... 180
D.
Proses dan Metode Takhrij
al-Hadits..................... 180
1.
Proses Takhrij Hadis............................................. 180
2.
Syarat Hadis yang ditakhrij................................... 180
3.
Metode-Metode Takhrij......................................... 181
E. Kitab-Kitab Tahkhrij
Hadis:................................. 188
Daftar Pustaka............................................................................ 191
Peta Konsep
Hadis Dan Ruang
Lingkupnya
Kompetensi
Dasar:
Mahasiswa
mampu menjelaskan pengertian hadis dan sinonimnya,
bentuk-bentuk hadis, unsur-unsur pembentuk hadis,
metode periwayatan, serta istilah-istilah yang
digunakan dalam meriwayatkan hadis.
A. Pengertian Hadits
Secara
etimologi, hadis adalah kata benda (isim) dari kata al-Tahdis yang berarti pembicaraan. Kata hadits mempunyai beberapa
arti; yaitu
1.
“Jadid” (baru), sebagai lawan dari kata”qadim” (terdahulu). Dalam hal ini yang dimaksud qadim adalah kitab Allah,
sedangkan
yang dimaksud jadid adalah hadis Nabi saw.1
Namun dalam rumusan lain mengatakan bahwa Al-Qur’an disebut
wahyu yang matluw karena dibacakan oleh Malaikat Jibril, sedangkan hadis adalah
wahyu yang ghair matluw
sebab tidak dibacakan oleh malaikat Jibril. Nah, kalau keduanya sama-sama wahyu, maka dikotomi, yang satu
qadim dan lainnya jadid tidak perlu ada.2
2.
“Qarib”,
yang berarti dekat atau dalam waktu dekat belum lama,
3.
“Khabar”,
yang berarti warta berita yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang kepada seseorang. Hadis selalu menggunakan ungkapan و ,حدثنا ,أخربنا أنبأنا (megabarkan kepada kami,
memberitahu kepada kami dan
menceritakan kepada kami. Dari makna terakhir inilah diambil perkataan “hadits Rasulullah” yang jamaknya “aha>di>ts.3
Allah-pun, memakai kata hadits dengan arti khabar dalam
firman-Nya:
ني ٤٣
صاد ِق
كنُوا
ِل ِه ِإ ْن مثْ
بَ ِديث
فَلْيَأْتُوا
Artinya: “Maka hendaklah
mereka mendatangkan suatu khabar yang sepertinya jika mereka orang
benar”.(QS.52:34).
Sedangkan pengertian hadits secara terminologi, maka terjadi
perbedaan antara pendapat
antara ahli hadits
dengan ahli ushul. Ulama ahli hadits ada
yang memberikan pengertian hadis secara
1 Subhi As-shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995), 22
2
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis
dan Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 2003), 2
3 Shubhi
al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuh,
(Beirut, Dar al-‘Ilm li al- Malayin, 1969), 4
terbatas (sempit) dan ada yang
memberikan pengertian secara luas. Pengertian hadis secara terbatas diantaranya
sebagaimana yang diberikan oleh Mahmud Tahhan adalah:
صفة أو
تقرير أو
فعل أو
قول من
وسلم عليه
اهلل صىل
انليب إىل
أضيف ما “Sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan atau persetujuan atau sifat”.4
Ulama hadis yang lain
memberikan pengertian hadis sebagai berikut :
اقواهل صىل اهلل
عليه وسلم وافعاهل واحوهل segala dan perbuatan segala SAW, Nabi ucapan “Segala
keadaanya.”
Sedangkan
pengertian hadis secara luas sebagaimana yang diberikan oleh sebagian ulama
seperti Ath Thiby berpendapat bahwa hadits itu tidak hanya meliputi sabda Nabi,
perbuatan dan taqrir beliau (hadis marfu’),
juga meliputi sabda, perbuatan dan taqrir para sahabat (hadis mauquf), serta dari tabi’in (hadis maqthu’).5
Sedang menurut ahli ushul, hadits adalah:
اقواهل صىل اهلل عليه وسلم وافعاهل
وتقاريره مما يتعلق
به حكم بنا SAW nabi taqrir segala dan perbuatan segala perkataan, “Segala
hukum”.6 dengan paut bersangkut
yang
Dari pengertian yang diberikan oleh ahli ushul
fiqih di
4 Mahmud al-Tahhan, Taysir Mushthalah al-hadis, (Beirut : Dar al-Tsaqafah
al-islamiyah, tth.), 15
5 M. Hasby As
Shidiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Semarang : Thoha Putra, 1994), 4
6
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, 3
atas, berarti informasi tentang kehidupan Nabi
ketika masih kecil, kebiasaan, kesukaan makan dan pakaian yang tidak ada relevansinya dengan hukum, maka
tidak disebut sebagai hadis.
B. Sinonim Hadis
Ada beberapa
istilah lain yang merupakan sinonim
dari kata hadis, yaitu sunnah, khabar
dan atsar.
1.
Pengertian Sunnah
Secara
etimologis, sunnah berarti perjalanan yang pernah ditempuh.Dalam istilah Arab, sunnah berarti “preseden” yang
kemudian ditiru orang lain, apakah sezaman atau sesudahnya; tidak dipersoalkan
apakah sunnah itu baik atau buruk. Dalam bahasa
Eropa sunnah diartikan dengan “tradition” atau “adat istiadat dalam bahasa Indonesia.7 Jamaknya
adalah “Sunan”. Sebagaimana sabda
Nabi SAW.:
من سن ستة
حسنة فله اجرها واجرمن
عمل بما اىل
يوم القيامة ومن
سن سنة سيئة
القيامة يوم
اىل بها
عمل من
ووزر وزرها فعلية “Barang siapa mengadakan
sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala
orang lain yang mengerjakanya hingga hari kiamat. Dan barang siapa yang
mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk maka atasnya dosa membuat orang
yang mengerjakannya hingga
hari kiamat.” (H.R. Bukhari
Muslim).
7 Pengertian sunnah yang demikian sudah berkembang pada masa Jahiliyyah,
sehingga diantara para orientalis ada yang memahami sunnah sebagai warisan
jahiliyyah karena istilah sunnah dinisbatkan kepada siapa saja yang memulai.
Muh. Zuhri, Telaah Matan Hadis Sebuah Tawaran Metodologis, (Yogyakarta : LESFI,
2003), 21-21
Pengertian
Sunnah secara terminologi menjadi beragam di kalangan para pengkaji syari’at,
sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing. Ada ulama yang mengartikan
sama de- ngan hadits, dan ada ulama yang membedakannya, bahkan ada yang memberi
syarat-syarat tertentu, yang
berbeda dengan istilah hadits.
Sunnah
menurut istilah muhadditsin (ahli-ahli hadits) pengertiannya sama dengan
pengertian hadis, ialah :
لك ما أثر عن انليب
صيل اهلل عليه
و سلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقية
بعدها أم
ابلعثة قبل
ذالك أكان
سواء سرية
أو خلقية
أو “Segala
yang dinukilkan dari Nabi SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW., dibangkitkan menjadi
Rasul, maupun sesudahnya”.8
Ulama hadis
mendefinisikan sunnah sebagaimana di atas, karena mereka memandang diri Rasul
SAW., sebagai uswatun hasanah atau qudwah (contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan sebagai sumber hukum.
Kapasitas beliau sebagai imam yang memberi petunjuk dan penuntun yang
memberikan nasihat yang diberitakan oleh Allah SAW serta sebagai teladan dan
figur bagi kita. Hal ini didasarkan pada firman Allah surat al-Ahzab ayat 21,
sebagai berikut :
حسنَ ٌة
أُ ْس َو ٌة هلل َّ
ُسول ا ر
ْم ِف ك
ك َن لَ
لَ َق ْد
“Sesungguhnya telah ada pada
diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. (Q.S. Al-Ahzab : 21)
8
Abbas Mutawali Hamadah, As-Sunnah
an-Nabawiyah wa Makanatuh fi at-
Tasyri’,
(Kairo : Dar al-Qauniyah, t.t), 23
Ulama Hadits
membicarakan segala sesuatu yang berhubu-
ngan dengan Nabi Muhammad SAW.,
baik yang ada hubungan-
nya dengan ketetapan hukum syariat
Islam maupun tidak.
Olah karena itu, mereka
menerima dan meriwayatkannya secara utuh segala berita
yang diterima tentang
diri Rasul SAW.,
tanpa mem- bedakan apakah
(yang diberitakan itu) isinya berkaitan dengan penetapan hukum syara’ atau
tidak. Begitu juga mereka tidak melakukan pemilihan untuk keperluan tersebut,
apabila ucapan atau
perbuatannya itu dilakukan sebelum diutus menjadi Rasul SAW., atau sesudahnya.
Sementara
itu ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah
berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh ulama hadis. Pengertian sunnah
menurut ulama hadis adalah :
لك ما صدر عن انليب ص م غري القرأن الكريم من قول أو فعل أو تقرير مما يصلح
رشيع حلكم
ديلال يكون
أن “Segala
yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., selain Al-qur’an al-Karim, baik berupa
perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi
penetapan hukum syara”. 9
Ulama Ushul Fiqih memberikan pengertian sunnah sebagai- mana diuraikan di atas,
dikarenakan ulama ushul
fiqh membahas segala sesuatu
dari Rasul SAW. dalam kapasitas beliau sebagai
pembentuk syari’at atau musyarri’,
artinya pembuat undang- undang wetgever di samping Allah, yang menjelaskan
kepada manusia undang-undang kehidupan dan meletakkan kaedah- kaedah bagi para
mujtahid sepeninggal beliau. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Hasyr
ayat 7 yang berbunyi:
9
Ajjaj al-Khatib, Ushul, 19
عنْ ُه فَانتَ ُهوا
َهاك ْم ن
و َما
ُذو ُه خ
و َما آتَاك ُم الر ُسول فَ
“.....Apa yang diberikan oleh
Rasul, maka ambillah atau kerjakanlah. Dan apa yang dilarang oleh Rasul
jauhilah”.
Menurut T.M.
Hasbi Ash Shiddieqy, makna inilah yang diberikan kepada perkataan Sunnah dalam
sabda Nabi, sebagai berikut:
تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبدا ما إن تمسكتم بهما كتاب اهلل و سنت رسوهل
) احلاكم رواه( “Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kamu sesat selama kamu
berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (H.R. Al-Hakim).
Ulama Fiqh,
memandang sunnah ialah “perbuatan yang di- lakukan dalam agama, tetapi
tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Atau dengan kata lain sunnah yang
merupakan antonim dari wajib adalah suatu amalan yang diberi pahala apabila
dikerjakan, dan tidak dituntut apabila ditinggalkan. . Mereka membahas segala
sesuatu dari nabi SAW yang menunjukkan ketentuan syara’ yang berkenaan dengan
perbuatan manusia baik dari segi wajib, mubah, atau yang lain.10
Menurut para ulama sunnah
adalah lawan dari
bid’ah. Bid’ah, menurut
bahasa memiliki beberapa makna, yaitu; penemuan terbaru, sesuatu yang sangat
indah, dan lelah. Sedang menurut pengertian agama bid’ah adalah :
“Apapun yang terjadi setelah Rasulullah wafat berupa kebaikan atau sebaliknya, dan tidak mempunyai dalil syara’ yang jelas”.
10
Mustafa al-Siba’I, As-Sunnah wa makanatuhu fi at-Tasyri’, (Kairo : Dar
al-Qaumiyah, 1949), 61
Imam
Syatibi, dalam kitabnya al-’Atisham, mengartikan bid- ’ah itu dalam bahasa
sebagai penemuan terbaru. Dengan demi- kian, bid’ah adalah suatu pekerjaan yang
belum ada contohnya, atau pekerjaan-pekerjaan yang diada-adakan dalam Agama dan
dipandang indah oleh yang mengadakannya.
Sementara golongan
ahli Ushul memiliki
dua pandapat ber- kaitan dengan pengertian bid’ah. Pendapat pertama,
yaitu golo- ngan yang memasukkan segala urusan yang diada-adakan dalam soal ibadat saja ke dalam bid’ah.
Pendapat kedua, golongan yang memasukkan dalam kata bid’ah segala urusan yang sengaja diada- adakan, baik
dalam urusan ‘Ibadah, maupun dalam urusan
‘Adat. Sedangkan golongan Ahli Fuqaha juga mempunyai dua pendapat. Perdapat
pertama yang memandang
bid’ah ; segala perbuatan yang
tercela saja, yang
menyalahi kitab, atau
Sunnah, atau Ijma’. Pendapat
yang kedua, memandang bid’ah segala yang diada-adakan
sesudah Nabi, baik kebajikan maupun kejahatan,
baik ibadah maupun adat (urusan keduniaan).
Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat
disim- pulkan bahwa Bid’ah
segala sesuatu yang
diada-adakan sesudah Nabi
wafat, untuk dijadikan syara’ dan Agama, pada hal yang diada-adakan itu tak ada
dalam Agama; diada-adakan itu pula sesuatu syubhat (yang
menyamarkan), atau karena
sesuatu ta’wil. Walaupun dalam
pembagian Bid’ah ada bid’ah mahmudah
dan bid’ah mazmumah atau
ada bid’ah hasanah
dan bid’ah sayyiah.
Menurut
Fazlur Rahman, sunnah adalah praktek aktual yang karena telah lama
ditegakkan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya memperoleh status
normatif dan menjadi sunnah. Sunnah adalah
sebuah konsep perilaku, maka sesuatu yang
secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk waktu yang cukup lama
tidak hanya dipandang sebagai
praktek yang aktual tetapi juga sebagai praktek yang normatif dari masyarakat
tersebut.
Menurut
Ajjaj al-Khathib, bila kata Sunnah diterapkan ke dalam masalah-masalah hukum
syara’, maka yang dimaksud de- ngan kata sunnah di sini, ialah segala sesuatu
yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Rasulullah SAW., baik berupa
perkataan maupun perbuatannya. Dengan demikian, apabila dalam dalil hukum
syara’ disebutkan al-Kitab dan as-Sunnah, maka yang dimaksudkannya adalah
al-Qur’an dan Hadits.11
Menurut Dr.Taufiq dalam kitabnya Dinullah fi Kutubi Ambi- yah menerangkan bahwa Sunnah
ialah suatu jalan
yang dilakukan atau
dipraktekan oleh Nabi secara kontinyu dan diikuti oleh para sahabatnya;
sedangkan Hadits ialah ucapan-ucapan Nabi yang diriwayatkan oleh seseorang, dua
atau tiga orang perawi, dan tidak ada yang mengetahui ucapan-ucapan tersebut
selain mereka sendiri.
Perbedaan
hadis dan sunnah, jika penyandaran sesuatu kepada Nabi walaupun baru satu kali
dikerjakan bahkan masih berupa azam menurujt sebagian ulama disebut hadis bukan sunnah. Sunnah harus sudah berulang kali
atau menjadi kebia- saan yang telah
dilakukan Rasul. Perbedaan lain, Hadis menurut sebagian ulama ushul fiqih
identik dengan sunnah
qauliyah saja, karena
melihat hadis hanya berbentuk perkataan sedangkan sunnah berbentuk tindakan atau
perbuatan yang telah
mentradisi.
2.
Pengertian Khabar
Khabar menurut bahasa
adalah warta berita
yang disampaikan dari seseorang, jamaknya: “Akhbar”. Secara
istilah menurut
11 Muhammad Ajjaj
al-Khatib, Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa
Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), 18
ulama hadits merupakan sinonim
dari hadits yakni. segala yang datang dari Nabi, sahabat dan tabi’in. Keduanya
mencakup yang marfu’, mauquf, dan maqtu’.12
Sebagaian ulama
mengatakan hadits adalah
apa yang datang dari Nabi SAW. Sedang khabar
adalah apa yang datang dari selain Nabi SAW. Oleh karena itu orang yang sibuk
dengan sunnah disebut “Muhaddits”, sedang yang sibuk dengan sejarah dan sejenisnya disebut “Akhbariy”.13
Dikatakan
bahwa antara hadits dan khabar terdapat makna umum dan khusus yang mutlak. Jadi
setiap hadits adalah khabar tetapi tidak sebaliknya.
3.
Pengertian Atsar
Atsar menurut
bahasa adalah “bekas
sesuatu atau sisa sesuatu”
berarti nukilan. Jamaknya atsar atau utsur. Sedang menurut istilah jumhur ulama artinya sama dengan
khabar dan hadits. Para fuqaha
memakai perkataan atsar untuk perkataan ulama
salaf, sahabat, tabi’in
dan lain-lain. Ada yang mengatakan atsar lebih umum daripada khabar.14 Imam Nawawi menerangkan: bahwa fuqaha khurasan menamai
perkataan sahabat (mauquf) dengan atsar dan menamai hadist
Nabi (marfu’) dengan
kabar.
4.
Perbedaan Hadits dengan as-Sunnah, al-Khabar, dan
al- Atsar
Dari keempat
istilah yaitu Hadits,
Sunnah, Khabar, dan Atsar,
menurut jumhur ulama Hadits dapat dipergunakan untuk mak-
12
M. Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, 8
13 Jalaludin as-Suyuti, Tadrib
ar-Rawy, (Kairo : Maktabah al-Kahiroh, 1956), 6
14
M. Hasby ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, 15
sud yang sama, yaitu bahwa hadits
disebut juga dengan sunnah,
khabar atau atsar. Begitu pula halnya sunnah, dapat disebut dengan hadits, khabar dan atsar. Maka
Hadits Mutawatir dapat juga disebut dengan
Sunnah Mutawatir atau Khabar Mutawatir. Begitu juga Hadits Shahih
dapat disebut dengan
Sunnah Shahih, Khabar Shahih,
dan Atsar Shahih.
Tetapi
berdasarkan penjelasan mengenai Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
ada sedikit perbedaan yang perlu diperhatikan antara hadits dan sunnah
menurut pendapat dan pandangan ulama, baik
ulama hadits maupun
ulama ushul dan
juga perbedaan antara hadits
dengan khabar dan atsar dari
penjelasan ulama yang telah dibahas. Perbedaan-perbedaan
pendapat ulama tersebut dapat
disimpulkan sebagai berikut : (a) Hadits dan Sunnah : Hadits terbatas
pada perkataan, perbuatan, taqrir yang bersumber dari Nabi SAW, sedangkan Sunnah segala yang bersumber dari Nabi
SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir,
tabiat, budi pekerti, atau perjalan hidupnya,
baik sebelum diangkat
menjadi Rasul maupun sesudahnya. (b) Hadits dan Khabar : Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa Khabar
sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada selain Nabi
SAW., Hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan kepada
Nabi SAW. Tetapi ada ulama yang mengatakan Khabar lebih umum
daripada Hadits, karena
perkataan khabar merupakan segala yang diriwayatkan, baik dari Nabi SAW.,
maupun dari yang selainnya, sedangkan hadits
khusus bagi yang diriwayatkan dari Nabi SAW. saja. “Ada juga pendapat yang mengatakan, khabar dan hadits,
diithlaqkan kepada yang sampai dari Nabi saja, sedangkan yang diterima dari
sahabat dinamai Atsar”.
(c) Hadits dan Atsar : Jumhur ulama berpendapat bahwa Atsar sama artinya
dengan khabar dan
Hadits. Ada juga ulama yang berpendapat
bahwa Atsar sama dengan Khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
SAW., sahabat dan tabi’in. “Az Zarkasyi, memakai kata atsar untuk hadits
mauquf. Namun membolehkan memakainya untuk perkataan Rasul SAW.
Dari
penjelasan di atas maka tampaklah ada persamaan dan perbedaan antara pengertian hadis dan sinonimnya. Perbedaannya sebagai berikut :
• Hadis adalah:
segala yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad Saw, baik
berupa perkataan (qauly), perbuatan (fi’ly), maupun ketetapan (taqriry).
• Sunnah: segala yang
diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan
oleh Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkatan maupun perbuatan dan merupakan kebiasaan yang dilakukan berulang kali..
•
Khabar adalah sesuatu
yang datang dari
selain Nabi
• Atsar adalah
sesuatu yang berasal
dari sahabat Nabi.
C. Bentuk-Bentuk Hadist
Sesuai dengan definisi hadist di atas, maka bentuk-bentuk
hadist dapat digolongkan sebagai berikut:
1.
Hadist Qouli
Yang
dimaksud dengan hadist qouli adalah segala perkataan Nabi SAW yang berisi
berbagai tuntutan dan petunjuk syara’, peristiwa-peristiwa dan kisah-kisah baik
yang berkaitan dengan aspek akidah, syariah maupun akhlak.
Misalnya sabda beliau:
... مانوي امرئ للك
وإنما بانليات
األعمال انما “Sesungguhnya keberadaan
amal-amal itu tergantung niatnya. Dan seseorang hanyalah akan mendapatkan
sesuatu sesuai niatnya.”
Menurut rangkingnya, hadist qauli menempati urutan
pertama dari bentuk-bentuk hadist lainnya. Urutan ini menunjukkan
kualitas hadits qouli menempati kualitas pertama, diatas
hadits fi’li dan taqriri.
2.
Hadits Fi’il
Yang
dimaksud hadits fi’li adalah segala
perbuatan Nabi SAW. yang menjadi
anutan perilaku para,
sahabat pada saat itu,
dan menjadi keharusan bagi semua umat Islam untuk mengi- kutinya, seperti praktek
wudlu, praktek salat lima waktu dengan
sikap-sikap dan rukun-rukunnya, praktek manasik haji, cara, memberikan keputusan berdasarkan sumpah dan saksi, dan lain-
lain.
3.
Hadits Taqriri
Hadits Taqriri adalah hadits yang berupa, ketetapan Nabi SAW.
terhadap apa yang datang atau yang dikemukakan oleh para sahabatnya dan Nabi SAW membiarkan atau mendiamkan
perbuatan tersebut, tanpa, membedakan penegasan apakah beliau membenarkan atau mempersalahkannya. Yang
bersumber dari sahabat yang mendapat pengakuan dan persetujuan dari Nabi SAW itu dianggap
bersumber dari beliau.
Misalnya, riwayat yang ditakhfi
oleh Abu Dawud dan An Nasa’i dari Abu Said
al Khudry ra. Bahwasanya ada dua perang
yang keluar rumah
untuk
bepergian tanpa memiliki
persediaan air. Lalu, tibalah waktu shalat. Kemudian keduanya bertayamum dengan
debu yang baik, lalu melakukan shalat.
Beberapa, saat kemudian keduanya mendapatkan air, masih dalam waktu shalat
tersebut. Yang satu mengulang wudlu dan shalatnya, sedang
yang lain tidak. Kemudian keduanya datang menghadap Nabi SAW melaporkan perihal
keduanya lalu kepada yang tidak mengulang, beliau bersabda: “Engkau telah mengerjakan sunnah (ku).
Dan kepada yang mengulang, beliau bersabda: “Engkau mendapatkan pahala dua kali lipat.”
4.
Hadits Hammi
Hadits Hammi
adalah hadits yang berupa keinginan atau hasrat Nabi SAW yang belum
terealisasikan. Walaupun hal ini
baru rencana dan belum dilakukan oleh Nabi, para ulama memasukkannya pada
hadis, karena Nabi tidak merencanakan sesuatu kecuali yang benar dan dicintai
dalam agama, dituntut dalam syari’at Islam
dan beliau diutus
untuk menjelaskan syariat Islam. Contoh hadis hammi seperti
halnya hasrat berpuasa tanggal 9 Asyura yang belum sempat dijalankan oleh Nabi
SAW karena beliau wafat sebelum datang bulan Asyura tahun berikutnya, mengambil sepertiga dari hasil
kebun madinah untuk kemaslahatan perang
al-Ahzab, dan lain-lain.15
5.
Hadits Ahwal
Yang dimaksud dengan
hadits ahwali ialah yang berupa
hal ihwal Nabi SAW yang tidak
temasuk ke dalam
kategori ke empat hadits di atas. Ulama
hadits menerangkan bahwa
yang termasuk
15
M. Ibrahim al-Hafnawi, Dirasat Ushuliyah fi al-Sunnah al-Nabawiyah,
(Cairo :
Dar al-Wafa, 1991), 15-16.
“hal ihwal”, ialah
segala pemberitaan tentang
Nabi SAW, seperti yang berkaitan dengan
sifat-sifat kepribadiannya/perangainya (khuluqiyyah), keadaan fisiknya
(khalqiyah), karakteristik, sejarah
kelahiran, dan kebiasaan-kebiasaanya.
D. Struktur Hadits
Setiap Hadis
terdiri dari 2 unsur yaitu sanad dan matan, sebagaimana Hadis berikut:
حد ثنا عبد اهلل بن يوسف قال: أخربنا مالك بن انس عن ابن شهاب
عن سالم بن عبد اهلل عن ابيه ان رسول اهلل
ص.م. مر ىلع رجل من األنصار وهو يعظ
اخاه ىف
احلياء فقال رسول اهلل صلعم دعه فان احلياء من اإليمان
(
رواه ابلخارى )
Kalimat
“’anna Rasulullah SAW” sampai akhir itulah yang disebut matan Hadis, sedang
rangkaian para perowi yang membawa Hadis disebut sanad Hadis.
Untuk lebih jelasnya unsur-unsur Hadis
dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1.
Rawi
Yang
dimaksud dengan rawi adalah orang yang menyam- paikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah
didengar dan diterimanya dari
seseorang (gurunya). Bentuk jamaknya adalah ruwah dan
perbuatannya menyampaikan Hadis disebut meriwayatkan Hadis.16
Sebuah Hadis sampai kepada kita
dalam bentuknya yang sudah terdewan
dalam dewan-dewan Hadis, melalui beberapa rawi
dan sanad. Seorang
pengarang bila hendak
menguatkan suatu
16 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah al Hadits, (Bandung : PT Al-Ma’arif,
1974), hal. 217
Hadis yang ditakhrijkan dari
suatu kitab Hadis pada umumnya membubuhkan nama rawi terakhirnya pada akhir
matan Hadis. Dalam contoh Hadis di
depan, rawi terakhirnya adalah Imam Bukhari. Sedangkan rawi pertamanya adalah Abdullah (sahabat nabi).
2.
Matan
Matan menurut
lughat ialah jalan tengah, punggung bumi atau bumi yang keras dan tinggi.
Sedangkan menurut istilah, matan Hadis ialah pembicaraan (kalam) atau materi
berita yang diover oleh sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda
Rasulullah SAW, sahabat ataupun Tabi’in. Baik pembicaraan itu tentang Nabi atau
taqrir Nabi.
Menurut Ath Thibi, matan ialah:
املعاىن بها
تتقوم اليت
احلديث ألفاظ “lafadz-lafadz Hadis yang
dengan lafadz-lafadz itulah terbentuk makna”.
Sedang menurt Ibnu Jama’ah matan ialah:
السند اغية
السند إيله
ينتىه ما “Sesuatu yang kepadanya berakhir
sanad (perkataan yang disebut
sesuatu berakhir sanad)”.17
3.
Sanad
Sanad menurut lughah, ialah: “sesuatu yang kita bersandar kepadanya, baik
tembok atau selainnya”. Sedangkan menurut istilah, sanad adalah:
17 M. Hasbi Ash Shidiqi, Pokok-Pokok Ilmu
Diroyah Hadis,
vol.1 (Jakarta : Bulan
Bintang, 1987) hal. 45
طريق منت احلديث
“Jalan yang menyampaikan kita kepada matan Hadis”.
Ringkasnya
sanad Hadis ialah yang disebut sebelum matan
Hadis.
Sedangkan isnad
secara lughah ialah
menyandarkan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan
menurut istilah adalah:
ناقله او ايلقائله احلديث رفع “Mengangkat Hadis kepada yang mengatakanya atau yang menukilkannya”.
Sedangkan pengertian sanad secara terminologis adalah :
سلسلة الرجال
املوصلة للمنت18
“Silsilah orang-orang yang menghubungkan Hadis”
Sisilah orang-orang maksudnya
adalah susunan atau rangkaian
orang-orang perawi Hadis yang menyampaikan materi
Hadis sejak mukharrij sampai kepada perawi terakhir yang bersambung kepada Nabi
saw.
E. Model Periwayatan Hadis
1.
Metode Periwayatan
Hadis
Ada dua model yang digunakan
para sahabat (rawi) dalam meriwayatkan
hadis dari Nabi, yaitu:
a.
Periwayatan bil-lafzi, yaitu periwayatan hadis yang redaksi atau matannya persis sama dengan apa yang diucapkan
oleh Nabi.
18 Mahmud
Thahhan, Taysir Musthalah Hadits, (Beirut : Dar Ats-Tsaqafah
al-Islamiyah, t.t), hal. 16
b.
Periwayatan bil makna, yaitu periwayatan hadis yang redaksi
atau matannya tidak persis sama dengan apa yang
diucapkan Nabi, namun maknanya sama dengan yang dimaksudkan oleh Nabi.
Menurut H.Said Agil Husain
al-Munawar, mengatakan bah- wa di antara para sahabat yang sangat ketat
berpegang kepada periwayatan bi al-lafzhi, ialah Abdullah bin Umar. Menurut-
nya, tidak boleh ada satu kata atau huruf yang dikurangi atau ditambah dari
yang disabdakan Rasul SAW.
2. Istilah dalam
Periwayatan Hadis
Istilah periwayatan yang sering
digunakan oleh para mudaw-
win Hadis berbeda-beda diantaranya:
a. Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat
yang sama, dikenal
dengan Hadits Bukhari dan Muslim
b. Akhrajahu syaikhani, artinya hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim
c.
Akhrajahu tsalatsah, artinya hadis
tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, dan an-Nasa’i.
d.
Akhrajahu arba’ah, berarti hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibn Majah.
e. Akhrajahu khamsah, yaitu hadis
yang diriwayatkan oleh
Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah
dan Imam Ahmad.
f.
Akhrajahu Sittah, berarti hadis
tersebut diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai
dan Ibn Majah.
g.
Akhrajahu Sab’ah, berarti hadis tersebut diriwayatkan oleh
Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibn Majah, dan Imam Ahmad.
h.
Akhrajahu Jama’ah, artinya hadis
tersebut diriwayatkan oleh banyak ulama Hadis.
PERTANYAAN:
َّيا َن ح
َن ب
سلَيْ َما َن
ْع ِن ي
خا ِ ٍل
َثنَا أَبُو ح َّد
الْ َه ْم َدا ِ ُّن ن َم ْ ٍري
ا َ ِهلل َّ بْ ِن عبْ ِد
ُن ب
َّم ُدَ مَ
ح َ َّد َثنَا
هلل َّ
ص َّىل ا
ِ ِّيب نل
ع ْن ا
ع َم َر
ْن ابْ ِن ع
بْ ِن َ ُعبَيْ َد َة س ْع ِد
ع ْن
ِ ِّع ج
ك ا ْأل
ْش
ْ
مالِ
ْن أ ِب ع
ا ْأل ْ َح َر
ِء ال َّز ْ َك ِة وإِيتَا
ص َال ِة
وإِقََا ِم ال
هلل َّ
أ ْن يُ َو َّح
َد ا َىلع
ْ َس ٍة خْ
َىلع
ْس َال ُم إل
َم قَا َل بُ ِ َنْ ا و َسلَّ
علَيْ ِه
ُّج واحلَ
ضا َن
َم ر
ِصيَا ُم ر َمضا َن قَا َل ل صيَا ُم و
ٌل احلَ ُّج
ر ُج
ِّج ف َقا َل واحلَ
َمضا َن ر
و ِصيَا ِم
َسلَّ َم (رواه ابلخاري) و
علَيْ ِه
ص َّىل اهلل َّ
َّ هلل
ُسول ا ر
م ْن
ِم ْعتُ ُه س
هك َذا
Bacalah hadis di atas secara
teliti lalu jawablah pertanyaan di bawah ini:
1.
Berdasarkan bentuknya, hadis tersebut termasuk
hadis apa? Jelaskan!
2.
Berdasarkan sandarannya, hadis tersebut disebut
hadis apa?
3.
Ada berapa perowi yang meriwayatkan hadis tersebut?
Sebutkan nama-namanya!
4.
Tulislah kembali matan hadis dari teks hadis anda!
5.
Buatlah skema pohon sanad dari hadis tersebut!
6.
Siapa perowi pertama
pada sanad hadis tersebut?
7.
Siapa mudawwin pada hadis tersebut?
8.
Setelah anda menjawab semua pertanyaan, kemudian tolong
berikan definisi dari sanad, matan dan rawi!
Peta Konsep
BAB II
Hadis dan Hubungannya Dengan Al-Qur’an
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa
mampu menjelaskan pengertian hadis Qudsi serta fungsi hadis terhadap Al-Qur’an
A. Kedudukan Hadits dalam Islam
Seluruh umat
Islam telah sepakat bahwa hadits merupakan salah satu sumber ajaran
Islam. la menempati kedudukan setelah
al-Qur’an.1 Keharusan mengikuti hadist bagi umat Islam, baik berupa perintah
maupun larangan sama
halnya dengan kewajiban mengikuti al-Qur’an. Al-Qur’an dan al-Hadits merupakan sumber
1 Ada sebagian yang meragukan kehujjahan Sunnah sebagai sumber kedua yang
disebut golongan inkar as-sunnah. Lihat lebih lanjut Abu Syuhbah, Fi
Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihab al-Sittah, (Kairo : Majma’ al-Buhuts
al-Islamiyah, 1969), 11.
syari’at yang saling terkait
Seorang muslin tidak
mungkin. dapat memahami
syari’at. kecuali dengan merujuk
kepada keduanya sekaligus dan seorang
mujtahid tidak mungkin
mengabaikan
salah satunya.
Jadi al
hadits dipandang dari segi keberadaanya wajib diamalkan dan sumbernya dari
wahyu sederajat dengan
al Qur’an. la berada
pada posisi setelah
Al Qur’an dilihat
dari kekuatannya. Karena Al Qur’an
berkualitas qathiy secara global
saja, tidak secara rinci. Di samping
itu al Qur’an merupakan pokok,
sedang sunnah merupakan cabang
posisinya menjelaskan dan menguraikan.
Untuk
mengetahui sejauhmana kedudukan hadits sebagai
sumber ajaran Islam, dapat dilihat beberapa, dalil berikut:
a.
Al-Qur’an
Banyak ayat Al Qur’an yang-
menerangkan tentang
kewajiban untuk tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Iman kepada
Rasul sebagai utusan Allah SWT merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan
individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan,
mereka. Hal ini seba- gaimana dijelaskan dalam
Surat Ali Imran
17 dan An Nisa’ 36.
Selain Allah
memerintahkan umat Islam
agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyerukan agar
mentaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawahnya, baik
berupa, perintah maupun perundang-undangan tuntutan taat dan patuh
kepada Allah. Banyak
ayat Al Qur’an
yang berkenaan dengan masalah ini.
Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 32:
الْ َك ِف ِرين (٢٣) ِيب
َّ ل هلل
فَ ِإ ْن تَ َولَّ ْوا فَ ِإ َّن ا والر ُسول
هلل َّ
قُ ْل أَ ِطيعوا ا
“Katakanlah ! taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang kafir.”
Dalam surat An Nisa’ ayat 59 Allah juga berfirman:
عتُ ْم ِف
تنَاز
ْم فَ ِإ ْن ك
منْ
وأُول األم
ِر
ِطيعوا الر ُسول وأَ
هلل َّ
يَا أ ُّي َها ا َّلين آ َمنُوا أَ ِطيعوا ا
ْش ٍء فَ ُر ُّدو ُه ِإ َىل اهلل والر ُسول
Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) ….(QS. An-Nisa’: 59).
Disamping banyak
ayat yang menyebutkan
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya secara bersama-sama, banyak
memerintahkan mentaati rasul secara terpisah pada dasarnya ketaatan kepada
rasul berarti ketaatan kepada Allah sebagaimana firman Allah yang berbunyi:
هلل َّ
ْد أَ َطاع ا ف
َق
م ْن يُ ِط ِع الر ُسول
“Barangsiapa yang mentaati
Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah.”(An Nisa’ : 80)
Allah juga, berfirman:
)۷
:احلرش( فانتهوا
عنه نهاكم
وما فخذوه الرسول أتاكم
وما “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah.” (Al-Hasyr: 7)
Berdasarkan kenyataan ini, maka
sebenarnya Allah SWT juga menyebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an kewajiban
mengamalkan sunnah sebagaimana
di dalam ayat-ayat yang menerangkan kewajiban taat
kepada Rasul. Semua
itu merupakan dalil bahwa
Al Hadits dijadikan salah satu sumber
pembentukan syari’at dalam. Al-Qur’an.
b.
Hadits Nabi SAW
Banyak hadits
yang menunjukkan perlunya
ketaatan kepada. perintah
Rasul. Dalam satu pesannya, berkenaan dengan keha- rusan menjadikan hadits sebagai
pedoman hidup disamping Al- Qur’an, Rasul SAW bersabda:
وسنيت
اهلل كتاب
بهما تمسكتم
إن ما
تضلوا لن
أمرين فيكم
تركت “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian
tidak akan ter- sesat selama masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah
dan Sunnahku.”
Dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda:
)داود ابو
رواه( ... بها
تمسكوا املهديني
الراشدين اخللفاء
وسنة بسىت
عليكم “Kalian
wajib berpegang teguh dengan sunnah-ku dan sunnah Khulafaur Rasyidin
yang mendapat petunjuk,
berpegang teguhlah kamu
sekalian dengannya. ” (HR. Abu Dawud).
c.
Ijma’
Umat Islam
telah mengambil kesepakatan bersama untuk mengamalkan sunnah. Bahkan hal ini
mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT dan Rasul-Nya. Kaum
muslimm menerima hadits seperti mereka menerima Al-Qur’an, karena keduanya
sama-sama dijadikan sebagai cumber hukum Islam.
Kesepakatan umat
Islam dalam mempercayai, menerima dan
mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam ha- dits berlaku sepanjang zaman, sejak Rasulullah masih hidup dan sepeninggalnya,
maka Khulafa’ur Rasyidin, tabi’in, tabi’ut tabi’in, atba’u tabi’in serta, masa-masa selanjutnya dan
tidak ada yang mengingkarinya, sampai sekarang. Banyak diantara, mereka
yang tidak hanya memahami
dan mengamalkan isi kandunganya, akan tetapi mereka menghapal, mentadwin
dan menyebarluaskan dengan segala, upaya kepada, generasi-generasi selanjutnya.
Dengan ini, sehingga tidak ada,
satu haditspun yang
beredar dari
pemeliharaannya. Begitu pula tidak ada, satu hadits palsupun yang dapat mengotorinya.
d.
Sesuai dengan petunjuk akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW. telah diakuidandibenarkan oleh umat Islam. Ini menunjukkan adanya pengakuan, bahwa Nabi
Muhammad SAW membawa, misi untuk menegakkan amanat dan Dzat yang mengangkat karasulan
itu, yaitu Allah SWT. Dari
aspek akidah, Allah
SWT bahkan menjadikan kerasulan itu sebagai
salah satu dari prinsip keimanan.
Dengan demikian, manifestasi dari, pengakuan
dan keimanan itu mengharuskan semua umatnya mentaati
dan mengamalkan segala
peraturan atau perundang-undangan serta
inisiatif beliau, baik
yang beliau ciptakan
atas bimbingan wahyu
maupun hasil ijtihadnya sendiri. Di dalam mengemban misi itu, terkadang beliau, hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima oleh Allah SWT baik isi maupun
formulasinya dan terkadang pula atas inisiatif sendiri
dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau membawakan hasil ijtihad sema-mata mengenai
suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh
wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Kesemuanya itu merupakan hadits
Rasul, yang terpelihara dan tetap berlaku sampai ada Hash yang
menasikhnya.
Dari uraian
di atas dapat diketahui bahwa hadits merupakan salah satu sumber hukum. ajaran
Islam yang menduduki urutan kedua, setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat
dan segi ke- hujjahannya, hadits melahirkan hukum zhanni, kecuali yang
mutawatir.
B. Fungsi Hadits Terhadap Al-Qur’an
Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai
sumber ajaran Islam, satu sama lain tidak bisa dipisahkan.
Al-Qur’an memuat ajaran- ajaran yang bersifat umum
dan global, yang
perlu dijelaskan dan diperinci lebih lanjut. Dalam hal ini
haditslah yang berfungsi sebagai
penjelas dari Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl
44 yang berbunyi:
للناس تلبني الكر ايلك وأنزنلا Dan Kami turunkan kepadamu, Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat
manusia ... ..... ..
Fungsi
hadits sebagai penjelas terhadap Al-Qur’an tersebut, dapat diperinci sebagai
berikut:
1.
Bayan at
Taqrir
Bayan at Taqrir
disebut juga bayan
at Ta’kid dan bayan
al-Isbat. Yang dimaksud dengan bayan
ini adalah menetapkan dan mem- perkuat
apa yang telah diterangkan di dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam hal ini
hanya, memperkokoh isi kandungan Al-
Qur’an. Seperti contoh ayat Al-Qur’an Surat
Al-Maidah ayat 6 tentang keharusan berwudlu sebelum shalat, yang berbunyi:
الْ َم َراف ِق َىل
ْم ك
ِديَ وأَيْ
ْم ك
ُجو َه و
اغسلُوا
َىل الصالة
ْمتُ ْم ُق
َذا
يَا أ ُّي َها ا
َّلين آ َمنُوا
ك ْعبَ ْ ِني
ِإ َىل الْ ك
ْم
ْر ُجلَ وأ
ْم ك
وامسحوا بِ ُر ُءو ِس
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak menger- jakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki”
Ayat di atas ditaqrir oleh
hadits Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah yang berbunyi:
يتوضأ حىت أحدث من صالة لتقبل صلعم اهلل رسول قال “Rasul SAW bersabda: “Tidak
diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum ia berwudlu.”
Contoh lain, ayat Al-Qur’an
surat Al-Baqarah ayat 185, yang berbunyi:
ص ْم ُه
الش ْه َر فَلْيَ ك ُم
منْ
ِه َد ش
ف َم ْن
“Karena itu, barangsiapa yang
mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...”
Ayat di atas ditaqrir oleh
hadits riwayat muslim dari Ibnu Umar
yang berbunyi, sebagai berikut:
)مسلم
رواه( فأفطروا
رأيتموه واذا فصوموا
رأيتموه إذا “...... Apabila kalian melihat
(ru’yah) bulan, maka berpuasalah, begitu pula apabila
melihat (ru iyah) bulan itu maka berbukalah.”
(HR. Muslim)
Contoh
berikutnya ialah dalam banyak ayat Al-Qur’an dijelaskan tentang syahadah
(al-Huiurat: 182 dan 185), dan tentang haji (Ali Imran 97). Ayat-ayat diatas
ditaqrir oleh hadist riwayat al Bukhari dari Ibn Umar, yang berbunyi
بن اإلسالم عيل خس: شهادة أن لاهل ال اهلل وان ممدا رسول اهلل وإقام الصالة
)ابلخاري
رواه( رمضان
وصوم واحلج
الزاكة وإيتاء “Islam dibangun atas lima
dasar: yaitu mengucapkan kalimah syahadah, mendirikan shalat, mengeluarkan
zakat, menunaikan ibadah haji dan berpuasa dalam bulan Ramadlan.” (HR. Al-
Bukhari)
Menurut
sebagian ulama bahwa bayan at
taqrir atau bayan at
ta’kid ini disebut juga dengan bayan al
Muwafiq li Nash al Kitab al karim. Hal ini karena munculnya hadits-hadits
itu sesuai dan untuk memperkokoh nash al-Qur’an.
2.
Bayan at Tafsir
Yang
dimaksud dengan bayan at-tafsir adalah penjelasan hadits
terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau
.penjelasan lebih lanjut,
seperti pada ayat-ayat yang mujmal,,
mutlaq, dan ‘aam. Maka fungsi
hadits dalam hal ini memberikan perincian (tafshil)
dan penafsiran terhadap ayat-ayat yang masih mutlak dan memberikan takhsis terhadap ayat-ayat yang masih
umum.
a. Memerinci ayat-ayat
yang mujmal
Yang mujmal artinya yang ringkas atau
singkat. Dari ungkapan yang singkat ini terkadang banyak
makna yang perlu
dijelaskan. Hal ini karena belum jelas makna mana yang dimaksudkannya,
kecuali setelah adanya
penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapannya masih bersifat global
yang memerlukan mubayyin.
Dalam
al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat yang mujmal,
yang memerlukan perincian. Sebagai contoh, ialah ayat-ayat tentang perintah
Allah SWT untuk mengerjakan shalat,
puasa, zakat, jual beli, nikah,
qishas dan hudud. Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan masalah-masalah tersebut
masih bersifat global atau garis besar,
atau meskipun diantaranya sudah ada beberapa perincian, akan tetapi masih
memerlukan uraian lebih lanjut secara pasti. Hal- ini karena dalam ayat tersebut
tidak dijelaskan
misalnya, bagaimana
cara mengerjakanya, apa
sebabnya, apa
syarat-syaratnya atau, apa.
halangan-halangannya. Maka Rasul SAW disini menafsirkan dan menjelaskan secara,
terperinci. Diantara contoh perincian itu dapat dilihat pads hadits dibawah
ini, yang berbunyi:
صلوا كما
رأيتموين أصىل ...
“Shalatlah sebagaimana kalian
melihat aku shalat...”.
Dari perintah shalatnya, sebagaimana dalam hadits
tersebut, Rasul SAW kemudian memberinya contoh dimaksud secara sempurna.
Bahkan bukan hanya itu, beliau melengkapinya dengan berbagai kegiatan lainnya yang
harus dilakukan sejak sebelum shalat sampai dengan sesudahnya. Dengan demikian,
maka hadits di atas menjelaskan bagaimana seharusnya shalat dilakukan, sebagaimana perincian dari perintah
Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi:
وآتُوا الز َك َة
وأَ ِقيموا الصالة
“Dan dirikantah shalat, tunaikanlah zakat...”.
Masih juga
berkaitan dengan ayat diatas, Rasul SAW memberinya berbagai penjelasan dan
perincian mengenai zakat secara lengkap, baik yang berkaitan dengan jenisnya
maupun ukuranya, sehingga menjadi suatu pembahasan yang memiliki cakupan sangat
luas.
b. Men-taqyid ayat-ayat
yang muthlaq.
Kata muthlaq, artinya kata yang menunjukkan
pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah
maupun sifatnya. Men-taqyid dan muthlaq artinya membatasi ayat-ayat yang
muthlaq dengan sifat, keadaan atau
syarat-syarat tertentu. Penjelasan Rasul SAW yang berupa men- taqyid ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat muthlaq, antara lain dapat dilihat pada sabdanya, yang berbunyi:
)مسلم
رواه( عدا
فصا دينار
ربع ىف
ال السارق
يد لتقطع “Tangan pencuri tidak boleh
dipotong, melainkan pada (pencurian
senilai) seperempat dinar atau lebih”. (HR.
Muslim).
Hadits
diatas men-taqyid ayat al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan
darah, sebagaimana firman
Allah dalam surat al Maidah ayat 38, yang berbunyi:
هلل َّ
َن ا م
كال
كسبَا نَ
َزاء بِ َما ج
ُة فَاق َط ُعوا أَيْ ِد َي ُه َما والسارقَ
والسار ُق
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah...”
Contoh lain adalah sabda Rasulullah SAW:
أحلت نلا ميتان ودمان فإما امليتتان احلوت
واجلرد وأما المان فالكبد والطحال
)وابليهيق
ماجه وابن احلاكم
رواه( “Telah dihalalkan bagi kami
dua (macam) bangkai, dan dua (macam) darah
Adapun bangkai adalah
bangkai ikon dan
belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa”.
(HR. al Hakim, Ibn Majah dan
al Baihaqi).
Hadist ini men-taqyid ayat al-Qur’an yang
mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surat al-Maidah ayat.3, yang berbunyi:
ح ِّر َمت علَيْك ُم الْ َميْتَ ُة وال ُم
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai
dan darah. ”
c. Men-takhsis ayat yang ‘am.
Kata, ‘am ialah kata, yang menunjukkan atau memiliki makna, dalam jumlah yang banyak.
Sedang kata, takhsis atau
khash, ialah kata yang menunjukkan arti khusus, tertentu
atau tunggal. Yang dimaksud mentakhsis yang ‘am disini ialah membatasi keumuman ayat al-Qur’an
sehingga tidak berlaku pada bagian- bagian tertentu. Mengingat fungsinya ini,
maka ulama berbeda pendapat apabila mukhasis-nya
dengan hadits ahad. Menurut asy Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, keumuman ayat
bisa ditakhsish oleh hadits ahad yang menunjukkan kepada sesuatu yang khash, sedang menurut ulama Hanafiah
sebaliknya. Contoh hadits. yang berfungsi untuk mentakhsish ayat-ayat al-Qur’an ialah sabda
Rasul SAW yang berbunyi:
ليرث القاتل من املقتول شيأ
“Pembunuh tidak berhak
menerima harta warisan”. (HR. Ahmad).
Hadits tersebut men-takhsish keumuman firman Allah surat
an-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:
يُو ِصيك ُم اهلل َّ
ِف أَ ْول ِدك ْم لِذلك ِر مثْ ُل ح ِّظ األنْثَيَ ْ ِني
“Allah mensyariatkan
bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bagian anak laki-laki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
”.
3.
Bayan at
Tasyri’
Kata tasyri’ artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan
aturan atau hukum. Maka yang
dimaksud dengan bayan at tasyri’ di
sini ialah penjelasan hadist yang berupa
mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan
syara’ yang tidak didapati nashnya
dalam al-Qur’an. Rasul
SAW dalam hal ini berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap beberapa
persoalan yang muncul
pada saat itu dengan
sabdanya sendiri.
Banyak hadist Rasul SAW yang termasuk
dalam kelompok ini. Diantara
hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan
dua wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum
merajam pezina wanita yang masih perawan, hukum
membasuh bagian atas sepatu dalam berwudlu, hukum tentang hak waris bagi seseorang anak.
Suatu contoh dapat dikemukakan di sini
hadis tentang
kewajiban zakat fitrah yang berbunyi sebagai
berikut :
إن رسول اهلل
ص م فرض زاكة
الفطر من رمضان
عيل انلاس صااع
من تمر أو صااع
)مسلم
رواه( املسلمني
من أنيث
أو ذكر عبد
أو حر
لك عيل
شعري من Sesungguhnya Rasul saw telah
mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’)
kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau
perempuan. (HR. Muslim).
Bayan ini oleh sebagian
ulama disebut juga dengan “bayan
zaa’id ‘ala al Kitaab al Kariim (tambahan terhadap nash al-Qur’an).2 Disebut
tambahan di sini,
karena sebenarnya di dalam al-Qur’an sendiri ketentuan-ketentuan
pokoknya sudah ada, sehingga da- tangnya hadis tersebut merupakan tambahan
terhadap keten- tuan pokok itu. Hal ini dapat dilihat misalnya, Hadis mengenai
ketentuan diyat. Dalam
al-Qur’an masalah ini sudah ditemukan ketentuan pokoknya, yaitu pada
surat an-Nisa’ ayat 92. Begitu juga Hadis mengenai haramnya binatang-binatang
buas dan keledei jinak (himar al-ahliyah). Masalah ini ketentuan pokoknya sudah ada, sebagaimana disebutkan, diantaranya pada
surat al- A’raf ayat 157. Dengan demikian menurut mereka lebih lanjut, sebagaimana dikatakan Abu
Zahrah, tidak ada suatu Hadis pun
yang berdiri sendiri yang tidak ditemukan aturan pokoknya dalam al-Qur’a>n.3
Hal tersebut
di atas menurutnya, sesuai dengan ayat al- Qur’a>n surat al An’a>m ayat 38, yang menjelaskan
bahwa di dalam al-Qur’a>n tidak ada yang dilewatkan atau dialpakan sesuatu pun.
2
Abbas Mutawali Hamadah, As-sunnah
al-Nabawiyyah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ , (Kairo :
Dar al-Qoumiyyah li al-Taba’ah wa al-Nasyr, 1981), 161
3 Muhammad Abu Zahrah,
Ushu>l al Fiqh, hal. 112
Pandangan ini diantaranya
dinukil oleh
Asy Sya>fi’i
dalam
ar Risa>lah, yang diperkuat
oleh asy
Sya>t}ibi dalam
al
Muwa>fa>qa>t.4
Hadis Rasul
SAW yang termasuk bayan tasyri>’ ini wajib
diamalkan sebagaimana kewajiban
mengamalkan Hadis-Hadis lainnya. Ibnu al Qayim berkata, bahwa Hadis-Hadis Rasul
SAW yang berupa tambahan terhadap al-Qur’a>n, merupakan
kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak
atau menginka>rinya, dan bukanlah sikap (Rasul SAW) itu mendahului
al-Qur’a>n melainkan
semata-mata karena perintah-Nya.5
Ketiga bayan
yang telah diuraikan di atas, kelihatannya dise- pakati oleh para ulama,
meskipun untuk bayan yang ketiga
sedikit dipersoalkan. Kemudian untuk bayan yang lainnya, seperti bayan
an-nasakh terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengakui dan menerima fungsi Hadis sebagai na>sikh dan ada yang menolaknya. Yang
menerima adanya nasakh, diantaranya ialah jumhur ulama mutakallimi>n, baik Mu’tazilah maupun Asy’ariyah, ulama Malakiah, Hanafiah, Ibn Hazm dan sebagian Z{a>hiriyah. Sedang yang menolaknya
diantaranya ialah asy
Sya>fi’i dan
mayoritas ulama pengikutnya, serta mayoritas
ulama Z{a>hiriyah.
4.
Bayan an-Nasakh
Kata an-nasakh secara bahasa ada
bermacam-macam arti. Bisa berarti al-ibt}al (membatalkan), atau al iza>lah (menghilangkan),
atau at-tahwi>l (memindahkan), atau at-taghyi>r (mengubah).
Diantaraparaulama,baikmutaakhiri>nmaupunmutaqaddimi>n
terdapat
perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan bayan an-
4 Lihat Asy Syatibi, al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, juz
IV, (Beirut : Dar al Fikr, t.t). hal. 6
5 Ibnu al
Qayyim al-Jauziyah, A’lam
al Muwaqi’im, Jilid II, (Mesir : Matba’ah as sa’adah, 1995), hal. 289.
nasakh memahami arti
nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut
ulama mutaqaddimi>n, bahwa
yang disebut
bayan
an-nasakh ialah adanya dalil syara’ yang
datangnya kemudian.6
Dari pengertian di atas bahwa ketentuan yang datang kemu- dian dapat menghapus ketentuan yang
datang terdahulu. Hadis sebagai ketentuan yang datang
kemudian daripada
al-Qur’a>n dalam hal ini dapat
menghapus ketentuan atau isi kandungan al- Qur’a>n. Demikian
menurut pendapat ulama yang menganggap adanya
fungsi bayan an-nasakh.7
Di antara
para ulama yang membolehkan adanya nasakh Hadis terhadap al-Qur’a>n
juga berbeda
pendapat dalam macam Hadis yang dapat dipakai untuk me-nasakh-nya. Dalam
hal ini mereka terbagi kepada tiga kelompok.
Pertama, yang membolehkan me-nasakh al-Qur’a>n dengan segala Hadis, meskipun dengan Hadis ahad. Pendapat
ini di antaranya dikemukakan oleh para ulama mutaqaddimin dan Ibn Hazm serta
sebagian para pengikut Z{a>hiriyah.
Kedua, yang membolehkan me-nasakh dengan syarat bahwa Hadis tersebut harus
mutawatir. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu’tazilah.
Ketiga, ulama yang membolehkan me-nasakh dengan
Hadis masyhur, tanpa harus dengan Hadis mutawatir. Pendapat ini dipegang
diantaranya oleh ulama Hanafiyah.8
Salah satu
contoh yang bisa diajukan oleh para ulama, ialah sabda Rasul SAW dari Abu
Umamah al Bahili, yang berbunyi:
6 Abbas Mutawalli Hamadah, As-Sunnah, hal.
173-175
7 Musthafa as Siba>’I,
As-Sunnah, hal. 360
8 Abbas Mutawalli Hamadah, as Sunnah,
hal. 173-175
)الالنسائ واألربعة
أحد رواه( لوارث
وصية فال
حقه حق
ذي لك
أعطى قد
اهلل إن “Sesungguhnya Allah telah
memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing), maka tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR.
Ahmad dan
al Arba’ah, kecuali
an-Nasa>‘i).9
H{adits di
atas dinilai
h}asan oleh
Ahmad dan
At-Tirmidzi>. Hadis ini menurut
mereka menasakh
isi al-Qur’a>n
surat al- Baqarah ayat 180, yang berbunyi:
واألقْ َربِني
ِص َّي ُة لِلْ َوا ِ َليْ ِن خ ْ ًريا الْ َو
ْن تَ َر َك
َدك ُم الْ َم ْوت ح
َذا ح َض أَ
ْم ك
ك ِتب علَيْ
)18٠( ني
الْ ُم َّت ِق َىلع
ًّقا ح
بِالْ َم ْع ُرو ِف
“Diwajibkan atas
kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf….”.
Kewajiban
melakukan wasiat kepada kaum kerabat dekat berdasarkan
surat al-Baqarah ayat 180 di atas, di-nasakh hukumnya oleh Hadis yang
menjelaskan bahwa kepada ahli waris tidak boleh dilakukan wasiat.
C.
Perbedaan antara Hadis Nabawi, Hadis Qudsi dan Al- Qur’a>n.
Baik Hadis Nabawi, Hadis Qudsi maupun al-Qur’a>n
keti- ganya diterima oleh para sahabat
dari Nabi SAW. Dilihat dari
9 Ibnu Hajar al
Asqalani, Bulu>ghul
Mara>m, hal. 202. Dalam
redaksi yang berbeda al Bukha>ri meriwayatkan
dari Abbas,
bahwa suatu ketika Rasul SAW
bersabda:
كن املال للول و كنت الوصية
للوالين فنسخ اهلل من ذلك و احب فجعل لذلكر مثل حظ األنثيني
وجعل للوالين للك واحد منهما
االسدوس..…
Lihat al Bukha>ri , S{}}}ah}}i>h al Bukha>ri, Jilid II, hal. 188
satu sudut ini saja,
terlihat betapa Rasul
SAW sangat luar biasa,
terutama dalam hal
kekuatan hafalan atau daya ingatannya. Rasul SAW dengan sumber-sumber tersebut membina umatnya,
yang berlatar belakang suku,
adat dan kemampuan yang berbeda-beda
menjadi satu umat yang kokoh yang saling menunjang untuk kepentingan membina umat dan menerapkan serta menjelaskan syari>’at Islam.
Bagi Rasul
SAW, segala perbedaan yang ada, baik
dari sudut umat yang
dibinanya dengan segala potensinya, maupun nash- nash sebagai sumber ajaran
yang digunakannya (yang meliputi Hadis nabawi itu sendiri,
Hadis qudsi maupun al-Qur’a>n), merupakan potensi
dan fasilitas yang menambah kokohnya upaya dakwah dan pembinaan umat tersebut. Ketiga sumber ajaran
di atas merupakan sumber naqli syari’at Islam, yang memiliki persamaan dan
perbedaannya sebagaimana terlihat
di bawah ini.
1. Hadis Qudsi
Hadis Qudsy atau ilahy adalah setiap Hadis yang
disabdakan Nabi SAW dengan
mengatakan “Allah berfirman” dan
mengandung penyandaran Nabi SAW
kepada Allah, “Beliau meriwayatkan dari Allah SWT”. Disebut
Hadis qudsi atau ilahy karena ia muncul dari Allah SWT, dipandang dari segi
keberadaan Allah SWT sebagai yang memfirmankan dan yang memunculkan untuk mula
pertamanya. Adapun keberadaannya sebagai Hadis adalah karena Rasul SAW
menceritakannya dari Allah SWT. Karena itu jika berkenaan dengan al-Qur’a>n, dikatakan: “Allah SWT berfirman”. Sedangkan
jika berkenaan dengan Hadis qudsi dikatakan: “Rasul SAW bersabda tentang
apa yzng diriwayatkan dari Tuhannya”.10
10 Ajaj al-Khatib, Ushul al H{adi>s, hal. 9
Hadis qudsi dan Hadis nabawi itu kedua-duanya bersumber dari wahyu Allah, sedang
perpedaan antara keduanya adalah: Hadis qudsi
itu maknanya hanya
dari Allah sedang
Hadis nabawi ada yang
tauqifi yakni bersumber dari wahyu Allah dan ada juga yang taufiqi yakni
ijtihad nabi sendiri
dan dibenarkan oleh wahyu.11
Hadis qudsi
dinisbatkan kepada Allah SWT, rasul SAW menceritakan dan meriwayatkan dari
Allah SWT. Sedang Hadis nabawi dinisbatkan kepada rasul SAW dan diriwayatkan
dari beliau.12
Dari sudut
kebahasaan kata “Qudsi” berasal dari
kata “Qa- dusa, Yaqsudu, Qudsan”,
yang artinya suci atau bersih. Maka kata “Hadis
Qudsi” artinya ialah Hadis yang suci. Dari sudut terminologis, kata Hadis
qudsi terdapat beberapa definisi dengan redaksi yang agak berbeda-beda, akan
tetapi esensinya pada dasarnya adalah sama, yaitu sesuatu yang diberitakan
Allah SWT kepada Nabi SAW, selain
Al-Qur’a>n yang redaksinya disusun
oleh Nabi sendiri. Untuk lebih
jelasnya beberapa definisi tersebut dapat dilihat di bawah ini.
Menurut satu definisi bahwa Hadis qudsi
adalah:
ما خيرب اهلل تعاىل به انلىب ص.م. بالهلام أو باملنام فأخرب انلىب من تلك املعىن بعبارة
.نفسه “Sesuatu yang diberitakan
Allah SWT kepada Nabi-Nya dengan ilham atau mimpi, kemudian Nabi SAW
menyampaikan berita ini dengan ungkapannya sendiri”.
11 Manna’ Khalil al
Qatan, terj. Mudzakir
AS. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’a>n,
(Jakarta : Pustaka Litera Antar Nusa, 1996) hal. 28
12 Ajjaj al-Kha>tib, Ushul al H{adi>s, hal.
9
Menurut definisi lain disebut sebagai berikut:
.عزوجل اهلل
اىل قول
.م .ص اهلل
رسول فيه
يضيف حديث
لك “Segala Hadis Rasul SAW yang berupa
ucapan, yang disandarkan kepada Allah “Azza wa Jalla”.
Menurut definisi lainnya ialah:
ما أخرب
اهلل نبيه تارة بالويح وتارة بالهلام وتارة باملنام
مفوضا
ايله
اتلعبري
بأي
.شاء
عبارة “Sesuatu yang diberitakan
Allah SWT yang terkadang melalui wahyu, ilham atau mimpi dengan redaksinya
diserahkan kepada Nabi SAW”.
Disebut
Hadis, karena redaksinya disusun oleh Nabi SAW sendiri, dan disebut qudsi karena Hadis ini suci dan bersih (Ath- thaha>rah wa al-tanzi>h) dan datangnya
dari zat
yang Maha
suci. Istilah
lainnya, Hadis ini disebut juga dengan Hadis Ilahiyah atau Rabbiyah.
Disebut Ilahi atau Rabbani, karena Hadis tersebut datang dari Allah Rabb al-‘Alami>n.13
2. Perbandingan antara
Hadis Qudsi dengan Hadis Nabawi
a. Persamaan Hadis Nabawi dengan Hadis Qudsi
Baik Hadis Nabawi maupun Hadis
qudsi, pada dasarnya keduanya bersumber dari wahyu Allah
SWT. Hal ini, sebagaimana
dijelaskan dalam firman-Nya surat an-Nazm ayat 3 dan 4 yang berbunyi:
13 Lebih lanjut lihat Al-Qasimi, Qawa>’id at-Tahdi>ts min Funu>n
Musthalah al Ha>dis, hal. 64-69, Subhi Shalih, Ulu>m al-Hadit>s wa Must}alahuh, (Beirut: Dar al Ilmi
al-Malayyin, 1959 M/1378 H), hal 11-13 dan Muhammad Usman al-Khusyat,
Ma
fa>tih Ulu>m
al Hadis,
(Kairo : Maktabah Al-Qur’a>n, tt), hal. 48
َما ينْ ِط ُق ع
ِن الْ َه َوى (٣)إ ْن ه
َو ِإل و ْ ٌيح يُوح (٤) و
“Dan tiadalah yang
yang diucapkannya menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapanya itu tidak lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Selain itu
redaksi keduanya baik Hadis nabawi maupun Hadis qudsi disusun oleh Nabi SAW. Jadi yang tertulis itu semata-
mata dari ungkapan atau kata-kata Nabi sendiri.
b. Perbedaan Hadis Nabawi
dengan Hadis Qudsi
Perbedaan
antara Hadis nabawi dengan Hadis qudsi, dapat dilihat dapat dilihat pada sudut
sandarannya, nisbatnya dan jumlah
kuantitasnya.
Pertama, dari sudut sandarannya Hadis nabawi disandarkan kepada Nabi SAW, sedangkan
Hadis qudsi disandarkan kepada Nabi SAW dan kepada Allah SWT. Dengan demikian
maka dalam mengidentifikasinya, pada Hadis qudsi terdapat kata-kata seperti:
ربه عن
يرويه فيما
.م.ص
اهلل رسول قال “Rasul SAW telah bersabda,
sebagaimana yang diterima dari Tuhan-Nya”.
Atau kata-kata:
قال رسول
اهلل ص.م.
قال اهلل عزوجل
“ Rasul SAW telah bersabda, “Allah SWT berfirman”.
Kedua, dari sudut
nisbahnya Hadis nabawi dinisbahkan kepada
Nabi SAW baik redaksi maupun maknanya. Sedanglan
Hadis qudsi maknanya
dinisbahkan kepada Allah SWT dan redaksinya
kepada Nabi.
Ketiga, dari sudut kuantitasnya jumlah Hadis qudsi jauh lebih sedikit dari pada
Hadis nabawi. Dalam hal ini para ulama tidak ada yang memberikan hitungan
secara pasti tentang
jumlahnya. Ada di antaranya,
Tajuddin al-Manawi al Hadadi, dalam karyanya al- Aha>dits al Qudsiyah menghimpun Hadis-Hadis qudsi
sampai 272 Hadis. Dalam sebuah karya yang berjudul al Hadis al Qudsiyah, yang menghimpun Hadis-Hadis qudsi dari 7 buah
kitab Hadis (yaitu al Muwatha’ Malik,
S}ah}i>h al Bukha>ri, S}ah}i>h Muslim, Sunan Abu> Da>wu>d,
Sunan at
Turmudzi>,
Sunan an
Nasa>’i,
dan Sunan
Ibnu Ma>jah) terhimpun Hadis qudsi sebanyak
384 buah Hadis.14
3. Perbandingan antara Hadis Qudsi dengan
Al-Qur’a>n
a.
Persamaan antara Hadis
Qudsi dengan al-Qur’a>n
Baik Hadis qudsi maupun
al-Qur’a>n keduanya bersumber atau datang dari Allah SWT, yang karenanya Hadis qudsi ini disebut dengan Hadis Ilahi. Karena dilihat dari sudut
sumbernya ini, maka dalam periwayatan atau penyampaian keduanya sama- sama memakai
ungkapan, seperti: اهلل قال atau وجل عز اهلل قال atau لعل
b.
Perbedaan antara Hadis qudsi dengan al Qur’an
Ada sekitar 6 perbedaan antara Hadis qudsi
dengan al Qur’an, seperti dapat dilihat dibawah ini:
Pertama, Al-Qur’a>n merupakan
Mu’jizat terbesar bagi Nabi Muhammad
SAW, sedangkan Hadis qudsi bukan.
14 Animinus, Al H{adi>s al
Qudsiyah, Jilid 1-2, (Beirut
: Dar
al Fikr, 1988
M/1408 H)
Kedua, Al-Qur’a>n redaksi dan maknanya langsung dari Allah SWT sedang Hadis qudsi maknanya dari Allah SWT dan
redaksinya dari Nabi SAW.
Ketiga, dalam s}alat al-Qur’a>n merupakan bacaan yang diwajibkan sehingga tidak sah s}alat seseorang kecuali dengan bacaan Al-Qur’a>n. Hal ini tidak berlaku pada Hadis qudsi.
Keempat, menolak al-Qur’a>n merupakan perbuatan kufur, berbeda dengan penolakan Hadis qudsi.
Kelima, Al-Qur’a>n diturunkan
melalui perantaraan
malaikat Jibril
sedangkan Hadis qudsi diberikan langsung baik melalui ilham maupun mimpi.
Keenam, Perlakuan
atau siukap
seseorang terhadap al-Qur’a>n diatur oleh beberapa atruran, seperti keharusan
bers uci dari hadats ketika memegang dan membacanya, serta tidak boleh menyalin
kedalam bahasa lain tanpa dituliskan aslinya. Hal ini tidak berlaku pada Hadis
qudsi.
Diantara contoh Hadis qudsi ialah:
عن ىلع رىض اهلل
عنه قال قال
انلىب ص. م. قال اهلل تعاىل
اشتد غضيب ىلع
من ظلم
)الطربان
رواه( غريي نارصا
هل جيد
ل من Dari Ali ra. Ia berkata: “ Telah bersabda
Nabi SAW, “Allah
SWT berfirman: “Aku sangat murka kepada orang yang melakukan ke- zaliman (menganiaya) terhadap orang
yang tidak ada pembelanya
selain Aku”. (HR
Ath-Thabra>ni).15
15 Ibid, hal. 7
Contoh lainnya ialah Hadis yang berbunyi:
ّو ِري فيها ز
قال رسول اهلل ص.م. قال اهلل تعاىل إن بيوىت ىف األرض املساجد وإن
ع
َّمارها (رواه ابو نعيم)
“ Rasul SAW bersabda,
“Allah SWT berfirman,” Sesungguhnya rumah-Ku
di bumi, adalah masjid-masjid dan sesungguhnya para pengunjung-Ku adalah orang-orang yang
memakmurkannya”. (HR. Abu Nu’aim).
Dari uraian di atas,
dapat kita ketahui
perbedaan antara hadis nabawi, hadis qudsi dan Al-Qur’an seperti
pada tabel berikut
:
No |
Hadis Nabawi |
Hadis
Qudsi |
Al-Qur’an |
1 |
Redaksi dan maknanya dari Nabi |
Redaksi
dari Nabi, maknanya dari Allah Swt |
Redaksi dan maknanya
dari Allah Swt |
2 |
Berasal dari ijtihad Nabi dengan panduan wahyu |
Disampaikan melalui ilham atau mimpi |
Diwahyukan Allah
Swt melalui malaikat Jibril |
3 |
Periwayatannya
boleh dengan maknanya saja |
Periwayatannya boleh dengan maknanya saja |
Periwayatan harus dengan makna dan lafaznya |
4 |
Umumnya diriwayatkan
secara Ahad |
Umumnya diriwayatkan
secara Ahad |
Seluruh periwayatannya
mutawatir |
5 |
Bukan
merupakan mukjizat Nabi |
Bukan
merupakan mukjizat Nabi |
Merupakan mukjizat Nabi |
6 |
Membacanya
bukan ibadah |
Membacanya
bukan ibadah |
Membacanya termasuk ibadah |
7 |
Bukan bacaan shalat |
Bukan bacaan shalat |
Merupakan bacaan shalat |
8 |
Menyentuhnya tidak disyaratkan dalam keadaan suci |
Menyentuhnya tidak disyaratkan dalam keadaan suci |
Menyentuhnya disyaratkan
dalam keadaan suci |
REFERENSI:
1.
Subhi Salih, ‘Ulum al-Hadis
wa Mustalahuhu, Beirut:
Dar ‘Ilmi li al-Malayini, 1988.
2.
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama, 1998
3.
Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Metdologis,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
4.
M. Syuhudi Ismail, Metodolgi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
5.
Fathurrahman, Ikhtisar
Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991
6.
Muhammad ’Ajaj al-Katib, ’as-Sunnah qabla at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971
7.
Ibn Salah, ’Ulum
al-Hadis, Madinah: al-Maktabah al-Madinah al-Munawwarah, t.th.
8.
Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1993
9. Asy Syatibi,
al Muwafaqat fi Ushul al Ahkam, juz IV, (Beirut
:
Dar al Fikr, t.t).
10. Ibnu al Qayyim
al-Jauziyah, A’lam al Muwaqi’im, Jilid II, (Mesir : Matba’ah as sa’adah, 1995)
PERTANYAAN:
1. Jelaskan fungsi hadis
terhadap al-Qur’an berikut contoh- contohnya!
2. Apa yang kamu ketahui tentang hadis qudsi? Apa perbedaannya
dengan al-Qur’an?
3. Sebutkan perbedaan dan persamaan hadis
qudsi dengan hadis Nabawi.
Peta Konsep
Golongan Inkar As-Sunnah
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa mampu
menjelaskan pengertian, sejarah
perkem- bangan, dan tokoh-tokoh inkar
as-sunnah.
Seperti
telah diuraikan di depan, umat Islam telah sepakat bahwa segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqri>r merupakan pedoman hidup yang utama
setelah Al-Qur’an.
Tingkah laku
manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya juga tidak diterangkan cara
mengamalkannya dan tidak terperinci,
hendaklah dicarikan pemyelesaiannya dalam al-Hadis.
Hal itu sampai pada masa sekarang, dengan sanad yang sahih bisa mendatangkan kepastian
(qath’iy), dimana
keberadaannya itu merupakan hujjah bagi
umat Islam sebagai sumber tasyri‘ untuk mengistimbathkan hukum-hukum syar’i
mengenai perbuatan orang mukallaf.
Disamping
adanya kesepakatan dari mayoritas umat Islam untuk menerima as-sunnah sebagai
hujjah dan dasar
perundang- undangan dalam Islam, ada juga sebagaian orang diantara kaum muslimin sendiri yang meragukan
kehujjahan dan menolak as-sunnah
sebagai sumber syari’at setelah Al-Qur’an. Mereka
mengatakan bahwa cukuplah Al-Qur’an saja sebagai dasar perundang-undangan.
Mereka ini disebut golongan inkar as- sunnah.
A. Pengertian Inka>r As-Sunnah.
Inkar
As-Sunnah adalah golongan kaum muslimin yang meragukan kehujjahan dan as-sunnah
sebagai sumber syari’at Islam setelah
Al-Qur’an. Ragib
Al-Asfaha>ni (w. 502 H/1108 H), ahli fiqh dan ahli tafsir, mengartikan inkar
sebagai penyangkalan dengan ucapan (lidah) sebagai perwujudan dari penolakan
hati. Penyangkalan ini terjadi karena ketidak tahuan mengenai hakekat sesuatu
yang disangkal.
As-Sya>fi’i membagi
golongan ini menjadi tiga golongan, yakni (1) Golongan yang menolak seluruh sunnah, (2)
Golongan yang menolak sunnah, kecuali yang memiliki kesamaan dengan petunjuk
Al-Qur’a>n, dan (3) golongan
yang menolak sunnah yang berstatus ahad. Golongan yang terakhir ini
hanya menerima sunnah yang berstatus mutawatir.1
1 M.M.
Azami., Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) hal. 14
a.
Golongan yang menolak Hadis secara keseluruhan.
Alasan yang dipergunakan mereka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1). Al-Qur’an itu adalah kitab
suci yang berbahasa Arab, yang sudah
barang tentu menggunakan ushlub-ushlub bahasa yang biasa dipergunakan oleh
bangsa Arab. Sehingga kalau seseorang telah menggunakan ushlu>b bahasa Arab, ia
akan mampu memahami Al-Qur’an tanpa memerlukan penjelasan sunnah dan yang lainnya.
2).
Al-Qur’an
sendiri telah menyatakan bahwa Al-Qur’an itu telah mencakup segala hal yang
dibutuhkan manusia mengenai segala aspek
kehidupannya. (QS An-Nahl: 89).
Imam Sya>fi’i tidak menerangkan dengan kongkrit di dalam
kitabnya Al-Umm mengenai siapa yang menolak sunnah itu. Menurut Abu
Dzahrah dalam
kitab Asy-Sya>fi’i
halaman 218 bahwa yang dimaksud oleh Imam Asy-Sya>fi’i ialah golongan zindiq dan sebagian golongan khawa>rij. Tetapi menurut Asy- Syaikh
Al-Khudlari, guru besar sejarah hukum Islam pada Egyptian University, bahwa
golongan yang dimaksud oleh Imam
Sya>fi’i adalah
golongan mu’tazilah.2
b. Golongan yang menolak
sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Al-Qur’a>n.
Pendapat dari golongan kedua ini menurut lahirnya
mengan- dung dua kemungkinan:
1).
Mereka menolak Hadis baik ahad maupun mutawatir, ke- cuali bila ada nash Al-Qur’a>n yang sama mengenai lafadznya
2 Masjfuk
Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis , (Surabaya: Bina Ilmu, 1993)
hal. 34-35
atau maknanya dengan Hadis
tersebut. Pada hakekatnya pendapat ini sama dengan pendapat yang pertama.
2). Kemungkinan kedua
ialah mereka tidak menerima sunnah, kecuali jika
ada sandaran
hukumnya dalam
Al-Qur’a>n, karena Al-Qur’a>n itu sebagai mashdar al-awwal al-kull, yaitu sumber
hukum yang pertama yang bersifat universal bagi syari’at Islam.3
c.
Golongan yang Menolak Sunnah yang Berstatus Ahad.
Golongan ini mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut: 1). Hadis Ahad
tingkatannya z}anni.
2). Ada kemungkinan
perawi-perawinya lupa atau berbuat salah.
3). Sejarah telah membuktikan bahwa tidak sedikit
orang-orang atau golongan-golongan tertentu untuk maksud tertentu,
misalnya untuk maksud politik, untuk kepentingan pribadi, fanatik kepada
golongan yang membuat Hadis-Hadis palsu.
Menurut Muhammad Abu Zahwu dalam
kitabnya Al-Hadis wa Al-MuHadisu>n halaman 25, bahwa
golongan yang menolak Hadis
ahad ialah golongan Qodariyah, Rafidlah dan
sebagian madzhab z}a>hiri.4
Sebagian golongan Khawa>rij dan Mu’tazilah,
juga tidak menerima
Hadis ahad sebagai hujjah. Sebab di dalam Hadis itu terdapat kemungkinan
kesalahan purbasangka dan kebohongan dari rawi-rawinya. Dengan demikian tidak
memberikan faedah ilmu qath’iy,
padahal Allah SWT berfirman:
3 Ibid, hal. 36
4 Ibid, hal. 39
ٌم علْ
ك بِ ِه
س لَ
ما لَيْ
ول ت ْق ُف
“Dan janganlah engkau
mengikuti apa yang engkau tidak mem- punyai pengetahuan tentangnya”. (QS. Surat
Al-Isra’: 36).
Sesuatu yang
tidak memberikan kaedah ilmu qath’iy tidak
dapat digunakan sebagai hujjah untuk menetapkan aqidah dan tidak pula dapat
digunakan mewajibkan beramal.5
B.
Latar Belakang dan Sejarah
Perkembangan Golongan Inka>r As-Sunnah.
Diantara faktor yang mendorong munculnya inka>r as-sunnah
tersebut ialah ketidak fahaman
mereka tentang berbagai hal ber- kenaan dengan ilmu Hadis. Faktor ini bukan
hanya terlihat pada mereka yang berfaham inka>r as-sunnah pada zaman Asy-Sya>fi’i
saja melainkan juga pada masa berikutnya. Termasuk di dalamnya kelompok
penginka>r al-sunnah di Indonesia
dan Malaysia.
Salah satu
yang mendorong timbulnya kelompok dalam negara tersebut adalah ketidak tahuan
mereka tentang isi dan makna Al-Qur’a>n
serta ilmu
tafsir dan
bahasa arab.
Karenanya banyak ayat-ayat yang diterjemahkan dan difahami
secara salah, disamping itu mereka tidak hanya mengetahui seluk beluk
pengetahuan Hadis (sunnah).6
Sebenarnya
pada masa sahabat, sudah ada orang-orang yang kurang memperhatikan kedudukan
sunnah sebagai sum- ber hukum. Al-h}asan menuturkan, ketika Imran bin H}asan mengajarkan Hadis, ada seseorang yang minta agar
tidak usah mengajarkan Hadis, tetapi cukup Al-Qur’a>n
saja. Jawab
Imran,
5 Fatchur
Rahman, Ikhtisar Musthalah Hadis, (Bandung:
Al-Ma’arif, 1995) hal. 46
6 Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1995) hal. 87
“Kamu dan sahabat-sahabatmu dapat membaca Al-Qur’a>n, maukah kamu mengajarkan s}alat dan syarat-syaratnya kepadaku? Atau
zaka>t dan
syarat-syaratnya? Kamu
sering absen
padahal Rasulullah
SAW telah mewajibkan
zaka>t begini-begini”. “Terima kasih saya baru sadar”. Jawab orang tadi. Dan ia di
kemudian hari menjadi ahli fiqh.
Hal
serupa juga pernah terjadi pada Umyyah bin Khalid, dimana ia mencoba mencari seluruh permasalahan dengan merujuk pada Al-Qur’a>n saja. Akhirnya ia berkata kepada Abdullah bin Umar bahwa di dalam Al-Qur’a>n ia hanya mene-
mukan
masalah s}alat di rumah dan pada waktu perang saja (s}alat khauf), sedangkan masalah
s}alat di
perjalanan tidak ditemukan.7 Para sahabat yang menolak sunnah pada abad ke-2 H ini
tidak mewakili golongan, tetapi masih bersifat perorangan dan akhirnya mereka menyadari kekhilafannya. Menjelang
akhir abad ke-2 H atau pada awal masa Abbasiyah muncul golongan yang menginka>ri
sunnah secara
jelas. Gejala adanya golongan inka>r as-sunnah ini hanya terdapat di Iraq saja, tidak di seluruh negeri-negeri Islam. Argumentasi
gerakan inka>r as-sunnah yang muncul pada abad ke-2 ini telah dibantah oleh Asy-Syaf’i dengan menulis bantahan terhadap argumentasi-argumentasi mereka dan membuktikan keabsahan Hadis
(sunnah) sebagai salah
satu sumber ajaran Islam. Sehingga ulama pada masa berikutnya menggelari
Asy-Sya>fi’i sebagai “pembela Hadis” (Na>shir al-Hadis)
atau “Pembela al-sunnah” (Na>shir al-Sunnah; Multazim al-Sunnah), sehingga
gerakan inka>r as-sunnah
pada zaman
as-Sya>fi’i bisa dipadamkan. Gerakan inka>r as-sunnah pada abad ke-2 tersebut
disebut inka>r as-sunnah
klasik.
7 MM. Azami, H{adi>ts Nabi, hal. 41
Sesudah abad ke-2 H, kelompok inka>r as-sunnah ini lenyap dan tidak muncul
ke permukaan lagi. Baru kemudian muncul inka>r as-sunnah modern di Kairo Mesir pada abad ke-13 H akibat pengaruh
pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.
Apabila inka>r
as-sunnah klasik masih bersifat perorangan dan tidak menamakan dirinya sebagai mujtahid atau
pembaharu, maka inka>r as-sunnah modern banyak yang bersifat kelompok dan terorganisir, sementara tokoh-tokohnya banyak yang
mengklaim dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu.
Apabila penginka>r sunnah
pada masa klasik mencabut
pendapatnya setelah mereka menyadari
kekeliruannya, maka para penginka>r sunnah pada masa modern banyak yang bertahan pada pendiriannya, meskipun kepada mereka telah
diterangkan urgensi sunnah dalam Islam. Bahkan diantara mereka ada yang tetap
menyebarkan pemikirannya secara diam-diam, meskipun penguasa setempat telah
mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.8
Menurut MM Azami,
aliran inka>r
as-sunnah modern
ini lahir di Kairo
Mesir pada masa Syekh Mohammad
Abduh ( 1266- 1332 H / 1849-1905 M), dengan kata
lain Mohammad Abduh lah orang yang pertama kali melontarkan
gagasan inka>r
as-sunnah pada
masa modern dengan catatan apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitabnya Adhwa’ ‘ala
al-Sunnah al-Muhammadiyah itu
benar. Abu Rayyah menuturkan bahwa Muhammad Abduh berkata: “ Umat Islam pada
masa ini tidak mempunyai imam (pimpinan) selain Al-Qur’a>n, dan Islam yang benar adalah Islam pada masa awal sebelum terjadinya
fitnah (perpecahan)”. Beliau
8 Ali Musthafa Yakub, Kritik Hadis,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000) hal. 46
juga berkata: “Umat Islam
sekarang tidak mungkin bangkit se- lama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab
yang diajarkan di al- Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan. Umat Islam
tidak mungkin maju tanpa semangat yang menjiwai umat Islam abad pertama, yaitu Al-Qur’a>n. Dan semua hal selain Al-Qur’a>n akan menjadi kendala yang menghalangi antara Al-Qur’a>n
dan ilmu serta amal”.9
Sementara itu Prof. Dr Musthafa
al-Siba>’i secara tidak langsung menuduh Syekh Muhammad Abduh sebagai penginka>r sunnah. Al-Siba>’i mengakui keunggulan-keunggulan Muhammad Abduh bahkan
menilai sebagai filusuf
Islam, namun disisi
lain al- Siba>’i menilai Abduh sebagai orang yang sedikit perbendaharaan Hadisnya. Menurutnya, Abduh memiliki prinsip bahwa senjata yang paling ampuh untuk membela
Islam adalah logika dan argumen yang rasional. Berangkat dari prinsip ini Abduh
kemudian mempunyai penilaian
yang lain terhadap
sunnah dan para rawinya
berikut dalam memandang sunnah itu sendiri.
Pendapat Abduh ini akhirnya dijadikan argumen kuat oleh Abu
Rayyah dalam menginka>ri
sunnah
Pemikiran Syekh Muhammad Abduh
dalam “menolak” sunnah ini kemudian diikuti oleh Dr. Taufiq Siddiqi dimana ia
menulis dua buah artikel dalam majalah al-Manar nomor 7 dan 12 tahun ke IX dengan judul Islam adalah Al-Qur’a>n itu sendiri. Sambil mengutip ayat-ayat Al-Qur’a>n, Taufiq Siddiqi mengatakan bahwa Islam tidak
memerlukan Sunnah. Pendapat
Taufiq Shidqi ini ditanggapi
positif oleh Sayyid Rasyid Ridha, dimana antara lain beliau mengatakan, “dalam
masalah ini ada suatu hal yang
perlu di kaji ulang, yaitu apakah Hadis - yang mereka sebut
9 Ibid, hal. 47
sebagai sunnah qauliyah itu –
merupakan agama dan syari’at yang bersifat umum, meskipun hal itu tidak
merupakan aturan- aturan yang harus dikerjakan khususnya pada masa-masa awal
?. Apabila kita menjawab “ya”, maka ada
pertanyaan besar yang perlu kita jawab, yaitu
kenapa Nabi SAW justru melarang
apapun selain Al-Qur’a>n ?. Begitu pula para sahabat, kenapa mereka tidak menulis Hadis, bahkan
para ulama dari kalangan mereka
seperti para khalifah juga tidak terpanggil untuk memperhatikan dan melestarikan Hadis.
Sayyid Rasyid
Ridha tampaknya sangat
mendukung pemikiran Taufiq Shiddiqi. Bahkan beliau berpendapat bahwa
Hadis-Hadis yang sampai
kepada kita dengan
riwayat mutawatir, seperti jumlah raka’at s}alat, puasa dan lain-lain, harus diterima dan hal itu disebut aturan
agama secara khusus
dimana kita tidak wajib menerimanya. Namun pada
perkembangannya beliau mencabut pendapatnya itu, bahkan dikenal sebagai pembela
Hadis. Demikian pula al-Siba>’i menegaskan bahwa Sayyid Rasyid Ridha adalah orang yang paling
gigih membela sunnah.
Ronde
berikutnya, tahun 1929 Ahmad Amin menerbitkan bukunya Fajr al-Islam dimana
beliau mengulas masalah Hadis dalam suatu bah}asan khusus (bab VI pasal 2) yang mana tulisan beliau
justru mengacaukan antara yang haq dan yang bathil, bahkan memberikan keraguan
terhadap Hadis. Sementara beliau tetap pada pendiriannya sampai wafat. Kemudian
pada tahun 1353 H (1933 M) Ismail Adham mempublikasikan bukunya tentang sejarah
Hadis. Ia berkesimpulan bahwa Hadis-Hadis yang
terdapat dalam
kitab-kitab s}ah}i>h
(antara lain
S}ah}i>h al- Bukha>ri dan S}ah}i>h Muslim) tidak dapat dipertanggungjawabkan
sumbernya. Menurutnya Hadis-Hadis itu secara
umum diragukan otensitasnya,
bahkan banyak yang palsu.
Ketika masyarakat memprotesnya, Ismail Adham
menjawab lewat majalah al-Fath bahwa pendapatnya itu telah disetujui
oleh tokoh-tokoh ulama antara lain Ahmad Amin. Ahmad Amin memang tidak
membantah pembelaan Ismail Adham itu merupakan
pemasungan kreatifitas dan kebebasan berfikir,
dan hal itu akan menjadi batu pengganjal dalam penelitian ilmiah. Begitulah, dan akhirnya tongkat estafet Inka>r as-Sunnah di Kairo dipegang oleh Abu Rayyah lewat
bukunya Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah (sorotan
terhadap sunnah Muhammadiyah) seperti telah disinggung di depan.
Aliran inka>r as-sunnah
modern
ini
juga berkembang di Malaysia dengan tokohnya Kassim Ahmad melalui karya
tulis- nya “Hadis suatu Penilaian Semula”.
Tulisan Kassim Ahmad tersebut telah mengundang reaksi keras dari berbagai
kalangan. Diantara reaksi yang dikemukakan dalam bentuk tulisan adalah Mahayudin Haji Yahaya (penyunting), “Penjelasan Mengenai Hadis dan KOD 19 (Reaksi terhadap buku “Hadis Suatu
Penilaian Semula”). Menurut Umar Yunus, seorang guru besar dan
budayawan yang kini tinggal di Malaysia, Kassim Ahmad telah beberapa kali
membikin kejutan di Malaysia, yakni:
a. Dia berhenti sebagai
ketua Partai Sosialis Rakyat Malaysia (PSRM)dan sekaligus keluar dari partai itu.
b. Dia telah menyatakan
ingin menjadi anggota UMNO, suatu organisasi yang dulu dimusuhinya.
c. Dia menerbitkan buku
yang menolak Hadis sebagai sumber ajaran Islam.
Selama ini Kassim dikenal
sebagai orang yang
tidak melibatkan diri pada persoalan agama dan bahkan sering
dipertanyakan keterlibatannya dalam pengamalan agama, serta dipertanyakan
pengetahuannya tentang agama Islam.
Selanjutnya aliran inka>r as-sunnah modern juga berkembang
di Indonesia. Tokoh-tokohnya
adalah Abdul Rahman, Moh. Ircham
Sutarto, dan Lukman Said. Menurut hasil pengamatan Ahmad Husnan, salah satu
sebab yang mendorong timbulnya kelompok Inkar as-Sunnah di Indonesia tersebut
ialah ketidak tahuan mereka terhadap
isi dan makna Al-Qur’an, serta ilmu tafsir dan bahasa Arab. Karenanya banyak
ayat yang diterjemahkan dan dipahami secara salah. Disamping itu Ahmad Husnan
secara tidak langsung juga berpendapat , bahwa mereka itu tidak banyak
mengetahui seluk beluk pengetahuan Hadis (sunnah). Terbukti Ahmad Husnan dalam
bukunya yang membahas inkar as-sunnah menyertakan juga beberapa uraian penting
tentang pengertian, kedudukan, sejarah penghimpunan dan berbagai sejarah ilmu
Hadis.10
Tetapi pada
tahun 1983 keberadaan inkar as-sunnah di Indonesia dilarang dengan
dikeluarkannya Surat Keputusan Jaksa Agung
No. Kep. 169/J.A./1983 tertanggal 30 September 1983. Dengan
dikeluarkannya surat keputusan tersebut maka secara resmi inkar as-sunnah di
Indonesia dilarang keberadaannya dan buku-buku yang diterbitkan oleh mereka dibredel/ dilarang beredar, meskipun sebenarnya kelompok mereka masih ada
namun keberadaan tidak terorganisir secara nyata atau lebih bersifat individual.
10 HM. Syuhudi Ismail, Kaedah,
hal. 87
Berikutnya
aliran inkar as-sunnah modern berkembang di India, Pakistan dan Bangladesh dengan
tokoh-tokohnya an- tara lain adalah Ahmad Dien dan Ahmad Khan.
Ahmad Din adalah seorang staf pengajar pada sekolah Islam Amritsar yang
mempunyai pandangan dan pemikiran yang cemerlang, namun dalam membahas dan
mengkaji masalah-masalah keagamaan ia merujuk kepada Al-Qur’a>n sebagai
satu-satunya dasar hukum Islam.
Baginya Hadis bukan merupakan hujjah dalam agama, karena itu kita tidak boleh
berpegang pada sunnah. Hal ini dapat diketahui melalui tulisannya “Mu’jizat
Al-Qur’an” yang terdiri dari satu jilid. Selain itu mereka juga membentuk
kelompok yang dinamakan umat muslimin, serta berhasil menerbitkan majalah
“Al-Balaq” yang isinya menyajikan pikiran-pikiran mereka yang membawa missi
tertentu yang sesuai dengan idenya.11
Sedangkan Ahmad
Khan, dilahirkan di Delhi tahun
1817 dan termasuk kelompok
ahli Al-Qur’an. Pertumbuhan kelompok ini tercipta
akibat adanya gerakan yang berasal dari murid-murid Ahmad Khan. Pandangan Ahmad
Khan tentang sunnah antara lain, bahwa para
MuHadisi>n dan para ulama salaf terlalu ceroboh dalam penyaringan sanad Hadis dan matan Hadis. Syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh suatu
sunnah baru bisa menjadi hujjah syar’i yaitu Hadis/sunnah yang
diriwayatkan itu benar-benar sabda Rasulullah SAW secara pasti (mutawatir), yang harus ada kesaksian bahwa kata-kata dalam
riwayat yang mengandung kebenaran dan kepastian dari Rasulullah SAW.12
11 Abdul
Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989) hal. 153
12 Zufran Rahman, , hal.
152-152
C. Ajaran-Ajaran Inkar As-Sunnah
Beberapa
pendapat yang dikemukakan oleh aliran inkar as- sunnah antara lain:
a. Taat kepada Allah
sebagai satu-satunya sumber dan dasar tasyri’
dalam agama Islam, tidak boleh ada yang lain. Barang siapa yang menggunakan sumber dan
dasar hukum dalam agama Islam selain Al-Qur’an akan berakibat kemusyrikan atau kekafiran.
b. Tugas Rasulullah
adalah menyampaikan Al-Qur’an, wahyu yang diterima dari Allah SWT kepada
umatnya, bukan menerangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang menimbulkan hukum baru. Rasulullah SAW menjadi
rasul ketika ia menyampaikan
Al-Qur’an, wahyu yang
diterima dari Allah
kepada umatnya, di luar
itu dia sebagai
manusia biasa, maka
perbuatan, perkataan,
ketetapan dan cita-citanya tidak dapat menjadi hujjah dalam agama Islam.
c. Sunnah yang ditulis oleh
Imam Bukha>ri,
Imam Muslim
dan ahli
Hadis lainnya tidak bisa diterima menjadi dasar atau sum- ber tasyri>‘ Islam. Sunnah Rasulullah adalah bohong dan palsu. Sunnah
tidak lain adalah dongeng, omong kosong, bukan perkataan Nabi.
d. Mereka berkeyakinan bahwa istilah mu’jizat
tidak pernah di- sebut dalam Al-Qur’a>n, sedangkan dalam
Al-Qur’a>n mema- kai istilah “Ayah” yang berarti
pertanda atas kenabian.
Nabi Muhammad itu Rasulullah, tetapi ia bukan Nabi terakhir, sesudah
Muhammad itu banyak sekali rasul-rasul yang ber- tugas menyampaikan ayat-ayat
Allah atau yang menerima dengan perantaraan
Al-Qur’a>n yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad. Dalam pandangan
mereka, kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah, yang wajib diimani adalah Injil
yang diturunkan kepada Nabi Isa as., Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as., dan Al-Qur’a>n yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan kitab
Zabur bukan merupakan suatu kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud, tetapi
Zabur itu adalah kekuatan yang didatangkan dan diberikan kepada Nabi Daud.
Dengan Zabur (kekuatan) yang diberikan kepada Nabi Daud, maka ia melebihi nabi-nabi
yang lain, terutama dalam industri besi. Selanjutnya mengenai masalah Adam as.
Dan isterinya adalah manusia pertama yang diturunkan ke permukaan bumi Allah.
Akan tetapi Adam bukanlah manusdia pertama yang dijadikan oleh Allah, tetapi
manusia pertama yang dijadikan Allah adalah perempuan. Darinyalah lahir anak
laki-laki melalui partheonogenese tanpa
bapak. Anak laki-laki itu kemudian menjadi suami perempuan tersebut yang dari
mereka lahirlah Nabi Adam as. Sebagaimana kejadian
Nabi Isa as. Dalam keyakinan
terhadap Ka’bah mereka berkeyakinan bahwa di setiap planet di semesta raya ini
ada ka’bah, justeru di setiap planet di semesta raya ini ada manusia
sebagaimana halnya di bumi kita ini. Sedang dalam keyakinan terhadap Isra’
Mi’raj, mereka berkeyakinan Nabi Muhammad bukanlah melaksanakan Isra’ dan Mi’raj
dari Masjidil Haram
Mekkah ke Palestina (Masjidil
Aqsha) terus menuju ke Sidratul Muntaha, tetapi Isra’ dan Mi’raj itu
berlangsung dari masjidil haram ke
masjidil Aqsha di planet Muntaha. Jadi menurut mereka masjidil Aqsha itu
bukanlah di palestina, tetapi terletak di planet Muntaha. Dan pada hakekatnya perjalanan Isra’ dan
Mi’raj ke Sidratul Muntaha itu
adalah untuk menunaikan ibadah haji.
e.
Setiap diri mengalami kematian dua kali
dan hidup dua
kali. Mati pertama adalah sebelum lahir dan mati kedua di waktu hidup
kini berakhir dengan bermacam-macam sebab musabab. Waktu roh berpisah dengan
tubuh tidaklah meng- alami sakaratul maut dan setelah dikuburkan tidak pula
mendapat azab kubur. Karena menurut
mereka azab itu
dua kali yaitu di dunia berupa musibah, kehinaan dan azab di akhirat adalah manusia masuk ke dalam
neraka. Dengan demikian azab kubur itu tidak ada dan untuk itu tidak wajib
dipercayai keberadaannya. Adapun hidup yang kedua adalah di akhirat, dimana
manusia diberikan kesempatan menikmati hidup di surga dan merasakan
kesengsaraan hidup di neraka. Sedangkan mengenai Hadis-Hadis siksa kubur adalah
Hadis palsu yang bertentangan dengan Al-Qur’a>n dan logika yang sehat. Bahkan kandungan Hadis-Hadis kubur
dan siksaannya tidak terjamin kemurniannya dan semuanya dugaan (z} anniyah),
sehingga tidak bisa diyakini kebenarannya, begitu pula Hadis-Hadis tentang
Isra’ dan Mi’raj, surga dan neraka, beserta Hadis tentang malaikat Munkar dan
Nakir, semuanya adalah batal.
Itulah diantara pendapat-pendapat kelompok inka>r as- sunnah, dan masih banyak lagi pendapat yang
lainnya.
Sedang dalam
hal ibadah, berdasarkan hasil penelitian Drs.
Huda Ali ajaran
inka>r as-sunnah
berbeda dengan
ajaran Islam
yang
dianut oleh mayoritas
umat Islam di dunia, antara lain:
a. S}alat adalah melakukan permohonan kepada Allah SWT oleh karena itu tidak
boleh ada perbuatan atau kata-kata yang di luar dari permohonan kepada
Allah SWT seperti
cerita, salam kepada orang lain atau menengok ke kiri dan ke kanan. S}alat
yang diperintahkan terhadap Yang
Maha Kuasa (Allah)
hanya s}alat malam (s}alat tahajjud) dan s}alat jum’at. Namun di
pihak lain bahwa s}alat yang lima tetap diperintahkan. Yang menjadi objek dalam s}alat yaitu gerakan tubuh yang dimulai dengan berdiri lurus,
ruku’, i’tidal, sujud
dan duduk antara
dua sujud serta tahiyat. Dan
apa yang dikerjakan mayoritas muslim selama
ini adalah suatu hal yang keliru.13
b.
Perintah s}alat bukan diterima pada waktu Isra’
dan Mi’raj,
tetapi telah diperintahkan sejak
jutaan tahun yang lalu, bahkan semenjak Nabi-Nabi sebelum
Nabi Muhammad SAW. Dengan
demikian, waktu Isra’ dan Mi’raj Nabi SAW tidak menerima perintah s}alat lima waktu, tetapi ia melakukan
Isra’ dan Mi’raj semata-mata untuk melihat ayat-ayat Allah di
semesta raya ini (planet-planet), yaitu tentang susunan tata surya dan bintang-
bintang di angkasa raya yang semuanya nampak jelas dan meyakinkan bila dilihat
dari luar lapisan ionosfir.
c. Pengertian safar bagi orang yang berpuasa bukanlah
seperti yang lazim diterjemahkan dengan “perjalanan” tetapi makna safar itu
adalah berbeban. Orang-orang yang tergolong “Ala Safarin” yaitu orang-orang
yang lemah fisik , bekerja berat, bertugas di medan perang, perempuan yang sedang
hamil tua, perempuan yang haidh.
13 Abdul Aziz, Gerakan Islam,
hal. 186
d. Ibadah zaka>t
diartikan kecerdasan,
bukan diartikan
men- sucikan,
membersihkan harga. Beberapa aspek pengertian zaka>t itu adalah:
1)
Pemberian ilmu dan penjelasan kepada orang yang mem- butuhkan.
2)
Memberi kesempatan dan lapangan kerja bagi yang
mem- butuhkan.
3)
Memberi harta atau
uang kepada orang
yang membutuhkan,
dengan shadaqah, nafkah atau lainnya.
4)
Memberi pertolongan berbentuk usaha, tenaga, buah
pikiran atau apa saja, untuk
kepentingan masyarakat umum terutama kepada orang-orang yang membutuhkan.
e.
Bahwa zaka>t itu bukan hanya berupa harta, tetapi memberikan orang lain ilmu/mengajar orang lain juga
berarti memberikan zaka>t.
f. Menunaikan ibadah haji
itu pada bulan tertentu asyuhurum ma’lu>ma>t yaitu pada
empat bulan haram, Zulkaedah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.
g. Wukuf di Arafah boleh
saja dilakukan pada empat bulan tersebut
di atas.
h. Penyembelihan hewan
ternak (qurban) adalah rukun haji terpenting bukan dam (denda yang wajib dibayar).
i.
Nabi Muhammad SAW melaksanakan ibadah haji ke
planet Muntaha di kutub nenek moyang manusia bermukim di sana sebagaimana
manusia di bumi ini menunaikan ibadah haji ke Mekkah yang jadi kutub utara dulu
sebelum taufan Nuh dan tempat bermukim nenek moyang kita.
j. Di planet-planet lain di semesta
raya ini telah berlaku hukum Islam dan di sana
telah ada Mekkah
dengan Ka’bahnya selaku kiblat slahat, seperti di bumi
dengan penyembelihan ternak qurban.
Demikianlah ajaran-ajaran
inka>r as-sunnah,
yang ternyata bertentangan
dengan apa yang dihayati dan diyakini oleh mayoritas umat Islam selama ini.
Pemikiran dan pemahaman ajaran agama Islam yang dikembangkan
oleh
kelompok inka>r as- sunnah
sebagaimana telah diceritakan di atas telah menimbulkan dampak sosial
yang tidak baik bagi penganut faham
inka>r as- sunnah itu sendiri maupun masyarakat Islam lain.
REFERENSI:
1. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahehan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
2.
Fathurrahman, Ikhtisar Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991
3. Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam
Kontemporer di Indonesia,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989)
4.
M.M. Azami., Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
5.
Masjfuk Zuhdi, Pengantar
Ilmu Hadis , (Surabaya: Bina Ilmu, 1993)
6. Ali Musthafa
Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka
Firdaus,
2000)
7.
Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989) hal. 153
PERTANYAAN:
1. Apa yang anda ketahui
tentang golongan inkar as-sunnah?
2. Apa perbedaan antara
golongan inkar as-sunnah klasik dan modern? Jelaskan dan sebutkan tokoh-tokohnya!
3. Jelaskan ajaran-ajaran
golongan inkar as-sunnah!.
Peta Konsep
Sejarah Perkembangan Hadis
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa
mampu mendeskripsikan sejarah hadis mulai masa Nabi, sahabat, hingga masa
penulisan dan kodifikasinya.
A. Hadits Pada Masa
Rasulullah SAW.
Para ahli
h}adi>th menyatakan
bahwa penulisan h}adi>th telah dimulai sejak Rasu>lulla>h saw. masih hidup. Banyak sekali para s} ah}a>bat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan h}adi>th, baik untuk disimpan sebagai
catatan-catatan pribadi maupun
untuk memberikan pesan-pesan kepada orang lain dalam bentuk surat-menyurat dengan membubuhkan h}adi>th.1
1 Utang Ranuwijaya, Ilmu H}adi>th, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
1996),
hal. 51
Namun demikian, gerakan penulisan h}adi>th pada masa Nabi saw. tersebut tidak sehebat penulisan ayat-ayat Al-Qur’a>n. Kalau untuk menuliskan wahyu Allah, Nabi mempunyai
sekretaris khusus, untuk penulisan h}adi>th justru sebaliknya.
Beliau pernah melarang s}ah}a>bat-s}ah}a>batnya untuk menulis h}adi>th-h}adi>th yang beliau sampaikan kepada mereka. Bahkan terdapat
beberapa riwa>yat yang isinya
tentang pelarangan
penulisan h}adi>th, di antaranya :
1.
H}adi>th riwa>yat Abu> Sa’id al-Khudriy ra. :
عن أب سعيد اخلدري ريض اهلل
عنه قال رسول اهلل
صىل اهلل عليه
وسلم ل تكتبوا
عىن ومن كتب
عن غري القرأن
فليحمه وحد ثوا عىن ول حرج ومن
كذب عيل
٢)مسلم رواه( انلار من مقعده فليتبوأ متعمدا Dari Abu> Sa’id al-Khudriy ra., dia berkata: Rasulullah
saw. telah bersabda : “Kalian jangan menulis
apa-apa yang keluar dariku. Barang siapa yang menulis sesuatu yang keluar
dariku selain Al-Qur’a>n, maka hendaklah
ia menghapusnya.Riwa>yatkanlah dari saya. Barang sipa sengaja berbohong atas nama saya maka tempatnya
di neraka” (HR. Muslim).
2.
H}adi>th riwa>yat Abu> Sa’id al-Khudriy ra. :
عن أب سعيد
اخلدري ريض اهلل عنه جهد نا بانلىب
صيل اهلل عليه
و سلم أن يأذن
فأىب الكتاب
ف نلا Abu> Sa’id Al-Khudriy berkata
: “Saya pernah
berjuang agar Nabi memberi izin kepada kami menulis h}adi>th, tetapi Nabi saw. enggan (memberi izin)”.3
2
Nawawi, Shahih Muslim Syarh al-Nawawi,
J. 18, (Kairo : Matba’ah al- Misriyah, 1934), hal. 129.
3 Al-H}asan bin Abd
al-Rahman al-Ramahurmuzi,
Al-Muh}addith al-Fa>sil Bain al-Ra>wi wa al-Wa>’I, (Beirut :
Da>r al-Fikr,
1984), Juz 4, hal. 5
3.
H}adi>th riwa>yat Abu> Hurairah ra. :
نكتب وحنن
وسلم عليه
اهلل صىل
اهلل رسول خرج
قال أنه
هريرة أىب
عن روي فقال
منك نسمعها
أحاديث نكتب
قلنا تكتبون؟
الي هذا
ما فقال
الحاديث اهلل
كتاب من
اكتتبوا بما
إل قبلكم
المم ضل
ما أتذرون
اهلل كتاب
غري كتاب Diriwa>yatkan dari Abu> Hurairah bahwa ia berkata : Rasulullah saw. telah
keluar, sementara kami menulis
h}adi>th-h}adi>th. Ia bertanya, “Apa yang sedang kalian tulis
ini ? Kami menjawab, “H}adi>th-h}adi>th yang kami dengar dari paduka,” Beliau bertanya, “Tulisan
selain Kitab Allah? Tahukah kalian bahwa kesesatan ummat sebelum kamu dulu
disebabkan menulis kitab bersama Kitab Allah
SWT.
Inilah
fakta-fakta yang memperkuat argumentasi bahwa upaya
penulisan h}adi>th pada masa Nabi dibatasi oleh Nabi sendiri. Menurut analisis sejarah, larangan Nabi
tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan, yaitu :
1. Bahwa Nabi melarang para s}ah}a>bat dekat beliau untuk menulis h}adi>th-h}adi>thnya itu, dilatar
belakangi oleh
kekhawatiran beliau sendiri akan tercampurnya ayat-ayat
Al-Qur’a>n dengan h}adi>th-h}adi>th, karena mereka pada umumnya melakukan
penulisan wahyu, sementara alat-alat tulis amat terbatas.
2. Para s}ah}a>bat beliau juga
pada umumnya orang-orang yang punya daya hafal kuat, sehingga
walaupun mereka tidak menuliskan h}adi>th-h}adi>th yang mereka terima, h}adi>th-h}adi>th tersebut tidak akan musnah akibat lupa dan kelalaiannya.
Dengan
demikian, alasan-alasan Nabi itu amat pragmatis dan kondisional, sehingga ketika kekhawatiran itu hilang, dan
kebutuhan kondisi berubah, maka Nabi pun merubah sikapnya
itu. Terbukti terdapat beberapa
riwa>yat yang isinya membolehkan penulisan
h}adi>th, yaitu :
1.
H}adi>th yang diriwa>yatkan oleh Abdullah bin Amr bin al-‘A<sh.
قال عبداهلل
بن عمروبن العاص
ريض اهلل عنهما, كنت أكتب لك شئ أسمعه
مع رسول اهلل صىل
اهلل عليه و سلم أريد
حفظه فنهتىن قريش
وقالوا تكتب لك شئ سمعته عن رسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم ورسول اهلل صىل اهلل عليه و سلم برش يتلكم ىف الغضب والرضا.فأمسكت عن الكتابة. فذكرت ذالك لرسول اهلل صىل اهلل
عليه و سلم فأومأ
بأصابعه إىل فيه وقال : أكتب فو الي نفىس بييده
ما خرج منه
٤.احلق
إل Abdullah
bin Amr bin ‘A<sh berkata, saya senantiasa menuliskan
segala sesuatu yang saya dengar dari Rasul saw. agar saya menghafalnya.
Maka orang Quraisy mencegah aku dan berkata: “Anda menuliskan segala yang anda
dengar dari Raulullah saw. sedangkan ia manusia
biasa, berbicara dalam
keadaan marah dan lapang. Maka saya menahan diri dari
menulis. Kemudian saya melaporkan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka beliau
me- nunjuk mulutnya dengan telunjuknya dan berkata, “Tulislah Demi Allah,
tidak ada yang keluar dari sini kecuali
yang benar”.
2.
H}adi>th riwa>yat Abu> Hurairah ra.
روي عن أىب هريرة أنه ملا فتح اهلل
ىلع رسوهل صىل اهلل
عليه و
سلم مكة. قام الرسول صىل اهلل
عليه و سلم و
خطب ىف انلاس. فقام رجل مع أهل ايلمن يقال هل أبو شاه, فقال يا رسول اهلل أكتبوا ىل, فقال أكتبوا أل ىب شاه5.
4 Imam Abdul Al-Din Abdur Rohman
bin Al-Fadl, Sunan Darimi,
Juz.1,
(Beirut : Dar-Al-Fikr, tt.) hal 125.
5 Abu> Abdillah Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad Ahmad bin Hambal, Juz 12, (Beirut
: Da>r
al-Fikr, 1978), hal. 232
Diriwa>yatkan dari
Abu> Hurairah,
bahwa ketika
Fath Makkah
Rasulullah saw. bangkit untuk berkhotbah di tengah orang ba- nyak. Maka berdirilah
seorang penduduk Yaman, bernama Abu> Syah.
Katanya, “Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku.” Kata Nabi, “Tuliskanlah untuknya”.
3.
Dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, Nabi
mengirim surat-surat ke berbagai penguasa negara-negara tetangga. Sesuai dengan cakupan
h}adi>th adalah
apa saja
yang berasal dari
Nabi, termasuk isi surat, maka dengan perintah menulis surat, Nabi memberi
izin penulisan h}adi>th.
Dari uraian
di atas, maka dapat dilihat bahwa ada dua kelompokriwa>yatyangkelihatannyaterjadikontradiksi, kelompok pertama melarang penulisan h}adi>th, sedang kelompok yang kedua membolehkannya. Dengan adanya kontradiksi
tersebut, maka mengundang perhatian para ulama untuk menemukan penyelesaiannya.
Di antara mereka ada yang mencoba dengan menggugurkan salah satunya, seperti
jalan na>sikh dan
mansu>kh, dan
ada yang berusaha mengkompromikan keduanya, sehingga keduanya tetap digunakan
(ma’mul).
Menurut Al-Nawa>wi> dan Al-Suyu>thi, larangan tersebut dimaksudkan
bagi orang yang
kuat hafalannya, sehingga
tidak ada kekhawatiran akan terjadinya lupa. Akan tetapi bagi orang yang
khawatir lupa atau kurang kuat hafalannya, maka diperbolehkan mencatatnya.6 Sedangkan
menurut Ibnu
Ha>jar Al-Asqalani, bahwa larangan Rasul saw. menuliskan h}adi>th adalah khusus ketika Al-Qur’a>n turun dikarenakan ada ke- khawatiran
tercampurnya naskah Al-Qur’a>n dengan h}adi>th.
6 Al-Suyu>thi, Tadri>b Al-Ra>wy fi Syarh Taqri>b Al-Nawa>wi>, Juz 2, (Beirut: Da>r Al-Fikr,
1998), hal. 67.
Kemudian menurutnya larangan
itu dimaksudkan juga untuk tidak menuliskan Al-Qur’a>n dalam
satu s}uh}uf. Ini artinya,
bahwa ketika wahyu
tidak turun dan dituliskan
bukan pada s}uh}uf untuk mencatat
wahyu, maka diperbolehkan menulis h}adi>th.7
Dari beberapa pendapat ulama h}adi>th terhadap adanya
kontradiksi dua h}adi>th di atas, jika diambil kesimpulannya, maka dapat
diuraikan sebagai berikut:
Pertama, menurut sebagian ulama bahwa h}adi>th riwa>yat Sa’id Al-Khudry
bernilai mauqu>f, karenanya tidak dapat
dija- dikan
hujjah. Pendapat ini ditolak oleh Ajjaj Al-Khatib, karena menurutnya h}adi>th tersebut adalah
s}ah}i>h>. Sedangkan
menurut Prof. Al-Azami, bahwa semua h}adi>th tentang pelarangan penulisan h}adi>th tersebut d}a’i>f.8
Kedua, Larangan menulis h}adi>th hanya terjadi
pada periode
awal Islam, dikarenakan adanya
keterbatasan, seperti jumlah umat Islam
dan tenaga penulis h}adi>th. Selain itu
larangan itu berlaku jika penulisannya dijadikan
satu s}uh}uf dengan Al-Qur’a>n. Prof Azami
membantah pendapat yang mengatakan bahwa pada masa Nabi terdapat keterbatasan jumlah tenaga penulis h} adi>th karena amat
langka s}ah}a>bat yang dapat
menulis h}adi>th. Banyaknya sekretaris Al-Qur’a>n menggambarkan banyaknya s}ah} a>bat yang pandai menulis.
Ketiga, larangan itu
diperuntukkan bagi mereka yang kuat hafalannya, untuk melatih kekuatan
hafalannya. Sedangkan bagi mereka yang kurang kuat daya hafalannya maka
diperbolehkan untuk menulis h}adi>th.
7 Ibnu Ha>jar Al-Asqalani,
Fath Al-Ba>ri, Jilid I, (Beirut
: Da>r
Al-fikr wa Maktabah Al-salafiyah, t.t), hal 218.
8 Al-A’zami, Studies in Early
H}adi>th Literature, (Indianapolis, Indiana : Islamic Teaching Centre, 1977) Hal. 106-116
Keempat, Larangan tersebut ditujukan kepada masyarakat umum, sedangkan bagi
orang-orang tertentu yang mempunyai keahlian menulis dan membaca, yang tidak
dikhawatirkan akan terjadi kekeliruan, maka diperbolehkan.
Terlepas dari kontradiksi h}adi>th di atas, yang jelas banyak s} ah}a>bat yang pandai menulis dan mempunyai catatan h}adi>th yang
terpisah dengan Al-Qur’a>n yang dikenal dengan istilah s}ah}i>fah9. Di antara
catatan-catatan itu adalah :
1.
Al-
S}ah}i>fah al-S{adi>qah karya Abdullah
ibn Amr
Al-‘A<sh (w. 63
H/682 M),
seorang s}ah}a>bat yang mengerti
bahasa Ibrani
dan Syiria. H}adi>th-h}adi>th yang tercantum dalam
s}ah}i>fah ini menurutnya
telah dibenarkan oleh Rasulullah saw., sehingga diberi nama al-s}ah}i>fah al-s}adi>qah. Beliau
adalah s}ah}a>bat yang mendapat izin langsung dari
Nabi saw untuk
menulis apa saja yang didengar dari Rasul, walaupun
tindakan tersebut pernah diprotes oleh orang-orang Quraisy. Dalam s}ah}i>fahnya ini terhimpun sekitar
seribu h}adi>th10,
yang menurutnya
dia terima
langsung dari Rasulullah saw. ketika mereka berdua tanpa ada orang yang menemaninya. Pada gilirannya s}ah}i>fah ini
berpindah tangan kepada seorang cucunya, yaitu ‘Amr bin Syu’aib. H}adi>th-h}adi>th yang tercatat dalam s}ah}i>fah ini banyak terdapat
dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal dalam bab
9 Kata “s}ah}i>fah” pada mulanya berarti lembaran, namun kadang-kadang kata itu digunakan
untuk arti “buku kecil”. Suatu s}ah}i>fah biasanya berisi sunnah Nabi saw, terlepas dari jumlah dan isinya. Banyak di antara s}ah} i>fah tersebut berisi H}adi>th dengan jumlah yang sangat terbatas , namun sebagian
ahli pada masa awal tersebut diyakini memiliki seratus hingga seribu lebih h}adi>th dalam s}uh}uf mereka. Lihat Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi H{adi>th Kontenporer, (Yogyakarta :
Tiara wacana
Yogya, 2002), hal. 11.
10 Hanya saja
perhitungan Amr
ibn Syu’aib
yang diriwa>yatkannya Da>ri ayahnya
Da>ri kakeknya tidak mencapai lima
ratus buah h}adi>th.
Musnad Abdullah bin ‘Amr
melalui riwa>yat ‘Amr
bin Syu’aib
dari bapaknya dari kakeknya. S}ah}i>fah ini merupakan bukti historis yang ilmiah
memuat informasi
tentang penulisan h} adi>th Nabi saw. di hadapan beliau dengan izin beliau sendiri.11
2. S}ah}i>fah Jabir, yang disusun oleh Jabir
ibn Abdillah
ibn Amr
Al- Anshari (w. 78 H). Ia memiliki catatan h}adi>th dari Rasulullah saw. tentang Mana>sik haji. H}adi>th-h}adi>thnya kemudian diriwa>yatkan oleh Imam Muslim.
Tulisan Jabir tersebut begitu
terkenal di kalangan
banyak orang. Seorang
tabiin besar Qatabah bin Di’amah
as-Sadusi (w. 118 H) sangat meng-
hargainya dan berkata : “Saya justru lebih hafal tulisan jabir daripada surat
al-Baqarah”.12 Jabir juga mempunyai
kelompok kajian di
Masjid Nabawy untuk meng’imlakkan
h}adi>thnya kepada murid-muridnya. Banyak
yang menulis darinya,
semisal Wahb Ibn Munaaabbih (w.
114 H). Disamping itu Abu> az-Zuabir,
Abu>
Sufyan, dan asy-Sya’biy juga benar-benar meriwa>yatkan dari
Jabir.13
3.
Al-S}ah}i>fah al-Sah}i>h}ah. S}ah}i>fah ini sebenarnya adalah s}ah}i>fah Abu> Hurairah (w. 59 H/679 M) yang diwariskan
kepada seorang muridnya Hammam bin Munabbih (40-131/2 H). S{ah}i>fah yang memuat 138 h}adi>th ini telah sampai kepada kita dalam keadaan utuh dan selamat,
persis seperti yang diriwa>yatkan dan dicatat oleh
Hammam dari
Abu>
Hurairah, oleh karena itu disebut
al-s}ah}i>fah al-s}ah}i>h}ah. Naskah dari s}ah}i>fah ini
telah ditemukan oleh Dr. M. Hamidullah dalam bentuk manuskrip
aslinya di
11 M. Ajjaj al-Kha>t}ib, Us}u>l al-H{adi>s, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998), hal. 173.
12 Lihat Thabaqat Ibnu Sa’d,
hal.1-2, bagian II, juz VII.
13 SyihAbu>ddin Ibn Ali
(Ibn Ha>jar)
al-Asqalany, Tahdhi>b at-Tahdhi>b, Juz IV, (Kairo : Musthafa
al-Babi al-Halaby, 1959), hal 214
Damaskus dan Berlin.
14Isi s}ah}i>fah ini
secara keseluruhan
mirip yang dalam Musnad Ahmad dan juga banyak diantara h} adi>th-h}adi>thnya diriwa>yatkan dalam s}ah}i>h} Bukhori
pada bab- bab yang
berbeda-beda.
4.
S}ah}i>fah Ali bin
Abi Thalib, S}ah}i>fah ini hanya berisi tentang h} adi>th-h}adi>th mengenai
ketentuan hukum diat, keharaman Madinah
dan pembebasan
tawanan. S}ah}i>fah ini
sering beliau gantungkan
pada pedang beliau.15 S}ah}i>fah ini
juga sangat
tipis. Al-Bukha>ri meriwa>yatkan kisah s{ah}i>fah Ali
ini dari
riwa>yat Abu> Juhaifah, katanya : “Aku bertanya kepada Ali : “Apakah kamu mempunyai kitab?”. Ia menjawab : “Tidak,
kecuali Kitab Allah; ilmu yang kudapat dari seorang Muslim, dan apa yang terdapat dalam s}ah}i>fah ini.” Aku bertanya: “Apa yang terdapat dalam s}ah}i>fah ini?”, Ia menjawab: “’Aql (ketentuan-ketentuan diat), tentang pembebasan tawanan
perang, dan bahwa
seorang Muslim tidak dapat dijatuhi hukuman mati karena membunuh seorang kafir.”
5.
S}ah}i>fah Sa’ad bin Ubadah, Sa’ad bin ‘Ubadah adalah seorang s}ah}a>bat senior (w.15
H). At-Turmudhi> meriwa>yatkan dalam kitab
Sunan-nya dari Ibnu Sa’ad bin ‘Ubadah, ia berkata :
“Kami temukan dalam kitab Sa’ad bahwa Rasulullah saw. menjatuhkan
hukuman berdasarkan sumpah dan seorang saksi”. Akan tetapi kita tidak temukan selain h}adi>th ini dari kitab ini. Namun barangkali kebanyakan
h}adi>th yang diriwa>yatkan oleh
Sa’ad adalah dari s}ah}i>fah ini.”
14 Muhammad
Ajjaj Al-Kha>t}ib, As-Sunnah Qabl at-Tadwi>n,
(Beirut : Da>r al-Fikr,
1981), hal. 355-357 dan Subhi as-Salih, ‘Ulu>m al-H}adi>th wa Musthalahuh, (Beirut :
Da>r ‘Ilm
li al-Malayin,
1988), hal. 32
15 Lihat SyihAbu>ddin
Ahmad ibn
Ali (Ibnu
Ha>jar) al-Asqalany,
Fath al- Bariy, juz vii (Kairo : Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959), hal. 83
6.
Catatan yang dimiliki
oleh Abu> Syah
(Umar ibn
Sa’ad Al- Anmari) seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada
Rasul saw dicatatkan h}adi>th yang beliau sampaikan ketika pidato pada peristiwa futuh Makkah sehubungan dengan
terjadinya pembunuhan yang dilakukan
oleh s}ah}a>bat dari Bani Khuza’ah terhadap
salah seorang laki-laki Bani Lais.
Disamping catatan-catatan di atas, masih
banyak pula catatan yang dimiliki
oleh s}ah}a>bat-s}ah}a>bat lainnya,
yang menurut
Al- Azami
tidak kurang dari 50 s}ah}a>bat. Sebagian besar mereka mengimlakkan
h}adi>th tersebut untuk dicatat
oleh murid-murid
mereka.16
B.
H}adi>th Pada Masa
S}ah}a>bat
Kondisi pada masa s}ah}a>bat besar (khulafa>ur Ra>shidi>n), per- hatian mereka masih
terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’a>n. Dengan demikian maka penulisan h}adi>th belum begitu berkembang, bahkan mereka membatasi periwa>yatan dan menjauhi penulisan h}adi>th tersebut. Oleh karena itu masa ini oleh para
ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan atau
memperketat periwa>yatan.
Kehati-hatian dan usaha membatasi periwa>yatan dan penu- lisan h}adi>th yang dilakukan para s}ah}a>bat, disebabkan karena mereka khawatir terjadinya kekeliruan dan
kebohongan atas nama Rasul
saw., karena h}adi>th adalah sumber
ajaran setelah
Al-Qur’a>n. Oleh karena itu,
para s}ah}a>bat khususnya khulafa>ur ra>shidi>n dan
s}ah}a>bat-s}ah}a>bat lainnya, seperti
az Zubair,
Ibn
16 Al-Azami, Studies…, hal. 132-200.
Abbas dan Abu> Ubaidah
berusaha memperketat
periwa>yatan, penulisan dan
penerimaan h}adi>th.
Abu> Bakar sebagai
khalifah yang pertama menunjukkan
perhatian yang serius dalam memelihara
h}adi>th, demikian
juga Umar bin Khatab. Keduanya sangat berhati-hati dalam menerima h}adi>th. Dalam beberapa athar disebutkan bahwa Abu> Bakar dan Umar
tidak menerima
h}adi>th jika
tidak disaksikan
benarnya oleh seseorang
yang lain,
seperti yang diriwa>yatkan oleh
Adh Dhahaby
dalam Tadhkurah al-Hufaz}.17
Abu>
Bakar juga
pernah menghimpun
h}adi>th, tetapi kemudian membakarnya. Disebutkan dalam sebuah riwa>yat yang disebut bersumber dari ‘A<isyah ra, ia berkata, “Ayahku
mengumpulkan h}adi>th Rasul sebanyak
500 buah. Di suatu malam beliau tampak
resah. Akhirnya saya bertanya, Apakah ayah sedang sakit atau ada sesuatu ? Pagi
harinya, beliau menyuruhku mendatangkan
h}adi>th yang ada padaku.
Setelah aku menyerahkannya, beliau membakarnya. Saya bertanya, kenapa ayah
membakarnya? Beliau menjawab, “Saya khawatir, bila saya
mati h}adi>th itu masih
ada padaku…”. Abu> Bakar juga pernah mengumpulkan para s}ah}a>bat. Kepada mereka ia berkata: “Kalian meriwa>yatkan h}adi>th-h}adi>th Rasul SAW yang diperselisihkan orang-orang. Padahal orang-orang
setelah kalian akan lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwa>yatkan h}adi>th tersebut”.
Akan tetapi walaupun
Abu>
Bakar amat
ketat dalam
peri- wa>yatan h}adi>th, beliau tidak anti pati terhadap penulisan h}adi>th. Bahkan, untuk kepentingan tertentu , h}adi>th Nabi juga ditulisnya.
Dalam al-Mu’jam al-Kabi>r, al-T{abrani menyebutkan, bahwa Abu> Bakar berkirim surat kepada “Amru ibn
al-‘A<sh, di
dalamnya
17 Al Khudhory, Ta>ri>kh Tasyri>‘. hal.
65-66.
ditulis beberapa h}adi>th Nabi. Juga dalam suratnya kepada Anas
ibn Ma>lik,
Gubernur Bahrain,
Abu>
Bakar mencantumkan
beberapa h}adi>th tentang kewajiban membayar zakat bagi orang- orang Islam sebagAima>na yang telah ditetapkan oleh Rasulullah
saw.18
Umar bin
Khattab terus menerus mempertimbangkan penu- lisan h}adi>th, padahal sebelumnya ia berniat untuk memcatatnya. Diriwa>yatkan dari Urwah
bin Az-Zubair bahwa Umar bin Khattab ingin menulis h}adi>th. Ia lalu meminta pendapat kepada para s}ah}a>bat Rasulullah dan umumnya mereka menyetujuinya.
Tetapi masih ragu. Lalu Umar selama satu bulan melakukan s}alat Istikha>rah, memohon petunjuk kepada Allah tentang rencananya tadi.
Suatu pagi sesudah mendapat kepastian dari Allah, Umar berkata :
إىن كنت أريد أن أكتب السنن وإىن ذكرت قوما كنوا قبلكم
كتبوا كتبا فأكبوا
.أبدا
بشئ اهلل
كتاب أشوب ل
واهلل وإىن
اهلل كتاب
وتركوا عليها “Aku telah menuturkan kepada kalian tentang penulisan kitab h} adi>th, dan kalian tahu itu. Kemudian aku teringat
bahwa para ahli kitab sebelum
kalian telah menulis
beberapa kitab di samping kitab Allah, namun ternyata mereka malah
lengah dan meninggalkan kitab Allah. Dan
aku,
demi
Allah, tidak
akan mengAbu>rkan Kitab
Allah dengan sesuatu apa pun untuk selama-lamanya”. Umar pun lalu membatalkan niatnya untuk menulis kitab h}adi>th. Namun demikian menurut riwa>yat Na>fi’ dari Ibnu Umar, bahwa Ibnu Umar menemukan s}ah}i>fah di dalam pegangan pedang Umar ibn al-Khat}t}a>b yang berisi zakat-zakat binatang ternak.
18
Abu>
Abdillah Muhammad
bin
Ismail al-Bukha>ri, S}ah}i>h}
Bukha>ri, (Beirut : Da>r al-Fikr,
tt) ,h}adi>th no. 1454
Sikap kehati-hatian kedua s}ah}a>bat
tersebut, juga diikuti oleh Usman dan Ali. Dalam sebuah athar disebutkan bahwa Ali ra. tidak menerima h}adi>th
sebelum yang meriwa>yatkan
itu disumpah.19.
Pada masa
ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun h}adi>th dalam
suatu kitab
seperti halnya
Al-Qur’a>n, hal ini disebabkan karena20:
1.
Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam
mempelajari Al-Qur’a>n.
2.
Para s}ah}a>bat yang banyak menerima h}adi>th dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam, dengan kesibukan
masing-masing sebagai pembina masyarakat, se- hingga ada kesulitan mengumpulkan
mereka secara lengkap.
3.
Soal membukukan h}adi>th, dikalangan s}ah}a>bat sendiri terjadi perselisihan pendapat.
Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafaz} dan
kes}ah}i>h}-annya.
C. H}adi>th Pada Masa
Ta>bi’i>n
Sebagaima>na para sah}a>bat, para ta>bi’i>n juga cukup berhati- hati dalam meriwa>yatkan h}adi>th. Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding dengan yang dihadapi para s}ah}a>bat.
Pada masa ini Al-Qur’a>n sudah dikumpulkan dalam satu mus}h} a>f, sehingga tidak mengkhawatirkan mereka untuk tercampur dengan h}adi>th. Disamping itu pada masa Usman bin Affan para s}ah}a>bat ahli h}adi>th telah menyebar ke beberapa wilayah Islam,
19 al Khudhory ,
Ta>ri>kh Tasyri>‘, hal. 65-66
20 Ajjaj al-Kha>t}ib, AS-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, (Beirut : Da>r
al-Fikr, 1997), hal. 92-93
sehingga memudahkan para ta>bi’i>n untuk mempelajari h}adi>th dari mereka.21
Ketika
pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi
Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika selatan,
Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam tersebut, penyebaran s}ah}a>bat ke daerah-daerah juga meningkat yang
berarti penyebaran h}adi>th
juga meningkat.
Oleh sebab
itu, masa
ini dikenal
masa penyebaran
periwa>yatan h}adi>th (Intisha>r ar
Riwa>yah).
H}adi>th-H}adi>th yang diterima
oleh para ta>bi’i>n ini,
seperti telah disebutkan ada yang dalan
bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan
dan ada yang
harus dihafal, disamping
dalam bentuk yang sudah
terpolakan dalam ibadah dan amaliah para s}ah}a>bat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu H}adi>th pun yang tercecer atau
terlupakan.
Sesuai dengan tersebarnya para s}ah}a>bat
ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, maka tercatat beberapa
kota sebagai pusat pembinaan dalam periwa>yatan H}adi>th, sebagai tempat tujuan para
ta>bi’i>n dalam mencari H}adi>th dan pada gilirannya menjadi pusat kegiatan para
ta>bi’i>n dalam meriwa>yatkan h}adi>th-h}adi>th tersebut kepada murid-muridnya. Kota-kota tersebut adalah, Madinah, Makkah,
Kuffah, Bashrah, Syam, Mesir, Maghrib,Andalus, Yaman dan Khurasan.22
21 Utang Ranuwijaya,
Ilmu H}adi>th, (Jakarta : Gaya Media Pratama,
1996),
hal. 61
22 Munzier
Suparta, Ilmu H}adi>th, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002),
hal.
85
Pada masa ta>bi’i>n juga terjadi kegiatan menghafal
dan menulis
h}adi>th. Banyak riwa>yat yang menunjukkan betapa mereka memperhatikan kedua hal ini. Tentang menghafal }adi>th, para ta>bi’i>n seperti: Ibnu Abi Laila, Abu> al-Aliyah, Ibnu Shiha>b az
Zuhri, Urwah bin az Zubair dan alqamah adalah tokoh-tokoh terkemuka yang sangat menekankan
pentingnya menghafal
h} adi>th secara terus menerus.
Kata az-Zuhri
sebagAima>na dikatakan
al Auza’i : “Hilangnya ilmu itu karena lupa dan mau mengingat- ingat atau menghafalnya”. Kata alqamah: “Dengan menghafal h} adi>th maka h}adi>th-h}adi>th akan terpelihara”.
Disamping menghafal h}adi>th diantara
mereka juga menulis atau memiliki
catatan h}adi>th yang
mereka terima dari para s}ah} a>bat.
Di antara
ta>bi’i>n besar
yang menuliskan
h}adi>th-h}adi>th yang diterimanya, ialah Abban bin Usman bin
Affan, Ibrahim bin Yazid an Nakho’i,
Abu>
Salamah bin Abdurrahman, Abi Qila>bah,
Ummu Darda’,
Junainah binti Yahya, Ja>bir
bin Zaid
al Asdi
dan lain-lain.
Sedangkan di antara ta>bi’i>n kecil yang memiliki catatan h} adi>th
ialah: Ibrahim bin Abdul al
A’la al
Ju’fi, Ibrahim bin Muslim al
Ha>jari, Ishaq
bin Abdullah,
Ismail bin Abi Kha>lid al
Ahmasi,
Ayyub bin Abi Tamimah
as Sahtayani, Bagir bin Abdillah
al Syajj dan lain-lain.
Pada masa ta>bi’i>n ini muncul atau terjadi perpecahan politik
yang sebenarnya sudah terjadi sejak masa s}ah}a>bat, setelah
terjadinya perang jamal dan perang siffin
yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh
Ali bin Abi T{a>lib. Akan
tetapi akibatnya
cukup panjang
dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawa>rij, Syi’ah, Muawiyah dan golongan minoritas yang
tidak masuk ke dalam ketiga
kelompok tersebut.
Dari persoalan
politik di atas langsung atau tidak langsung cukup memberikan pengaruh, baik
positif maupun negatif terhadap perkembangan h}adi>th berikutnya. Pengaruh yang langsung
dan bersifat negatif adalah
munculnya h}adi>th-h}adi>th palsu untuk mendukung kepentingan politik
masing-masing kelompok dan menjatuhkan posisi lawan-lawannya. Adapun pengaruh
yang berakibat positif adalah lahirnya rencana dan usaha yang mendorong
diadakan kodifikasi h}adi>th sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan.
D.
Hadis Pada Masa Kodifikasi dan Sesudahnya
Kodifikasi atau tadwi>n h}adi>th
artinya pencatatan, penulisan atau pembukuan.
Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwi>n sebagai berikut :
ح ُف
ِه الص فيْ
تْ َم ُع
كتَاب
ديْ َوان اَ ْو
و َجْ ُع ُه ِف
ش َّتت
ت ْق ِييْ ُد المتَ َف ِّر ِق الم
“Mengikat yang
berserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang
terdiri dari lembaran- lembaran”.23
Secara individual, pencatatan h}adi>th telah dilakukan oleh para s}ah}a>bat sejak zaman Rasul SAW. Namun, yang
dimaksud dengan
kodifikasi h}adi>th atau
tadwi>n
h}adi>th pada periode ini
adalah kodifikasi
secara resmi berdasarkan perintah kepala negara, dengan melibatkan beberapa
personil yang ahli di bidangnya. Masa kodifikasi h}adi>th ini dapat terbagi menjadi beberapa periode
23 Muhammad Ibn
Mat}ar al-Zahrani,
Tadwi>n Al-Sunnah
al-Nabawiyyah, Nash’atihi wa Tat}awwurihi min
Al-Qarn Al-Awwal
ila
Niha>yat Al- Qarn Al-Ta>si’ Al-Hijri,
(T{aif :
Maktabah Al-S{a>diq, 1412 H), hal. 73.
yang masing-masing periode melahirkan beberapa ulama h}adi>th yang berhasil mengarang beberapa kitab h}adi>th.
1.
Permulaan
Zaman Pembukuan
H}adi>th (Abad ke II H.)
Kegiatan pembukuan h}adi>th dimulai pada masa pemerintahan Islam yang dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Azi>z, melalui instruksinya kepada Abu>
bakar bin Muhammad bin Amr bin Ha>shim
(Gubernur Madinah) yang berbunyi:
أنظروا اىل حديث رسول اهلل ص.م. فاكتبوه فإىن خفت دروس العلم وذهاب
٤٢ انليب حديث ال تقبل ول العلمأ “ Periksalah h}adi>th-h}adi>th Rasul SAW,
kemudian tulislah! Aku khawatir
akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama dan janganlah kamu terima kecuali h}adi>th Rasu SAW”.
Motif utama
kholifah Umar bin Abdul Aziz berinisiatif membukukan h}adi>th adalah:
a. Beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya h}adi>th dari perbendaharaan masyarakat,
disebabkan h}adi>th belum didewankan
dalam sebuah kitab H}adi>th.
b. Kemauan beliau yang
keras untuk membersihkan dan meme- lihara h}adi>th dari h}adi>th-h}adi>th maudhu’
yang dibuat
oleh orang-orang
untuk mempertahankan idiologi golongannya.
c. Alasan tidak terdewankannya h}adi>th secara resmi
di zaman
Rasulullah SAW dan Khulafa>ur Ra>shidi>n, karena adanya kekhawatiran
bercampur aduknya
dengan Al-Qur’a>n, telah hilang disebabkan
Al-Qur’a>n telah dikumpulkan dalam satu mush}af dan
telah merata di
seluruh pelosok.
24 Ajjaj
Al-Kha>t}ib, As-Sunnah…, hal 329
d. Beliau khawatir hilangnya h}adi>th-h}adi>th, dengan meninggalnya para ulama
di medan perang.25
Untuk
mencapai maksud itu khalifah menginstruksikan kepada
Abu>
Bakar Ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan h}adi>th-h}adi>th yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al Ans}
a>ri. Seorang
ahli fiqh,
murid ‘A<ishah ra.
dan h}adi>th yang ada pada al Qa>sim bin Muhammad bin Abi Bakar ash- S{idiq. Instruksi
yang sama juga
ditujukan kepada Muhammad bin Shiha>b az Zuhri, seorang imam dan ulama besar di Hijaz dan
Syam. Beliau mengumpulkan h}adi>th-h}adi>th dan kemudian ditulisnya dalam
lembaran-lembaran dan dikirimkan
kepada masing-masing penguasa di
tiap-tiap wilayah satu lembar.26
Itulah
sebabnya para ahli tarikh dan ulama menganggap bahwa Ibnu Shiha>b-lah orang yang mula-mula mendewankan h} adi>th secara resmi atas perintah khalifah Umar bin Abdul
Azi>z.27 Abu> Bakar
Ibn Hazm berhasil menghimpun
h}adi>th dalam
jumlah yang menurut ulama kurang lengkap sedang Ibn Shiha>b az Zuhri
berhasil menghimpunnya, yang dinilai oleh para ulama lebih lengkap. Akan tetapi sayang sekali , karya kedua ta>bi’i>n ini
lenyap, tidak sampai diwariskan kepada generasi
sekarang.
Di antara para ulama
setelah az Zuhri, ada ulama
ahli h}adi>th yang berhasil
menyusun kitab tadwi>n, yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang yaitu :
a. Ma>lik bin Anas (93 – 179 H) di Madinah, dengan kitab hasil karyanya bernama al Muwat}t}a’. Kitab tersebut selesai disusun
25 Ibid, hal. 53
26 Mus}t}afa Al-Siba>’i, Al-Sunnah
wa
Maka>natuha fi Al-Tasyri>’ Al-Isla>mi,
(Kairo : Da>r al-Sala>m,
1998), hal,. 64
27 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah H}adi>th, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1974), hal. 54
pada tahun 143 H dan para ulama menilainya sebagai
kitab tadwi>n yang pertama.
b. Imam Sha>fi’i dengan karyanya Musnad as Sha>fi’i dan Mukhtalif
al h}adi>th (204 H)
c. Muhammad Ibn Ishaq
(150 H) dengan karyanya Al-Maghazy wal Siya>r
Para pentadwi>n selain
Ma>lik bin Anas, Imam
Sha>fi’i dan Muhammad Ibn Ishaq
diantaranya adalah Ibnu Juraij (80 – 150
H) di Makkah,
Ibn Abi Dzi’bin
(80 – 158 H) di Madinah, Ar Rabi’ bin S}ah}i>h} (w. 160 H) di Bashrah, Hammad bin Salamah (w. 176 H) di Bashrah, Sofyan
ath Thauri (97 – 161 H), di Kuffah, al Auza’i (88 – 157 H) di Syam, Ma’mar bin Rashi>d (93 – 153 H) di Yaman, Ibn al Muba>rak (118 – 181 H) di Khurasan, Abdullah bin Wahab (125
– 197 H) di Mesir, dan Jarir Ibn Abdul H{ami>d (110 – 188 H).28 Mereka terdorong kemauan keras untuk mengumpulkan
h} adi>th sebanyak-banyaknya,
dan mereka
belum sempat
menye- leksi
apakah yang mereka dewankan
itu h}adi>th Nabi semata-
mata ataukah termasuk di dalamnya
fatwa-fatwa s}ah}a>bat dan ta>bi’i>n. Dengan
demikian, ciri
kodifikasi h}adi>th abad kedua ini masih bercampur aduk antara h}adi>th-h}adi>th Rasulullah
dengan fatwa-fatwa s}ah}a>bat dan ta>bi’i>n. Sehingga kitab-kitab h}adi>th karya mereka belum diseleksi antara h}adi>th–h}adi>th yang marfu>‘, mauqu>f dan maqthu‘,
serta antara H}adi>th s}ah}i>h}, h}asan dan dho’if.29
28 M. Ajjaj Al-Kha>t}ib, As-Sunnah…, hal. 330
29 Fatchur Rahman, Ikhtisar, hal.
55
2.
Periode
Penyeleksian Dan Pentashihan H}adi>th (Abad ke III)
Sebagaima>na diterangkan
di atas,
bahwa keadaan kitab h} adi>th pada abad
ke II
masih bercampur aduk antara
h}adi>th dan fatwa-fatwa
s}ah}a>bat dan
ta>bi’i>n, antara
h}adi>th s}ah}i>h}, h} asan dan dho’if. Maka di permulaan abad ke III para ahli h}adi>th berusaha membukukan
H}adi>th Rasulullah
semata-mata dan menyisihkannya dari fatwa s}ah}a>bat dan ta>bi’i>n. Kendatipun kitab- kitab h}adi>th pada permulaan abad ke III ini sudah menyisihkan
fatwa-fatwa, namun masih mempunyai
satu kelemahan, yakni belum memisahkan antara yang s}ah}i>h}, h}asan dan d}a’i>f termasuk juga h}adi>th mad}u>‘ yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang
bermaksud hendak menodai agama.
Para ulama h}adi>th pada permulaan abad
ke III
menyusun kitabnya
secara musnad, diantaranya adalah Abdul Asad Ibn Mu>sa al Amawy, Nu’aim Ibn Hammad al Khuza>’iy, Ahmad Ibn Hambal, Isha>q Ibn Rohawaih
dan Usman
Ibn Abi
Syaibah.30
Untuk mengatasi kelemahan kitab-kitab h}adi>th yang telah disusun
pada permulaan abad ke III, yakni belum memisahkan antara yang s}ah}I>h, h}asan dan d}a’i>f, maka para ulama h}adi>th pada pertengahan
abad ke III bergerak untuk menyelamatkannya.
Mereka membuat kaedah-kaedah dan syarat-syarat untuk menentukan
apakah h}adi>th s}ah}i>h} atau d}a’i>f. Para rawi tidak luput menjadi sasaran penelitian mereka, untuk diselidiki
kejujurannya, hafalannya dan lain-lain.31 Maka lahirlah tunas ilmu
dirayah yang banyak macamnya disamping
ilmu riwayah
h}adi>th.
30 Hasby ash Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu H}adi>th, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), hal. 69
31 Fatchur
Rahman, Ikhtisar, hal. 57
Ulama yang memulai usaha memisahkan h}adi>th-h}adi>th yang
s}ah}i>h} dan yang tidak adalah Ishaq Ibn Rahawaih yang kemudian dilaksanakan dengan
sempurna oleh Imam Bukha>ri dengan menyusun sebuah kitab yang terkenal dengan nama al Ja>mi’ al-S} ah}i>h}. Kemudian usaha ini diikuti oleh Abu> Husein Muslim bin al Hajaj al Kusairi an NaisAbu>ri (Imam Muslim) dengan kitabnya yang disebut al Ja>mi’ as S}ah}i>h}. Menyusul kemudian Abu> Da>wu>d SulAima>n bin al As’at bin Isha>q al Sajistani (202 – 275 H), Abu> Isha>q bin Isa bin Surah al-Turmudhi> (200 – 273 H), Abu> Abdirrahman Ahmad ibn Syu’aib ibn ‘Ali al-Khurasani An-Nasa>’i (215-303) dan Ibnu Ma>jah,
Abu>
Abdillah Muhammad
ibn Yazi>d
al-Qazwaini (209-273 H). Hasil karya
keempat ulama ini
dikenal dengan kitab as
Sunan.
Dengan dua
kitab al-Ja>mi’ dan
empat kitab as Sunan, maka kitab hasil tadwi>n dengan metodologi yang sama, sampai disini berjumlah enam kitab, yang
dijadikan induk, standar,
atau tempat merujuk kitab-kitab
lain yang datang sesudahnya, yang terkenal dengan nama Kutub al -Sittah.32 Menurut sebagian ulama dari kutub al-sittah tersebut bisa diurutkan berdasarkan urutan
kualitasnya adalah sebagai berikut:
1.
Al-Ja>mi’ as S}ah}i>h} susunan Imam al
Bukha>ri
2.
Al-Ja>mi’ as S}ah}i>h} susunan Imam Muslim
3.
As-Sunan Abu> Da>wu>d
4.
As-Sunan At-Turmudhi>
5.
As-Sunan An-Nasa>‘i
6.
As-Sunan Ibn Ma>jah
32 Subhi al-Shalih, Ulu>m
al-H}adi>th
Wa Must}alahuhu, (Beirut : Da>r
al-‘Ilm Al-Malayin, t.t), hal. 48
Pada masa
ini pula, para ulama membagi h}adi>th kepada beberapa derajat
yang s}ah}i>h}, h}asan dan
d}a’i>f. Mereka membuat
kaidah-kaedah untuk mens}ah}i>h}kan suatu h}adi>th dan kaedah- kaedah untuk mend}a’i>fkannya. Selain itu mereka juga menetapkan
dasar-dasar yang harus dipegang untuk menentukan h}adi>th-h} adi>th mad}u>‘,
agar terpisah dengan yang s}ah}i>h},
h}asan
dan d}a’i>f.
Dengan kata lain mereka
telah
melahirkan ilmu
musthalah h} adi>th, yaitu ilmu yang menetapkan kaidah-kaidah ilmiah untuk mens}ah}i>h}kan khabar dan kaidah-kaidah ilmiah untuk mengkritik,
mengoreksi khabar dan riwa>yat.
3.
Periode
Menghafal
Dan Men-Isnad-kan H}adi>th Pada Ulama Mutaqaddimin
(Abad ke IV).
Ulama-ulama h}adi>th pada abad ke II dan ke III digelari ulama mutaqaddimin, yang mengumpulkan
h}adi>th dengan
semata- mata
berpegang kepada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para
penghafalnya yang tersebar di pelosok negara Arab, Parsi dan lain-lainnya. Sedangkan ulama-ulama h} adi>th mulai abad
ke IV dan
seterusnya digelari
dengan ulama Muta’akhiri>n, yang dalam
usahanya menyusun
kitab-kitab h} adi>th hanya dengan menukil dari kitab-kitab yang telah disusun oleh ulama Mutaqaddimi>n.
Usaha ulama
pada abad ini dalam mengembangkan hadis antara lain adalah sebagai berikut :
a.
Menyusun karya-karya yang metodenya mengikuti
metode- metode yang telah dilakukan oleh ulama sebelumnya, yakni menyusun kitab
shahih dan kitab sunan, seperti : Sunan
ad- Da>ruqut}ny, karya Imam Abdul H}asan Ali bin Umar bin Ahmad
ad-Da>ruqut}ny, S}ah}i>h}
Abi ‘Awa>nah,
S}ah}i>h} Ibnu Khuzaimah,
At Taqsi>n wa Anwa>’, susunan
Ibnu Hibban dan Al-Mustadrak, susunan al
Ha>kim (w.405 H)
b. Menyusun kitab mu’jam, seperti Mu’jam
al-Kabi>r, Mu’jam
al- Ausat{ dan Mu’jam
al-S{agir, karya Imam Sulaima>n bin Ahmad At
T{abarany.
c. Menggabungkan beberapa
kitab hadis yang sudah ada, adakalanya yang menggabungkan 2 kitab shahih,
yaitu kitab al-jam’u bayn al-Shahihayn yang ditulis oleh Ismail bin Ahmad
(w.401 H), dan adakalanya yang menggabungkan enam
kitab, seperti yang dilakukan oleh Abi al-Hasan Razin bin Mu’awiyah al-Sirqisthi (w.535 H)dengan judul “al-Tadrid
al-Shahah wa al- Sunan”, merupakan gabungan antara Shahihayn,
Muwatha’ dan kitab-kitab Sunan
selain Ibnu Majah.
d. Syarah, yakni
penjelasan hadis baik yang berkaitan dengan sanad maupun matan, terutama maksud
dan makna matan hadis dan pemecahannya jika terjadi kontradiksi dengan ayat
atau hadis lain, misalnya Syarh Ma’anil al-Atsar dan Syarh Musykil al-Atsar
karya al-Thahawi (w.321 H).
e. Mustakhraj, metode
penulisan istikhraj ialah
seorang menghimpun hadis mengeluarkan beberapa buah hadis dari sebuah buku hadis seperti
yang diterima dari gurunya sendiri dengan menggunakan sanad sendiri, misalnya Mustakhraj Abi Bakar al-Isma’ili ‘ala Shahih al-Bukhari (w. 371 H).
Para ulama abad ke IV
ini selain mentahdhi>bkan dan memeriksa sanad kitab-kitab yang sudah ada, mereka
juga berlomba-lomba untuk menghafal
sebanyak-banyaknya h}adi>th-h}
adi>th yang telah terdewan itu hingga tidak mustahil sebagian dari mereka sanggup
menghafal beribu-ribu
h}adi>th. Sejak
periode inilah timbul bermacam-macam gelar keahlian dalam
ilmu h} adi>th, diantaranya
adalah:
a. Amir>
al mukmini>n fi> al
h}adi>th yaitu orang-orang sepeninggal Nabi SAW yang meriwa>yatkan h}adi>th yang seolah-olah
berfungsi sebagai
khalifah dalam menyampaikan sunnah.
Mereka yang memperoleh gelar ini antara lain: Syu’bah Ibn al Hajjaj, Sufyan ats
Tsauri, Isha>q
bin Rahawaih,
Ahmad bin Hambal, al-Bukha>ri, ad
Da>ruquthny dan
Muslim.
b. Al
Ha>kim, yaitu gelar keahlian bagi imam-imam h}adi>th yang mengusai seluruh h}adi>th yang diriwa>yatkan baik matan
maupun sanadnya dan
mengetahui ta’di>l dan
tajrih para perawi, juga
harus menghafal. Yang mendapat gelar ini antara lain Ibn
Dinnar, Al
Laits bin Sa’ad, Imam
Ma>liki dan
Imam Sha>fi’i
c.
Al-Hujjaj, yaitu gelar keahlian bagi imam yang
sanggup mengahafal 300.000 h}adi>th baik matan, sanad maupun perihal si pera>wi. Yang mendapat gelar ini antara lain adalah: Hisyam bin
Urwah, Abu> Huzail Muhammad
bin al
Wa>lid dan Muhammad Abdullah bin Amr.
d. Al Ha>fiz}, yaitu gelar ahli h}adi>th yang mens}ah}i>h}kan sanad dan
matan h}adi>th dan dapat
menta’di>lkan dan
menjarhkan rawinya.
Menurut sebagian pendapat mereka harus mengahafal
100.000
h}adi>th. Yang
mendapat gelar ini antara
lain al-Iraqy, Shamsuddin ad Dimyathi, Ibnu Ha>jar al Asqalani dan Ibn Daqiqil’id
e. Al-Muh}addis, yaitu orang yang dapat mengetahui sanad-sanad
dan nazil
(rendah)nya suatu h}adi>th, memahami Kutub al- Sittah,
Musnad Ahmad, Sunan al Baihaqy, Mu’jam T{abarany dan mengahafal
h}adi>th sekurang-kurangnya 1000. Yang mendapat gelar ini antara lain ‘atha’ bin Abi Ribah dan Imam Az-Zabidy.
f. Al
Musnid, yaitu gelar bagi orang yang meriwa>yatkan h}adi>th beserta
sanadnya, baik menguasai ilmunya maupun tidak. Al Musnid juga
disebut dengan
At-T{a>lib, Al-Mubtadi’
dan Ar Rawy.33
4.
Periode Mengklasifikasikan Dan Mensistematiskan Susunan Kitab-Kitab H}adi>th (Abad V dan Seterusnya)
Usaha ulama ahli h}adi>th pada abad
ke V dan
seterusnya diantaranya
adalah :
a. Mengklasifikasikan h}adi>th dengan
menghimpun h}adi>th-h} adi>th yang sejenis kandungannya atau sejenis sifat-sifat
isinya dalam suatu kitab h}adi>th.Oleh karena itu lahirlah kitab-kitab hukum seperti:
1)
Sunan al-Kubra, karya Abu> Bakar Ahmad bin Husein Ali al Baihaqy
(384 – 458 H).
2)
Muntaqa’ al Akhbar, karya Majduddin al Harrany (w. tahun 562 H).
3)
Bulughul Maram
min Ahaditsil Ahkam, karya Al-Hafidz Ibnu
Hajar al-Asqalany (852)
4)
Nail al-Authar, sebagai syarah kitab Muntaqa’al-Akhbar, karya Muhammad bin Ali As Syaukai (1172 – 1250 H).
5)
Umdatul Ahkam, karya Abdul Ghany al-Maqdisy.
33 Fathur Rachman, Ihtisar…., hal.
37-39
Selain itu juga
lahirlah kitab-kitab h}adi>th
Targi>b wa
al-Tarhi>b, seperti:
1)
At Targi>b wa al Tarhi>b karya Imam Zakiyuddin Abdu al ‘Az}
i>m al Munziri (w. tahun 656
H).
2)
Riyad} al-S{a>lih}i>n karya
Imam Muhyiddin Abi Zakariyya an
Nawa>wi> (w. tahun 676 H).
3)
Dali>l al Fa>lih}I>n, karya Muhammad Ibn ‘Allan as Shidiqy (w. tahun 1057
H) sebagai
sharah kitab Riyad} al-S{a>lih}i>n karya Imam Muhyiddin Abi Zakariyya an Nawa>wi> (w. tahun 676
H).
b. Mensharahkan dan
mengikhtisarkan kitab-kitab
h}adi>th yang telah disusun oleh ulama yang mendahuluinya. Contoh
kitab- kitab syarah diantaranya :
1)
Untuk Shahih
Bukhari terdapat Fathul Bari oleh
Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
2)
Untuk Shahih
Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh
Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
3)
Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu’allim oleh Al Maziri
(wafat 536 H / 1142 M)
4)
Untuk Muntaqal
Akhbar terdapat Nailul Authar oleh
As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
5)
Untuk Bulughul
Maram terdapat Subulussalam oleh
Ash Shan’ani (wafat 1099 H / 1687 M)
Sedangkan contoh kitab Mukhtashar (ringkasan), diantaranya:
1)
Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih
oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631
H / 1152-1233 M)
2)
Untuk Shahih
Muslim diantaranya Mukhtashar
oleh Al Mundziri (581-656 H /
1185-1258 M)
c.
Menyusun kitab hadis Athraf,
yaitu tehnik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan hadisnya saja, misalnya Athraf al-Kutub al-sittah yang ditulis oleh al-Maqdisi.
d. Mentakhrij, yaitu
mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam buku hadis atau buku lain dengan
menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri sanad dan kualitasnya. Misalnya Irwa’ al-Ghalil fi Takhrij Ahadits
Mannar al-Sabil oleh
Nashiruddin al- Albani.
e. Zawa’id, yaitu mengumpulkan hadis-hadis yang tak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya
ke dalam sebuah kitab tertentu,
seperti : Zawa’id Ibn Majah, Zawa’id al-Sunan al- Kubra disusun oleh al-Bashri. (w. 840).
f. Jawami’ atau jami’,
sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi saw. Secara mutlaq, seperti
al-Jami’ al-Kabir dan al-Jami’ al-Shagir tulisan al-Suyuthi (w. 911 H)
g. Menciptakan kamus h}adi>th (kitab Indeks Hadis) untuk mencari pentakhri>j suatu
h}adi>th atau
untuk mengetahui
dari kitab h} adi>th apa suatu
h}adi>th didapatkan, di antaranya yaitu:
1)
Al Ja>mi’ al-S{agi>r fi
Ah}a>di>th al-Basi>r an-Nadhi>r karya Imam Jalaluddin as
Suyu>t}i. (849
–
911
H). Kitab yang mengum-
pulkan h}adi>th-h}adi>th yang terdapat dalam
kitab VI
ini disusun
secara alphabetis
dari awal
h}adi>th dan
selesai ditulis pada tahun 907 H.
2)
Dakha>ir al
Mawa>rith fi al
Dalalati ‘Ala Mawad}i al
Ah}a>di>th, karya al ‘Allamah as Sayyid Abdu al Gani al Maqdisi an NAbu>lisi.
Di dalamnya
terkumpul kitab Athraf 7 (S}ah}i>h} Bukha>ri-Muslim,
sunan empat dan Muwat}t}a’).
3)
Al Mu’jam al Mufahras li Alfa>z} al Ah}a>di>th an Nabawi, karya Dr. A. J. Wensinck dan Dr. J.F.
Mensing , keduanya adalah dosen bahasa Arab Universitas
Leiden. Kitab kamus h}adi>th yang mengandung h}adi>th-h}adi>th kitab enam, Musnad
ad Da>rimi>, Muwat}t}a’ Ma>lik dan
Musnad Ahmad
ini selesei dicetak
di Leiden pada tahun 1936 M.
4)
Mifta>h Kunuz
al Sunnah,
karya Dr.
a.J. Wensinck
berisikan h} adi>th-h}adi>th yang terdapat dalam 14 macam kitab h}adi>th. Kitab tersebut disalin dalam
bahasa Arab oleh ustadz Muhammad Fuad Abdu al Baqi dan dicetak di Mesir tahun
1934 M (cetakan pertama).
Usaha
selanjutnya adalah penyusunan ensiklopedi hadis
yang telah dirintis beberapa tahun yang lalu oleh Universitas Al- Azhar
di Mesir. Ensiklopedi hadis ini tediri atas 100 jilid lebih pembahasan mengenai hadis.34
Selanjutnya, dengan
adanya perkembangan tehnologi, maka para sarjana Muslim
di Inggris yang tergabung dalam
Organisasi Islam Kingdom Islamic Mission (Misi Islam di Inggris) telah mendirikan The Islamic Computing Centre
(Pusat Komputer Islam). Diantara tokoh-tokoh yang ada di Pusat Komputer
Islam ini adalah
A.K. Barkatullah (Alumni
Deoband India), Zafar
Ahmad Ansari, Suhaib Hasan,
dan Iqbal Ahmad
Azami (ketiganya alumni Universitas Islam
Madinah). Salah satu
tujuan didirikannya pusat komputer islam ini adalah
menyajikan pengetahuan tentang
islam dalam bentuk digital, termasuk di dalammya hadis Nabi. Kini
pendataan dan komputerisasi hadis telah dilaksanakan terhadap
34 Rifyal Ka’bah,
“Pusat Komputer Islam” dalam majalah Panji Masyarakat, No. 417, tahun xxv/1983,
38
sembilan kitab hadis standar (al-Kutub al-Tis’ah)
dan kitab-kitab hadis lainnya.
REFERENSI:
1.
Nawawi, Shahih Muslim Syarh al-Nawawi, J. 18, (Kairo : Matba’ah al-Misriyah, 1934)
2.
Al-H}asan bin Abd al-Rahman al-Ramahurmuzi, Al-Muh}addith al-Fa>sil
Bain al-Ra>wi wa al-Wa>’I, (Beirut :
Da>r al-Fikr,
1984)
3.
Imam Abdul Al-Din Abdur Rohman bin Al-Fadl, Sunan Darimi, Juz.1, (Beirut : Dar-Al-Fikr, tt.)
4.
Abu> Abdillah Ahmad
Ibnu Hanbal, Musnad Ahmad bin
Hambal, Juz
12, (Beirut : Da>r
al-Fikr, 1978)
5.
Al-Suyu>thi, Tadri>b Al-Ra>wy fi Syarh Taqri>b Al-Nawa>wi>, Juz 2, (Beirut: Da>r
Al-Fikr, 1998)
6. Ibnu Ha>jar Al-Asqalani, Fath Al-Ba>ri, Jilid I, (Beirut : Da>r Al-
fikr wa Maktabah Al-salafiyah, t.t)
7.
Al-A’zami, Studies
in Early H}adi>th Literature, (Indianapolis, Indiana : Islamic
Teaching Centre, 1977)
8.
Fazlur Rahman dkk, Wacana Studi H{adi>th Kontenporer,
(Yogyakarta : Tiara wacana Yogya, 2002)
9.
M. Ajjaj al-Kha>t}ib, Us}u>l al-H{adi>s, terj. M.Qodirun Nur dan
Ahmad Musyafiq, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1998)
10. SyihAbu>ddin Ibn
Ali (Ibn
Ha>jar) al-Asqalany,
Tahdhi>b at- Tahdhi>b, Juz IV, (Kairo :
Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959)
11.Muhammad Ajjaj Al-Kha>t}ib, As-Sunnah Qabl
at-Tadwi>n,
(Beirut : Da>r
al-Fikr, 1981), hal.
355-357
dan Subhi
as-Salih, ‘Ulu>m
al-H}adi>th wa Musthalahuh, (Beirut
: Da>r
‘Ilm li
al- Malayin, 1988)
12.SyihAbu>ddin Ahmad ibn Ali
(Ibnu Ha>jar) al-Asqalany, Fath al-Bariy, juz
vii (Kairo : Musthafa
al-Babi al-Halaby, 1959) 13.Abu> Abdillah
Muhammad bin Ismail al-Bukha>ri, S}ah}i>h}
Bukha>ri, (Beirut : Da>r
al-Fikr, tt)
14. Ajjaj al-Kha>t}ib, AS-Sunnah Qabla al-Tadwi>n, (Beirut : Da>r al- Fikr, 1997)
15. Utang Ranuwijaya, Ilmu
H}adi>th, (Jakarta : Gaya Media
Pratama, 1996)
16. Munzier Suparta, Ilmu H}adi>th, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002)
17. Muhammad Ibn
Mat}ar al-Zahrani,
Tadwi>n
Al-Sunnah al- Nabawiyyah, Nash’atihi
wa Tat}awwurihi min Al-Qarn
Al- Awwal ila Niha>yat Al-Qarn Al-Ta>si’ Al-Hijri, (T{aif : Maktabah Al-S{a>diq,
1412 H)
18.
Mus}t}afa Al-Siba>’i,
Al-Sunnah wa Maka>natuha fi Al-Tasyri>’
Al-Isla>mi, (Kairo : Da>r al-Sala>m,
1998)
19. Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah H}adi>th, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1974)
20. Hasby ash Shidiqy,
Sejarah dan
Pengantar
Ilmu H}adi>th, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974)
21. Subhi al-Shalih,
Ulu>m
al-H}adi>th Wa Must}alahuhu, (Beirut : Da>r
al-‘Ilm Al-Malayin, t.t)
PERTANYAAN:
1. Mengapa Rasul melarang
hadis? Sebutkan alasannya!
2. Apa upaya yang
dilakukan para sahabat dalam menjaga kemurnian hadis Nabi?
3. Siapakah tokoh-tokoh
utama dalam penulisan hadis pada masa awal? Apa usaha yang mereka lakukan?
4. Bagaimana system
penyaringan hadis yang digunakan oleh para ulama hadis?
5. Sebutkan kitab-kitab hadis yang disusun
dengan menggunakan metode
seleksi hadis!
Peta Konsep
Ulumul Hadis
Dan Cabang-Cabangnya
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, perkembangan, dan cabang-cabang ulumul hadis
A. Pengertian Ilmu Hadist
Kata ilmu
hadis merupakan kata serapan dari bahasa arab ilmu al-hadis ayang terdiri
dari dua kata yaitu ilmu dan al-hadis. Maka ilmu hadis berarti ilmu
pengetahuan yang mengkaji atau membahas tentang segala yang disandarkan kepada
Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan maupun
lainnya.
Secara
terminologis ilmu hadis adalah ilmu pengetahuan yamg membahas tentang cara-cara persambungan hadis sampai pada rasul saw. Dari segi hal ihwal para prawinya yang me-
nyangkut kedhobitan dan keadilannya, dan dari bersambung dan terputusnya sand, dan sebagainya. Menurut ‘Izzudin
bi
Jama’ah mengatakan bahwa ilmu
hadis ialah ilmu tentang ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah untuk
mengetyahui hal ihwal sanad dan matan hadis.
Dengan pengertian ini maka yang menjadi pokok pembahasan idari ilmu ini ialah sand dan matan.1 Secara garis besar ilmu-ilmu hadits dapat dibagi
menjadi dua, yaitu ilmu hadits riwayah
dan ilmu hadits diroyah, dengan
penejelasan sebagai berikut :
1. Ilmu Hadis
Riwayah
Kata riwayah
artinya periwayatan atau
cerita. Maka ilmu
ha- dis riwayah
artinya ilmu berupa
periwayatan. Secara terminologis, Ilmu hadis riwayah ialah ilmu yang mencakup
perkataan dan perbuatan nabi,
periwayatannya, pemeliharaannya, dan
penulisan atu pembukuan lafad-afadnya. Ilmu hadis riwayah ini berkisar
pada bagaimana cara-cara penukilan hadis yang dilakukan
oleh para ahli hadis, bagaimana cara menyampaikan kepada orang lain dan
membukukan hadis dalam suatu kitab.Dengan definisi
tersebut dapat dikatakan ilmu hadis riwayah ialah pengetauan tentang hadis itu sendiri.
Obyek ilmu riwayah adalah
pribadi nabi, yakni perkataan, perbuatan, taqrir dan sifatnya dan membicarakan bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada porang lain, memindahkan
dan mentadwinkan hadis. Adapun kegunaan mempelajari ilmu hadis riwayah ialah
untuk menghindari adanya penukilan yang salah
dari sumbernya, yaitu
Nabi saw. Perintis ilmu hadis riwayah ini ialah Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat tahun 124 H.).
1 Utang Ranuwijaya, ilmu hadis,( Jakarta
: Gaya Media Pratama, 1996),
74.
2. Ilmu Hadis Diroyah
Ilmu hadis diroyah juga dikenal dengan
sebutan Mustholah al- hadis, ilmu ushul al-hadis, dan qowa’id at-tahdis. Ilmu hadis diroyah
ialah suatu ilmu untuk
mengetahu keadaan sanad dan matan, diterima atau diterima, dan yang bersangkut
dengan itu.2
Obyek ilmu
Hadis Diroyah ialah sanad dan matan
dari sudut diterima atau
ditolaknya suatu hadis. Sedangkan faedah mempelajarinya adalah :
a. Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa Rasul SAW sampai sekarang.
b.
Mengetahui tokoh-tokoh serta
usaha-usaha yang telah
mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwa- yatkan hadis.
c.
Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para
ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih
lanjut.
d. Mengetahui
istilah-istilah, nilai-nilai, criteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam
menetapkan suatu hokum syara’.3 Untuk melihat lebih jelas perbedaan
antara ilmu riwayah
dengan ilmu dirayah dapat
dilihat pada table berikut ini :
2 Hasbi
Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1998), 130
3
Dr. Utang Ranuwijaya, MA. Ilmu Hadis, ( Jakarta : Gaya Media Pratama,
1996 ), 78
No |
Pembagian |
Ilmu Hadis Riwayah |
Ilmu Hadis Dirayah |
1. |
Definisi |
Ilmu yg
menukilkan segala yang disandar- kan kpd
Nabi baik perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifatnya. Ilmu peng. yang men-
cakup perkataan dan perbuatan Nabi, peri- wayatannya, pemeliha- raannya, dan
penuli- sannya atau pembu- kuan lafadz-lafadznya. (Ibn al-Akfani) Pengetahuan tentang hadis itu sendiri. Ilmu yang membahas proses
penyampaian hadis dari seorang perawi kepada yang lainnya. |
Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui
keadaan sanad atau matan.(M. Mahfudz at-Tirmisi). Kumpulan kaidah untuk mengetahui atau mengkaji permasalahan sanad (rawi) dan matan (marwi) yang berkaitan dengan kualitasnya. |
2. |
Nama
Lain |
|
Ilmu Ushul al-Hadis, Ulum al-Hadis, Musthalah
al-Hadis, Qawa’id at-Tahdis. |
3. |
Objek |
Pribadi
Nabi baik uca- pan, perbuatan taqrir
atau sifat, cara mene- rima, menyampaikan atau memindahkan atau mendewankan hadis |
Sanad,
matan dan rawi dari sudut diterima
atau ditolaknya |
4. |
Faedah
/ Signifikan |
Menghindari
adanya salah kutip terhadap apa yang
disandarkan kepada Nabi. Melihat
keaslian lafadz- lafadz hadis. |
Mengetahui
Nilai dan criteria
/ kualitas hadis |
Pelopor |
Muhammad
Ibn Syihab Az-Zuhry
(w. 124 H) |
Muhammad Ar- Ramaharmuzi (w.
360 H) : Al-Muhaddis al- Fashil Baina Ra’I wa al-Wai |
B. Cabang-Cabang Ulumul Hadis
1.
IImu
Rijalil
Hadis
Yang dimaksud dengan llmu Rijalil Hadis ialah: “Ilmu yang
membahas tentang para perawi hadis,
baik dari sahabat,
tabi’in, maupun dari angkatan
sesudahnya .”
Dengan ilmu
ini dapatlah kita mengetahui keadaan para perawi menerima hadis dari
Rasulullah dan keadaan
para perawi yang menerima
hadis dari sahabat
dan seterusnya. Di dalam ilmu ini diterangkan tarikh ringkas dari
riwayat hidup para perawi, mazhab yang dipegang oleh para perawi dan
keadaan-keadaan para perawi itu. dalam menerima hadis.Sungguh penting sekali ilmu ini dipelajari dengan
seksama, karena hadis itu terdiri
dari sanad dan matan. Maka mengetahui keadaan para perawi yang menjadi sanad merupakan separuh
dari pengetahuan.
Kitab-kitab yang disusun dalam ilmu ini banyak ragamnya. Ada yang hanya menerangkan riwayat-riwayat ringkas dari para
sahabat saja. Ada yang menerangkan riwayat-riwayat umum para perawi-perawi, Ada yang menerangkan perawi-perawi yang
dipercayai saja, Ada yang menerangkan riwayat-riwayat para perawi
yang lemah-lemah, atau para mudallis, atau para pemuat hadis maudu’. Dan ada yang menerangkan sebab-sebab dianggap
cacat dan sebab-sebab dipandang adil dengan menyebut
kata
-kata yang dipakai untuk
itu serta martabat
perkataan. Ada yang menerangkan nama-nama yang serupa
tulisan berlainan sebutan
yang di dalam ilmu
hadis disebut Mu’talif dan
Mukhtalif. Dan ada
yang menerangkan nama-nama perawi yang sama namanya, lain orangnya, Umpamanya Khalil ibnu
Ahmad. Nama ini banyak orangnya. lni dinamai Muttafiq dan Muftariq. Dan
ada yang menerangkan nama- nama yang serupa tulisan dan sebutan, tetapi
berlainan keturunan dalam sebutan, sedang
dalam tulisan serupa. Seumpama
Muhammad ibnu Aqil dan Muhammad
ibnu Uqail. Ini dinamai Musytabah. Dan
ada juga yang
hanya menyebut tanggal wafat.
Di samping itu
ada pula yang
hanya menerangkan nama-nama
yang terdapat dalam satu-satu kitab saja, atau: beberapa kitab saja. Dalam
hal inipara ulama
telah berjerih payah menyusun kitab-kitab sesuai dengan
keinginan mereka.
Permulaan
ulama yang menyusun kitab riwayat
ringkas para sahabat, ialah
Al-Bukhari (256 H). Kemudian usaha itu dilaksanakan oleh Muhammad Ibnu Saad,
sesudah itu terdapat beberapa ahli lagi, di antaranya, yang penting diterangkan
ialah Yusuf bin Abdillah al-Barr (463 H).
Kitabnya bernama Al-Isti’ab fi Ma’rifat al-Ashab.Pada permulaan
abad ketujuh Hijrah, Izzuddin ibnul Atsir (630 H) mengumpulkan kitab-kitab yang telah disusun
sebelum masanya dalam sebuah kitab besar yang dinamai Usud al-Ghabah fi Ma’rifat
as-Sahabah. Ibnu Atsir
ini adalah saudara
dari Majdudin Ibnu Atsir
pengarang An-Nihayah
fi GaribiI Hadis. Kitab Izzuddin diperbaiki oleh Ai-Dzahabi (747 H) dalam kitab Tajrid Asma
as-Sahabah.
Sesudah itu
pada abad kesembilan Hijrah, Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyusun kitabnya
yang terkenal dengan nama Isabah fi
Tamyiz as-Sahabah. Dalam kitab ini dikumpulkan
Al-Ist’iab dengan Uusd al Gabah dan ditambah
dengan yang tidak terdapat dalam kitab-kitab tersebut.
Kitab ini telah diringkaskan
oleh As-Sayuti dalam kitab
Ainul Ishabah. Al-Bukhori dan muslim
telah, menulis juga kitab yang menerangkan nama-nama sahabi yang hanya
meriwayatkan suatu hadis
saja yang dinamai
Wuzdan. Kemudian, dalam
bab ini Yahya
ibnu abdul Wahab
ibnu Mandah Al-Asbahani (551
H) menulis sebuah kitab yang menerangkan nama-nama sahabat yang hidup 120 tahun.
2. Ilmul Jarh Wat Ta’dil
Ilmu Jarh Wat Ta’dil, pada hakekatnya
merupakan suatu bagian dari ilmu rijalil
hadis. Akan tetapi, karena bagian ini dipandang sebagai yang terpenting
maka ilmu ini dijadikan sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Yang dimaksud dengan
ilmu jarh wat takdil ialah:
“Ilmu yang
menerangkan tentang catatan-catatan yang dihadapkan pada para perawi dan
tentang penakdilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata
yang khusus dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. “
Mencacat
para perawi (yakni menerangkan keadaannya yang tidak baik, agar orang tidak
terpedaya dengan riwayat- riwayatnya), telah tumbuh sejak zaman sahabat.
Menurut keterangan Ibnu
Adi (365 H) dalam Muqaddimah kitab AI-Kamil, para ahli telah menyebutkan
keadaan-keadaan para perawi sejak zaman sahabat.
Di antara para sahabat yang menyebutkan
keadaan perawi-perawi hadis
ialah Ibnu Abbas (68 H), Ubadah
ibnu Shamit (34 H), dan Anas ibnu Malik (93 H). Di antara tabi’in
ialah Asy Syabi(103 H), Ibnu Sirin
(110H), Said Ibnu
AI- Musaiyab (94 H). Dalam masa mereka itu, masih sedikit orang yang dipandang cacat. Mulai abad kedua Hijrah baru ditemukan
banyak orang-orang yang lemah.
Kelemahan itu adakalanya karena meng-irsal-kan
hadis, adakalanya karena me- rafa-kan
ltadis yang sebenarnya mauquf dan
adakalanya karena beberapa kesalahan yang tidak disengaja, seperti Abu Harun
AI-Abdari (143 H).
Sesudah berakhir masa tabi’in, yaitu
pada kira-kira tahun
150 Hijrah, para ahli mulai menyebutkan keadaan-keadaan perawi, menakdil dan menajrihkan mereka.
Di antara ulama
besar yang memberikan
perhatian pada urusan ini, ialah Yahya. ibnu Said Al-Qattan (189H),
Abdur Rachman ibnu
Mahdi (198 H)”,
sesudah itu, Yazid Ibnu Harun(189 H), Abu Daud At-Tahyalisi (204 H),
Abdur Razaq bin Human (211 H).Sesudah itu, barulah para ahli
menyusun kitab-kitab jarah dan
takdil. Di dalamnya diterangkan keadaan para perawi, yang boleh diterima
riwayatnya dan yang ditolak.
Di antara
pemuka-pemuka jarah dan ta’dil ialah Yahya ibnu Main (233
H), Ahmad ibnu
Hanbal (241 H),
Muhammad ibnu Saad (230 H), Ali Ibnul Madini
(234 H), Abu Bakar ibnu
Syaibah (235 H), Ishaq ibnu Rahawaih (237 H). Sesudah
itu, Ad-Darimi (255 H),Al-
Bukhari (256 H), Al-Ajali(261 H), Muslim (251
H), Abu Zurah
(264 H), Baqi ibnu Makhlad
(276 H), Abu Zurah Ad-Dimasyqi (281 H). Kemudian pada tiap-tiap masa terdapat ulama-ulama yang
memperhatikan keadaan perawi,
hingga sampai pada
ibnu Hajar Asqalani (852 H).
Kitab-kitab
yang disusun mengenai jarah dan taqdil, ada beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang
dipercayai saja, ada yang menerangkan orang-orang yang lemah saja, atau orang-orang yang menadlieskan hadis. dan ada pula yang melengkapi semuanya. Di samping itu, ada yang menerangkan
perawi-perawi suatu
kitab saja atau
beberapa kitab dan ada yang melengkapi segala kitab.
Di antara
kitab yang melengkapi semua itu ialah: Kitab Tabaqat Muhammad ibnu Saad Az-Zuhri Al-Basari (23Q H). Kitab ini
sangat besar. Di dalamnya terdapat nama-nama sahabat nama-nama tabi’in dan
orang-orang sesudahnya. Kemudian berusaha pula beberapa ulama besar lain, di
antaranya Ali ibnul Madini(234 H), Al-Bukhari, Muslim; Al-Hariwi (301 H) dan ibnu
Hatim (327 H). Dan yang sangat berguna
bagi ahli hadis
dan fiqih ialah At-Takmil susunan Al-Imam ibnu Katsir.
Diantara
kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang dapat dipercayai saja ialah
Kitab As-Siqat, karangan Al-Ajaly
(261
H) dan kitab As-Siqat karangan Abu Hatim ibnu
Hibban Al-Busty. Masuk dalam
bagian ini adalah kitab-kitab yang menerangkan tingkatan penghapal-penghapal hadis. Banyak
pula ulama yang menyusun kitab ini, di antaranya,
Az-Zahabi, Ibnu Hajar Al- Asqalani dan As-Sayuti.
Diantara
kitab-kitab yang menerangkan orang-orang yang lemah-lemah saja
ialah: Kitab Ad-Duafa, karangan Al-Bukhari dan
kitab Ad- Duafa karangan ibnul Jauzi (587 H)
3.
IImu Illail Hadis
Ilmu
Illial Hadis, ialah:
Ilmu yang menerangkan
sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata, yang dapat mencacatkan hadis baik dari sisi sanad maupun
matannya.
Yakni menyambung yang munqati, merafakan yang mauqu
memasukkan
satu hadis ke dalam hadis
yang lain dan yang serupa
itu Semuanya ini, bila
diketahui, dapat merusakkan kesahihan hadis.
Ilmu ini
merupakan semulia-mulia ilmu yang berpautan dengan hadis, dan sehalus-halusnya.
Tak dapat diketahui pe- nyakit-penyakit hadis melainkan oleh ulama yang
mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang martabat-martabat perawi dan
mempunyai malakah yang kuat terhadap
sanad dan matan- matan hadis.
Di antara
para ulama yang menulis ilmu ini, ialah Ibnul Madini (23 H), Ibnu Abi Hatim
(327 H), kitab beliau sangat baik dan dinamai Kitab Illial Hadis. Selain itu, ulama yang menulis kitab ini adalah
Ibn Hajar al-Asqalany dengan karyanya al-Zahr
al-Ma’lul fi al-Khabar al-Ma’lul, AI-lmam Muslim (261 H), Ad- Daruqutni
(357 H) dan Muhammad ibnu Abdillah AI-Hakim.
4. Ilmu nasil wal mansuh
Ilmu nasih wal Mansuh, ialah:
“ilmu yang menerangkan
hadis-hadis yang sudah dimansuhkan dan yang menasihkannya.“
Apabila didapati
suatu hadis yang
maqbul, tidak ada yang memberikan perlawanan maka hadis
tersebut dinamai Muhkam. Namun jika
dilawan oleh hadis yang sederajatnya, tetapi dikumpulkan dengan mudah maka
hadis itu dinamai Mukhatakiful Hadis.
Jika tak mungkin dikumpul dan diketahui mana yang terkemudian, maka yang
terkemudian itu, dinamai Nasih dan
yang terdahulu dinamai Mansuh.
Banyak para ahli yang menyusun kitab-kitab nasih dan
mansuh ini, di antaranya
Ahmad ibnu Ishaq
Ad-Dillary (318
H), Muhammad ibnu Bahar
AI-Asbahani (322 H), Alunad ibnu Muhaminad An-Nah-has (338 H) Dan sesudah itu
terdapat beberapa ulama lagi yang menyusunnya, yaitu Muhammad ibnu Musa
Al-Hazimi (584 H) menyusun kitabnya, yang dinamai Al- lktibar. Kitab AI-Iktibar
itu telah diringkaskan oleh Ibnu Abdil Haq (744 H) . Tajrid al-Ahadis
al-Mansukhah karya al-Jauzi. Muhammad bin Musa al-Hazimi penyusun kitab
al-I’tibar fi an- Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar.
5.
Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, ialah:
Ilmu Asbab Wurud al-Hadis, ialah:
“Ilmu yang menerangkan
sebab-sebab Nabi yang menurunkan sabdanya dan masa-masanya Nabi menurunkan
itu.”
Penting
diketahui, karena ilmu itu menolong kita dalam memahami hadis, sebagaimana ilmu
Ashabin Nuzul menolong kita dalam
memahami Al-Quran.
UIama yang
mula-mula menyusun kitab ini dan kitabnya ada dalam masyarakat iaIah Abu Hafas ibnu Umar Muhammad
ibnu Raja Al-Ukbari, dari murid
Ahmad (309 H), Dan kemudian dituliskan pula oleh Ibrahim
ibhu Muhammad, yang terkenal dengan nama Ibnu Hamzah
Al Husaini (1120
H), dalam kitabnya AI-Bayan Wat Tarif yang telah dicetak
pada tahun 1329 H
6. Ilmu Talfiqil Hadis
Ilmu Talfiqil Hadis, ialah:
“Ilmu yang membahas tentang
cara mengumpulkan hadis-hadis yang isinya berlawanan. “
Cara
mengumpulkannya adakalanya dengan menakhsiskan
yang ‘amm, atau menaqyidkan yang
mutlak, atau dengan
meman- dang banyaknya yang terjadi.Ilmu ini dinamai juga dengan ilmu Mukhtaliful
Hadis. Di antara para ulama besar yang telah berusaha menyusun,
ilmu ini ialah Al-Imamusy Syafii (204 H), Ibnu
Qurtaibah (276 H), At-Tahawi (321 H) dan ibnu Jauzi (597
H). Kitabnya bernama At-Tahqiq, kitab ini sudah
disyarahkan oleh Al-Ustaz
Ahmad Muhammad Syakir
dan baik sekali
nilainya.
C. Sejarah Pertumbuhan
Dan Perkembangan Ilmu Hadis.
1. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Hadis
Melihat
definisi dan kegunaan ilmu hadis Diroyah dan Ilmu Hadis riwayah di atas, nampak
sekali adanya korelasi antara keduanya, ilmu Hadis Diroyah lahir dari pemikiran
karena perlunya pemeliharaan dan pemurnian hadis dari kehilangan dan pemalsuan,
sehingga tidak boleh ada satu hadis Shahih pun yang tercecer. Ilmu Hadis Riwayah
dalam perjalanan dan peredarannya
sangat memerlukan kaidah-kaidah pendukungnya. Oleh karena itu, maka keduanya
berjalan bersama-bersama.
Pengertian
dan pemahaman di atas diperlukan untuk me- lihat
kapan Ilmu Hadis itu mulai tumbuh dan sejak kapan pula mengalami
perkembangannya. Di sini dapat dikatakan, bahwa benih-benih ilmu hadis telah
tumbuh sejak zaman Nabi Muhammad SAW, sejalan dengan diwurudkannya hadis-hadis
kepada para sahabatnya.
Pada masa sahabat dan tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin terasa. Hal ini
karena, Rasul SAW sebagai sumber
untuk merujukan hadis, sudah
wafat. Sehingga dibutuhkan tolak ukur untuk menguji
kebenaran suatu hadis,
terutama hadis-hadis yang
hanya didengar atau disampaikan oleh seorang saja.
Lebih-lebih ketika umat Islam memulai upaya mengumpulkan hadis dan mengadakan perlawatan yang mereka
lakukan ke seluruh
wilayah kekuasaan Islam. Hal ini sudah
barang tentu secara
langsung atau tidak, memerlukan kaidah-kaidah guna melakukan seleksi dalam
penerimaan dan periwayatan atau penyampaian hadis kepada para muridnya.4
2. Sejarah Perkembangan
Ilmu Hadis
Pada masa
tabi’in, ulama yang
pertama kali menetapkan dasar ilmu hadis riwayah
ialah Ibnu Syihab Az-zuhri (51-124
H.). ini diperlukan sehubungan dengan keahliannya dalam
bidang hadis dan kedudukan
dirinya sebagi pengumpul hadis, atas perintah resmi dari Khalifah Umar bi Abdul
Azis. Dari sini ilmu hadis mulai terlihat wujudnya, meskipun dalam bentuk
kaidah-kaidah yang spiel dan sederhana. Sedangkan ilmu hadis dirayah
juga muncul pada abad ini dan disponsori oleh Ali Ibn Madani (161- 234 H), Bukhary
(198-252 H), Muslim
(204-261 H), dan al-Turmuzi
(200-279 H). Adapun tahap
perkembangan ilmu hadis menurut Dr. Nuruddin ‘Itr selengkapnya dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a.
Tahap kelahiran, yaitu masa
sahabat hingga akhir abad pertama
hijrah. Ciri tahap ini adalah adanya penyedikitan riwayat, kehati-hatian para
sahabat dalam meriwayatkan hadis, pengujian thd setiap riwayat,
mencari sanad hadis
dan meneliti karakteristik rawi,
membandingkan riwayat rawi satu
dengan yang lain, yang kemudian memunculkan konsep hadis marfu’, mauquf, maqthu’, dan sebagainya. Belum
berdiri van tersendiri.
4
Ibid, 87-88
b. Tahap penyempurnaan, dimulai awal abad ke 2 hingga abad ke 3 H. Masa
ini ulumul hadis sudah menjadi cabang ilmu tersediri. Setiap cabang UH berdiri
sendiri dan sejalan dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dan dipergunakan
oleh para ulama, mis : jarh wat ta’dil,
illal hadis dan lain-lain, tetapi belum terbukukan kecuali
tulisannya as-Syafii dalam ar- risalahnya. Pelopornya adalah Ibn Syihab az-Zuhri.
c. Tahap pembukuan ulumul
hadis secara terpisah, dari abad ke 3 sampai pertengahan abad ke 4 H.
Telah tersusun kitab khusus untuk setiap cabang Ulumul Hadis, mis: ilmu hadis
shahih, ilmu hadis mursal, thabaqat
rawi, nasikh wa mansukh,
rijal al-hadis dll. Juga lahir
kitab yg membahas
seluruh kajian UH.
d. Tahap penyusunan kitab-kitab induk ulumul hadis dan penyebarannya, dimulai dari pertengahan abad ke 3 hingga abad ke 7 H.
Dalam catatan sejarah
perkembangan hadis diketahui bahwa ulama yang pertama kali berhasil menyusun
ilmu hadis dalam suatu disiplin secara lengkap, adalah
seorang ulama sunni bernama, al-Qodli Abu
Muhammad al-Hasan bin Abd ar-Rahman bin Khalad ar-Ramahurmuzi (wafat tahun
360 H) dengan kitabnya Al-Muhaddits al-Fashil baina ar-Rawi wal
wa’i. Menurut Ibnu Hajar
al-Asqalani, karya ar-Ramahurmuzi ini belum mencakup seluruh ilmu hadis.
Meskipun demikian, menurutnya lebih lanjut, kitab ini sampai pada masanya merupakan
kitab terlengkap, yang kemudian dikembangkan oleh ulama berikutnya.
Diantara kitab-kitab yang disusun adalah:
1)
Al-Muhaddis al-Fasil bain
al-Rawi wal Wa’i karya Abu
Muhammad al-Rahamurmuzi (w. 360 H).
2)
Al-Kifayah fi Ilm ar-Riwayah karya Katib al-Baghdadi (w. 463
H).
3)
Al-‘ilmi fi ‘Ulum ar-Riwayat
wa al-Sima’, karya
Al-Qadhi Iyadh bin Musa al-Yashubi (w. 544 H).
e.
Tahap pematangan dan
penyempurnaan kitab ulumul hadis, dimulai abad ke 7 sampai 10 H. Pelopornya adalah Ibn Salah(577 – 643 H) dg karya
Muqaddimah Ibn Shalah (Ma’rifah Ulumu al-Hadis). Ciri
uatama tahap ini adalah pembahasan komprehensif, pemberian definisi,
kesimpulan, dan komentar terhadap pendapat.
f. Tahap Kebekuan atau Kejumudan, terjadi pada abad ke 10 sampai awal abad ke 14 hijrah.
Aktifitas pembukuan dan pembahasan terhadap ilmu
hadis nyaris terhenti. Yang muncul adalah kitab ilmu hadis yang ringkas
dan praktis.
g.
Tahap kebangkitan kedua, dimulai dari abad ke 14 hijrah.
Kitab-kitab yang muncul masa ini antara laian:
1)
Qawaid at-Tahdis karya Jamaluddin al-Qasimi.
2)
As-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islam karya Mustafa as-Siba’i.
3)
Al-Hadis wa al-Muhaddisun karya Muhammad Abu Zahwu
4)
Al-Manhaj al-Hadis fi ‘Ulum
al-Hadis karya Muhammad
al- Simahi.
Demikian
selanjutnya bermunculan kitab-kitab Musthalah Hadis, baik dalam bentuk nadzam, seperti kitab Alfiyah as-Suyuti maupun dalam bentuk nasar atau prosa.
3. Sejarah Perkembangan Ulumul Hadis di Indonesia
Sejarah
perkembangan ulum al-hadis di Indonesia dimulai pada abad ke 19 dengan lahirnya
karya di bidang
Ulumul Hadis yaitu Manhaj Dzaw An-Nazhar karangan Syekh Mahfud
at-Tirmasi (w 1919/20
M). Kemudian diikuti oleh Mahmud Yunus yang mengarang Ilmu Musthalah Hadis,
Hasby As-Shiddiqy, Abdul Kadir Hasan, Syuhudi Ismail dan lain-lainnya. Selain
itu juga banyak yg berbentuk terjemahan atau saduran terhadap karya aslinya.
Karakteristik karya-karya ulum al-hadis di Indonesia lebih banyak yang bersifat pengantar daripada pembahasan,
apalagi bersifat analitis
dan lebih dominan
kajian sejarahnya.
4. Jenis-jenis karya Ulum al-Hadis
NO |
JENIS KITAB |
DEFINISI |
CONTOH KITAB |
1. |
Ashal |
Kitab Ulumul Hadis yang penyusunannya tidak terpengaruh pemikiran lain. |
Karya ar- Ramaharmuzi, al- Hakim,
Al-Baghdadi, Ibn Shalah dan Ibn Hajar |
2. |
Ikhtisar
/ Talkhish |
Kitab
Ulumul Hadis yang
susunan dan materinya mengikuti karya sebelumnya dg cara
meringkas. |
Karya An-Nawawi, Ibn Jamaah dan Adz- Dzahabi. |
3. |
Syarh |
Kitab Ulumul Hadis yang berisi komentar, penjelasan dan analisis dengan tidak mengubah karya yang ditunjuknya |
Karya As-Suyuti |
4. |
Nukad
/ Naqd |
Kitab Ulumul Hadis yang berisi
kritik thd karya yang ditunjuknya |
Karya Al-‘Iraqi, Ibn Hajar |
5. |
Hasyiyah |
Hampir sama dengan syarh hanya saja ber- bentuk catatan pinggir |
Karya Quthlubugha dan Al-Maqdisi ter- hadap karya Ibn Hajar |
6. |
Al-’Isri |
Kitab Ulumul Hadis yang muncul pada abad modern yg sistematikanya berbeda dengan karya-karya sebelumnya. |
|
REFERENSI:
1.
Subhi Salih, ‘Ulum al-Hadis
wa Mustalahuhu, Beirut:
Dar ‘Ilmi li al-Malayini, 1988.
2. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama,
1998
3.
Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Metdologis,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
4.
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1992.
5.
M. Syuhudi Ismail, Metodolgi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
6.
Fathurrahman, Ikhtisar
Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991
7.
Ibn Salah, ’Ulum
al-Hadis, Madinah: al-Maktabah al-Madinah al-Munawwarah, t.th.
8.
Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
PERTANYAAN:
1. Jelaskan definisi
Ulumul hadis!
2.
Sebutkan cabang-cabang ulumul Hadis dan jelaskan pengertiannya!
3.
Apa manfaat mempelajari ilmu hadis riwayat?
4. Apa manfaat
mempelajari ilmu hadis dirayah!
Peta Konsep
Pembagian Hadist Berdasarkan Kuantitas Sanad
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa
mampu mendeskripsikan pembagian hadis ber-
dasarkan jumlah perowi
Pengantar
Hadits
ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi
sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua
macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
A. Hadits Mutawatir
1.
Pengertian Hadits Mutawatir
Dari segi
bahasa kata mutawatir berasal dari kata
”Tawaatur” yang berarti datangnya satu setelah satu dengan adanya jarak antara keduanya, atau ”at-tatabu’”yang
berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara
satu dengan yang lain.1
Hadits mutawatir dari segi terminologis mempunyai banyak definisi.
Menurut Nurudin Nurudin
Itr hadits mutawatir adalah: “Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal
mereka dan seterusnya sampai akhir sanad
dan semuanya
bersandar kepada panca indera.”2
Sedang
menurut Ajjaj al Khatib, hadits mutawatir adalah: “Hadits yg diriwayatkan oleh
sebagian besar perawi yang
menurut adat mereka tidak
mungkin bersepakat dusta dari masing-masing mereka mulai dari awal sanad sampai
dari masing-masing mereka mulai dari awal sanad sampai akhir sanad.” 3
Tidak dapat dikategorikan dalam
hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar
pada pancaindera, seperti
meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang
tercela, juga segala berita yang diriwayatkan
oleh orang banyak,
tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
1 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu
Ushul Hadis,(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2006), 89.
2 Nuruddin Itr, Ulumul Hadis 2,
Terj. Mujiyo, (Bandung: Rosdakarya, 1997), 196
3
M. ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis
Pokok-Pokok Ilmu Hadis, Terj. M.Nur
Ahmad Musafiq, (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2007), 271
Hadits yang
dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini
kebenarannya. Karena kita tidak mendengar
hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka
jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu
harus dapat memberikan keyakinan tentang
kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana
cara perawi menerima
dan menyampaikan hadits. Ada
yang melihat atau
mendengar, ada pula
yang dengan tidak melalui
perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang
yang meriwayatkan hadits
itu.
Apabila
jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang
secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin
bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
2. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits
dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Hadits yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut
harus berdasarkan tanggapan (daya
tangkap) pancaindera.4 Artinya bahwa berita yang disampaikan itu
benar-benar merupakan hasil pendengaran atau penglihatan perowi. Apabila berita itu merupakan hasil pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti
tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri
oleh pemberitanya, maka
4 Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu
Hadis, Terj. A.Muhtadi Ridwan, (Malang :
UIN Malang Press, 2007), 32
tidak dapat disebut hadits
mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
b.
Diriwayatkan oleh perowi yang banyak.
c. Bilangan para perawi
mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam
hal ini para ulama berbeda pendapat
tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta. Perbedaan itu adalah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang.
Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
2)
Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang.
Hal tersebut diqiyaskan
dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
3)
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20
orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang
telah difirmankan Allah
tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang
(lihat surat Al-Anfal ayat 65).
4)
Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut
sekurang- kurangnya 40 orang. Hal
tersebut diqiyaskan dengan
firman Allah QS. Al-Anfal: 6.
d.
Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/ tingkatan) pertama
maupun thabaqat berikutnya.
Hadits
mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya,
bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan
bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian
ketatnya. Sedangkan Ibnu
Salah berpendapat bahwa
mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar
mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan
sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak
jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada
beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al- Akhabri al-Mutawatirah, susunan
Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi
al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H). 5
3. Faedah Hadis Mutawatir
Hadits
mutawatir memberikan faedah ilmu daruri,
yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan
mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan
seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau
mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah
dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan
dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya
mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh
karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits
mutawatir. Umat Islam telah
sepakat tentang faedah
hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan
orang yang mengingkari hasil ilmu
5
Mahmud Tahhan, Intisari Ilmu Hadis, 35
daruri dari hadits mutawatir
sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang berdasarkan musyahailat
(penglibatan pancaindera).
4. Pembagian Hadis Mutawatir
Para ulama
membagi hadis mutawatir menjadi 3 macam, yaitu :
a. Mutawatir Lafdhi
Hadits mutawatir lafdhi adalah
hadits yang mutawatir lafadz dan maknanya.6 Contoh hadits mutawatir
lafdzi adalah sebagaimana hadits dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW yang
berbunyi:
ابلخارى رواه .انلار من مقعده فليتبوأ متعمدا عيل كذب من “Barang siapa yang sengaja bedusta
atas namaku maka hendaklah
tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)
b. Mutawatir Maknawi
Yang dimaksud dengan hadits
mutawatir maknawi adalah hadits yang berlainan bunyi dan maknanya, tetapi dapat
diambil makna yang umum.7 Jadi hadis mutawatir maknawi adalah
hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi
hadis tersebut, namun
terdapat persesuaian atau
kesamaan dalam maknanya.
Contoh hadits mutawatir maknawi
adalah hadits yang menerangkan tentang kedudukan niat dalam perbuatan.
6 Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu
Hadis, (Semarang : RaSAIL Media, 2007), 104
7 Mahmud Tahhan, Taysir Musthalah
Hadis, (Beirut : Dar al-Qur’an Al- Karim,
1979), 20
Hadits-hadits semacam ini
banyak sekali meskipun terdapat dalam berbagai kasus.
Contoh lain hadis Nabi saw yang berbunyi:
ما رفع صيل اهلل عله وسلم يديه حيت رؤي بياض إبطيه ف شيئ من داعئه إل ف
) عليه
متفق ( اإلستسقاء “Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa’
dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak
putih-putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan
hadis tersebut di atas ada banyak,
yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan
redaksi yang berbeda- beda. Antara lain hadis-hadis
yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi
:
منكبيه حذو
يديه يرفع
كن ”Rasulullah
SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
c. Mutawatir ‘Amali
Hadits mutawatir ‘amali adalah
sesuatu yang diketahui dengan mudah
bahwa ia dari agama dan telah mutawatir di kalangan umat Islam. Bahwa Nabi SAW
mengajarkannya atau menyuruhnya atas selain dari itu. Dari hal itu dapat
dikatakan soal yang telah disepakati.
Contoh: berita-berita yang
menerangkan waktu raka’at shalat, shalat jenazah, shalat ied, hijab perempuan
yang bukan mahram, kadar zakat, dan segala rupa amal yang telah menjadi kesepakatan ijma’.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana
tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam
saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi
menjadi mutawatir lafzi dan
mutawatir maknawi.
B. Hadis Ahad
1.
Pengertian Hadis Ahad
Dari segi
bahasa kata “ahad”
(tanpa madd) berarti
satu. Maka khabar ahad adalah khabar (berita) yang diriwayatkan oleh satu
orang perawi.8
Menurut
Istilah ahli hadis,
tarif hadis ahad
antara lain adalah:
مالم تبلغ نقلته
ف الكرثة مبلغ
اخلرب املتواتر سواء
كن املخرب واحدا
أو إثنني أو ثالثة أو أربعة أو خسة إيل غري ذالك
من اإلعداد اليت ل تشعر بأ ن اخلرب دخل بها
املتواتر خرب ف ”Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis
mutawatir; baik pemberita itu seorang.
dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah
tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis
mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai
berikut:
اتلواتر رشوط فيه
جيتمع مال ”Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
8 Muhammad Al
Shabbag, al Hadits an Nabawi,
Musthalahul, Balaghah, ‘Ulumuh, Kutubuh, (ttp, Masyurat al Maktabah al
Islami, 1972), hal. 21.
2.
Pembagian Hadits
Ahad
a.
Hadits Masyhur
Menurut
masyhur berasal dari kata شهر yang berarti اعلن yang berarti mengumumkan.
Secara terminology hadits masyhur adalah:
اتلواتر درجة يصل
فاكرثولم ثالثة
رواه ما “Hadits yang diriwayatkan oleh
tiga orang atau lebih (dalam suatu thabaqahnya) namun belum mencapai derajat mutawatir”.
9
Kemasyhuran
sebuah hadis tidak mesti mencakup semua kalangan ulama. Hadis dapat dapat saja
masyhur di kalangan ulama tertentu, dalam hal ini hadis masyhur dibedakan
minimal menjadi empat macam :
1)
Masyhur di kalangan ahli hadis, contohnya :
عن انس بن ما لك : قنت رسول اهلل
صىل اهلل عليه وسلم شهرا بعد الركوع ف صالة
)ومسلم
ابلخارى رواه ( وذكوان رعل ىلع
يدعو الصبح “Rasulullah saw melakukan
qunut selama satu bulan setelah ruku’, untuk mendo’akan hukuman atas
(kejahatan) penduduk Ri’l dan Dzakwan”. (HR Bukhori dan Muslim)
2)
Masyhur di kalangan fuqoha, contohnya :
عن ابن عمر
عن انليب صىل
اهلل عليه وسلم قال
: أبغض
احلالل إىل اهلل
عزوجل
)ماجه
وابن داود أبو
رواه( الطالق ” Nabi saw bersabda
: Perbuatan halal yang paling
dibenci Allah adalah talak”.
(HR Abu Dawud dan Ibn Majah)
9
M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis,
302
3)
Masyhur di kalangan ulama Ushul Fiqh, contohnya:
عن اىب ذر الغفاري قال: قال رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم : إن اهلل تاوز عن
)ماجه
ابن رواه( عليه استكرهوا وما
والنسيان، اخلطأ
اميت “Rasulullah saw bersabda: sesungguhnya Allah tidakmenghukum
umatku karena perbuatan khilaf, lupa, dan perbuatan karena terpaksa”. (HR Ibn Majah).
4)
Masyhur di kalangan ulama hadis, fuqoha, ulama
ushul fqh, dan di kalangan awam, contohnya
:
عن عبد اهلل بن عمر ريض اهلل عنهما
عنانليب صىل اهلل
عليه وسلم قال : املسلم من سلم املسلمون من لسانه ويده،
واملهاجر من هجر ما نىه
اهلل عنه (رواه ابلخارى
)ومسلم “ Rasulullah saw bersabda:
Orang muslim adalah yang tidak mengganggu orang-orang muslim lainnya dengan
kata-kata dan perbuatannya dan orang muhajir
adalah orang yang
meninggalkan apa yang
diharamkan Allah.”(HR Bukhari dan Muslim).
Kitab-kitab yang menghimpun
hadis-hadis masyhur antara lain:
1)
Al-Maqashid al-Hasanah fi Ma Isytahara’ala al-Alsianah, karya al- Sakhawi.
2)
Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Albas fi Ma Isytahara min
al-Hadis ‘ala
Alsinat al-Nas, karya al-‘Ijlawani
3)
Tamyiz al-Thayyib min al-Khabits fi Ma Yadur ‘Ala Alsinat al-Nas
min al-Hadis, karya Ibn Daiba’ al-Syaibani
b.
Hadits Aziz
Dari segi bahasa kata aziz adalah bentuk sifat musyabbahah dari kata ‘azza ya’izzu yang berarti sedikit atau
jarang. Bisa juga berasal dari kata ‘azza ya’izzu
yang berarti kuat atau keras (sangat). Suatu aziz dinamakan dengan hadits aziz adakalanya karena sedikitnya perawi.
Menurut
istilah, hadis azis adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang meskipun
hanya pada satu tingkatan (generasi) saja, kemudian setelah
itu diriwayatkan oleh banyak orang.
Jadi bisa saja sanad
sebuah hadis ‘azis
terdiri dari dua dua orang
pada setiap generasi, atau hanya pada satu generasi dari sanad hadis itu yang
terdiri dari dua orang, sedang
pada generasi sesudahnya terdiri dari banyak orang.10
Contoh hadis ‘azis adalah :
عن أب هريرة ريض اهلل عنه أن رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم قال : فوالي نفىس
) ومسلم
ابلخارى روه( ووله واله من
إيله أحب
اكون حىت
أحدكم ليؤمن
بيده “Rasulullah saw bersabda: Demi
Allah yang jiwaku
ada di tangan- Nya, tidaklah beriman orang di
antara kamu sebelum aku lebih dicintainya dari dari pada orang
tua dan anaknya.” ( HR Bukhari dan Muslim).
Hadis di atas dikatakan ‘azis karena pada tingkatan sahabat, hadis ini diriwayatkan oleh dua orang yakni Anas bin Malik dan
abu Harairah, dan
dari anas ini diriwayatkan oleh
du orang tabi’in, yaitu Qatadah dan Abdul Azis bin
Shuhaib, dan dari qatadah hadis ini
diriwayatkan oleh Syu’bah dan Sa’id, sedangkan
dari
10 Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,
2002),
116
Abdul Azis hadis ini diriwayatkan oleh Ismail bin
‘Ulayah dan Abdul Waris, setelah itu diriwayatkan oleh banyak orang.
c.
Hadits Gharib
Kata gharib,
secara bahasa merupakan bentuk sifah musyabbahah dari kata gharaba’
yang berarti infrada
(menyendiri). Juga bisa berarti jauh dari tanah airnya. Disamping itu
juga bisa diartikan asing, pelik atau aneh. Dengan demikian hadits gharib dari
segi bahasa adalah hadits yang aneh. Sedangkan dalam istilah Ilmu Hadis berarti : واحد راو بروايته ينفرد ما yaitu hadis yang dalam meriwayat-kannya
seoarang perawi menyendiri (tidak
ada orang lain yang ikut meriwayatkannya). Definisi ini memungkinkan
kesendirian seorang perawi baik pada setiap
tingkatan sanad atau pada
sebagian tingklatan sanad, bahkan mungkin
hanya pada satu tingkatan sanad saja.
Hadis gharib dibagi menjadi dua macam:
1)
Gharib Mutlak, yaitu :
سنده أصل ف واحد شخص بروايته ينفرد ما “Hadis yang diriwayatkan oleh
satu orang perawi pada asal sanad” (tingkatan
sahabat).
Contoh hadis gharib mutlak adalah :
)شيخان
أخرجه( بانليات
األعمال إنما “Sesungguhnya seluruh amal itu
bergantung pada niat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini hanya diriwayatkan
oleh Umar bin Khattab saja di tingkat sahabat, sedangkan sesudahnya
diriwayatkan oleh banyak orang.
2)
Gharib Nisbi, yaitu
ما كنت الغربة ف أثناءسنده
“Hadis yang kesendirian perawinya ada di pertengahan
sanad.”
Maksudnya, hadis
gharib nisbi ini
pada mulanya diriwayatkan oleh beberapa orang pada tingkat
sahabat, namun pada
pertenganhan sanad, terdapat tingkatan yang perawinya hanya satu orang.
Contoh hadis gharib nisbi adalah:
حدثنا أبو أحد الزبريي حدثنا مالك عن ابن شهاب
أن أنس بن مالك أخربه أن رسول اهلل
صىل اهلل عليه
وسلم دخا مكة وىلع رأسه مغفر
فقيل هل : إن ابن خطل
)أحد
رواه( اقتلوه : فقال
الكعبة بأستار
متعلق “Bahwasannya
Rasulullah saw memasuki kota Mekah dan di atas
kepalanya ada penutup kepala.” (HR Ahmad bin
Hambal).
Dalam sanad hadis di atas, hanya
Malik yang menerima
hadis tersebut dari al-Zuhri.
Hadis dikatakan gharib nisbi
dapat juga didasarkan atas beberapa hal, yaitu:
1)
Hanya seorang perawi
tertentu yang menerima
hadis itu dari perawi tertentu.
2)
Hanya penduduk kota tertentu yang meriwayatkan
hadis tersebut.
3)
Hanya penduduk kota tertentu yang meriwayatkan
hadis tersebut dari penduduk kota tertentu pula.
Ada beberapa kitab yang
menghimpun hadis-hadis gharib, antara lain:
1)
Gharib Malik, karya al-Daruquthni,
2)
Al-Afrad, karya al-DaruQuthni.
3)
Al-Sunan allati
Tafarrada bi Kulli Sunnah Minha Ahlu Baldah,
karya Abu Dawud al-Sijistani.
3. Faedah Hadis Ahad
Para ulama
sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i,
sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan
sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya.
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits ahad adalah hujjah Syari’iyah yang harus
diterima dan diamalkan oleh umat Islam selama hadits tersebut memenuhi beberapa
kriteria dan syarat tertentu. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa,
hadis tersebut tidak
tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut
wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita
pergunakan dalam berhujjah dengan suatu
hadis, ialah memeriksa ”Apakah hadis tersebut
maqbul atau mardud”. Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya.
Kalau mardud, kita tidak dapat
i’tiqadkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian
apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa
apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas
dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam.
Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan
salah satunya supaya
tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang
terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil,
kita pandang nasikh.
Jika kita
tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menar- jihkan salah satunya. Kita
ambil yang rajih, kita tinggalkan
yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil,
barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau
hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
REFERENSI :
1.
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,(Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2006)
2.
Nuruddin Itr, Ulumul
Hadis 2, Terj. Mujiyo, (Bandung: Rosdakarya, 1997)
3.
M. ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis
Pokok-Pokok Ilmu Hadis,
Terj.
M.Nur Ahmad Musafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007),
4.
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, Terj. A.Muhtadi Ridwan,
(Malang : UIN Malang Press, 2007)
5.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang : RaSAIL Media, 2007),
6.
Mahmud Tahhan, Taysir Musthalah Hadis, (Beirut :
Dar al- Qur’an Al-Karim, 1979)
PERTANYAAN :
1. Buatlah skema
pembagian hadis dilihat dari segi jumlah perowi yang meriwayatkan hadis!
2. Apa yang dimaksud hadis mutawatir dan hadis ahad?
3. Bagaimana hokum
pengamalan hadis mutawatir dan hadis ahad?
Peta Konsep
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Sanad
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa
mampu mendeskripsikan pembagian hadis berdasarkan
kualitas hadis
Pengantar :
Kualitas
hadist artinya mutu suatu hadits atau tingkat serta nilai yang disandang oleh
suatu hadits. Berbicara soal nilai atau mutu di sini dimaksudkan apakah suatu
hadits itu dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan suatu kepastian ajaran atau tidak. Dengan demikian penentuan kualitas hadits berkaitan erat dengan pemakaian atau
penerapannya.
Hadits-hadits
yang perlu diteliti kualitasnya adalah hadits- hadits yang dari sudut kuantitasnya termasuk
ke dalam kategori
hadits yang ahad, bukan yang mutawatir. Sebab yang mutawatir sudah mencapai ilmu dlarury yang tidak memerlukan penelitian.
Pada garis
besarnya hadits-hadits ahad
dari sudut kualitasnya terbagi menjadi dua, yaitu
hadis ahad yang maqbul dan hadits ahad yang mardud.
Untuk lebih jelasnya
pengertian kedua hadits tersebut akan diuraikan dibawah ini:
A. Hadits Ahad Yang Maqbul
1.
Pengertian hadits ahad yang maqbul
Secara terminologis, hadits
maqbul didefinisikan dengan “ Hadits yang telah
sempurna seluruh syarat
penerimaannya”.1 Ibnu Hajar al Asqalani mendefinisikan dengan :“Hadits yang ditunjuk oleh suatu keterangan atau
dalil yang menguatkan ketetapannya”.2
2. Syarat-syarat hadits maqbul
Syarat-syarat suatu hadits agar
dapat dikatakan maqbul ada yang berkaitan dengan sanad dan ada yang berkaitan dengan matan. Yang dimaksud dengan
sanad, syarat-syarat itu adalah
antara lain sanadnya harus bersambung, masing-masing sanad tersebut harus adil
dan dhabit, serta tidakn ada illat yang mencacatkannya. Sedang syarat yang berkaitan dengan matan, maka tidak boleh ada
kejanggalan (syudzudz) dalam matannya. Jika boleh ada kejanggalan pada suatu
hadits terpenuhi syarat-syarat diatas,
maka hadits tersebut
oleh para ulama disebut
shahih, atau sekurang-kurangnya hasan, yang berarti dapat diterima kehujjahannya. Pembicaraan mengenai
1 M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979), 52
2 Ibnu Hajar
al-asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr fi
Musthalahah Ahli Al-Atsar, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1934), 52
hadits shahih dan hasan secara
luas akan diuraikan pada bab
tersendiri.
3. Pembagian Hadits maqbul
Pada garis besarnya hadits
maqbul dapat dilihat dari dua sudut,
yaitu: pertama, dari implementasinya dan kedua dari kualitasnya.
a. Sudut Implementasi
Hadits Maqbul
Dari sudut implementasinya,
hadits ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama, hadits yang ma’mul bih (dapat diamalkan) dan kedua,
hadits yang ghair ma’mul bih (tidak
dapat diamalkan).3
Yang termasuk ke dalam kategori hadits
ma’mul bih adalah:
1)
Yang muhkam, yaitu hadits yang telah memberikan
pengertian jelas.
2)
Yang mukhtalif, yaitu
hadits yang dapat
dikompromikan dari dua buah hadits shahih atau lebih yang dari sudut
dzahirnya mengandung pengertian yang bertentangan.
3)
Yang rajih, yaitu hadits yang lebih kuat dari dua
buah hadits shahih yang Nampak bertentangan.
4)
Yang nasikh, yaitu hadits yang menasakh (menghapus) ketentuan hadits yang dating terdahulu.
Sedang yang termasuk ke dalam
kategori ghair ma’mul bih adalah:
1)
Yang mutasyabih, yaitu hadis yang memberikan
pengertian yang tidak jelas.
2)
Yang marjuh, yaitu hadits yang kehujjahannya
dikalahkan oleh hadits yang kebih kuat.
3 Fatkhurrohman,
Ikhtisar Mustholah Hadis, (Bandung :
PT al-Ma’arif, 1974), 143
3)
Yang mansukh, yaitu
hadits yang dating
terdahulu, yang ketentuan
hukumnya telah dinasakh atau dihapus oleh yang dating kemudian.
4)
Yang mutawaquf fih, yaitu hadits yang kehujjahannya
ditangguhkan karena pertentangan antara satu hadits dengan hadits lainnya yang
belum dapat diselesaikan.
b. Sudut Rutbah
Hadits maqbul dari sudut rutbah
(urutan) kualitasnya juga terbagi kepada dua bagian yaitu hadis shahih dan
hadis hasan. Pembagian ini tidak berlaku bagi ulama yang memasukkan pembahasan hadits hasan
ke dalam hadits shahih, seperti
al-Hakim, Ibn Hibban
dan Ibn Huzaimah.
B. Hadits Ahad Yang Mardud
Kata mardud
secara bahasa berarti
yang ditolak, yang tidak
diterima, atau yang dibantah. Maka hadits mardud menurut bahasa berarti hadits
yang ditolak, atau hadits yang dibantah.
Secara
terminologis, hadits mardud didefinisikan
dengan: “hadits yang hilang seluruh syarat-syaratnya atau sebagiannya”. Dalam
definisi lain disebutkan bahwa kebenaran pembawa berita pada hadits mardud itu
tidak sampai kepada derajat hadits maqbul. Dalam hal ini yang tergolong pada
kategori hadis ini adalah hadis dlaif.
C. Hadits Shahih
1. Pengertian Hadits
Shahih
Kata shahih menurut bahasa berarti yang
sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang
sempurna. Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari kata saqim (sakit).
Maka kata hadiys shahih menurut bahasa, berarti
hadits yang sah, hadits yang sehat
atau hadits yang selamat.
Secara terminologis, shahih didefinisikan oleh Ibn Shalah
sebagai berikut:
املسند
الى يتصل اسناده
بنقل العدل الضابط
اىل منتهاه وليكون
شادا ول
معلال “Hadits yang disandarkan kepada nabi SAW, yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan oleh perawi yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak
ada kejanggalan dan tidak ber’illat.”4
Ibn Hajar al Asqalani
mendefinisikannya dengan lebih ringkas
yaitu:“Hadits yang diriwayatkan oleh orang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak ber’illat.”5
Al Qasimi
juga mengemukakan definisi yang cukup ringkas, yang hampir sama dengan
yang dikemukakan oleh al Asqalani. Menurutnya, hadits shahih
adalah : “hadits yang bersambung sanadnya,
diriwayatkan dan diterima dari perawi yang adil lagi dhabit, serta selamat
atau terhundar dari kejanggalan kejanggalan dan ‘illat”6
Definisi
yang hampir samajuga dikemukakanoleh an Nawawi.
Hanya saja ia menggunakan bentuk-bentuk
jamak, seperti berikut
4 Ibn Al-Sholah, Ulum al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih,
(Mekkah
:
al-
Muktabat al-Tijariah Musthafa
Ahmad al-Baz, 1993), 10.
5
Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah
al-Fikr,51
6 Jamal al-Din
al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdis Min Funun
Musthalah al- Hadis,(Beirut : Dar Al-Nafatis, 1987), 79
ini : “Hadits
yang bersambung sanadnya
diriwayatkan oleh para perawi yang adil lagi
dhabit, tidak syudzudz dan tidak ber’illat”7
2.
Syarat-Syarat Hadits Shahih.
Berdasarkan
beberapa definisi hadits shahih, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama
di atas diketahui ada lima syarat yang harus dipenuhi yaitu:
a.
Diriwayatakan oleh para perawi yang adil.
Yang dimaksud dengan istilah
adil dalam periwayatan disini secara terminologis mempunyai arti spesifik atau
khusus yang sangat ketat
dan berbeda dengan
istilah adil dalam
terminology hokum. Dalam periwayatan seseorang dikatakan adil apabila
memiliki sifat-sifat yang mendorong terpeliharanya ketaqwaan, yaitu
senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan laranganNya, baik aqidahnya, terpelihara dirinya dari dosa besar
dan dosa kecil,
dan terpelihara akhlaknya termasuk dari
hal-hal yang menodai muru’ah, disamping ia harus muslim, baligh, berakal
sehat, dan tidak fasik.
Keadilan para perawi di atas
menurut para ulama dapat diketahui melalui: pertama, keutamaan kepribadian nama
perawi itu sendiri sikenal di kalangan ahli hadits, sehinggga keadilannya tidak
diragukan lagi. Kedua,
penilaian dari para ulama lainnya, yang melakukan
penelitian terhadap perawi
, tentang keadilan
perawi-perawi hadits. Ketiga, penerapan kaidah
al jarh wa at ta’dil,
apabila terjadi perbedaan pendapat antara para ulama peneliti terhadap
perawi-perawi tertentu.
7 An-Nawawi, At-Taqrib li An-NawawiFann Ushul al-Hadis, (Kairo
: Abd ar- rahman Muhammad, t.th), 2
Penelitian atau penilaian para ulama
terhadap keadilan para perawi ini dilakukan kepada mereka pada setiap
thabaqahnya dengan sangat teliti, sehingga tidak ada seorang perawipun yang tertinggal. Dengan ketelitian para ulama dalam
melakukan penelitian ini, segala identitas, kebiasaan sehari- hari, dan
kaitan-kaitan lainnya dapat diketahui dengan pasti. Dikecualikan dari
penelitian ini, para perawi pada thabaqah sahabat. Terhadap para sahabat,
hampir semua ulama sependapat, tidak dilakukan penelitian. Mereka memeandang
para sahabat secara kolektif adalah
adil (ash-shahabat kulluhum udul).
Ini artinya bahwa keadilan para sahabat tidak diragukan lagi, sehingga terhadap
mereka tidak perlu dilakukan penelitian lagi.
b. Kedhabitan para
perawinya harus sempurna.
Dikatakan perawi yang sempurna
kedhabitannya yang dimaksud disini, ialah perawi yang baik hafalannya, tidak
pelupa, tidak banyak
ragu, dan tidak
banyak tersalah, sehingga ia dapat mengingat dengan
sempurna hadits-hadits yang diterima dan diriwayatkannya.
Menurut Ibn Hajar al Asqalani, perawi
yang dhabit adalah
yang kuat hafalannya terhadap
apa yang pernah
didengarnya, yang kemudian mampu
menyampaikan hafalan tersebut kapan saja manakala
diperlukan. Ini berarti bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar secara
utuh apa yang diterimanya, memahami isinya, kemudian mampu memproduksi atau
menyampaikannya kepada orang
lain atau meriwayatkannya sebagaimana mestinya.
Dari sudut kuatnya ingatan
perawi, para ulama membagi kedhabitan ini menjadi
dua, yaitu: pertama,
dhabit shadr atau
disebut juga dengan dhabit
fuad, dan kedua, dhabit kitab. Dhabit shadr artinya terpelihara hadits yang
diterimanya dalam hafalan, sejak ia
menerima hadits tersebut sampai meriwayatkan
kepada orang laian, kapan saja periwayatan itu
diperlukan. Sedang dhabit kitab, artinya terpeliharanya periwayatan itu melalui tulisan-tulisan yang dimilikinya. Ia
mengingat betul hadits-hadits yang ditulisnya atau catatan- catatan yang
dimilikinya, menjaganya dengan baik dan meriwayatkannya kepada orang lain
dengan benar.
Untuk mengetahui tingkat dhabth
seorang perawi, ahli hadits memiliki
metode verifikasi riwayat yang mereka namakan dengan i’tibar. Metode ini terdiri dari dua tahap: pertama, mengumpulkan semua hadits yang
diriwayatkan seorang perawi tanpa meninggalkan satu hadits pun. Kedua, membandingkan setiap
hadits yang ia riwayatkan itu dengan
riwayat orang-orang tsiqah. Nilai ke-tsiqatan perawi ini diberikan sesuai
dengan tingkat kesesuaian riwayatnya dengan
riwayat mereka. Jika
semua riwayatnya, atau
sebagian besarnya, sesuai dengan
riwayat mereka maka ia dinilai
tsiqah. Jika semua diriwayatnya, atau sebagian besarnya,
bertentangan dengan riwayat
mereka maka ia dinilai tidak
tsiqah (dhaif).
Ahli hadis menggunakan kata tsiqoh, untuk menunjukkan penilaian baik
mereka terhadap orang
yang memiliki reputasi kesalehan pribadi (‘adil) dan
sistem dokumentasi (dhabth) yang
sempurna. Mereka tidak menerima orang yang hanya memiliki syarat pertama
(‘adil) jika tidak memiliki syarat kedua (dhabth), begitu
juga sebaliknya. Kedua
syarat ini harus terpenuhi hingga seorang perawi
hadis berhak memperoleh predikat tsiqat dari
ahli hadis.
c. Antara satu sanad
dengan sanad lainnya harus bersambung. Yang dimaksud dengan sanad hadits yang muttashil di sini adalah sanad-sanad
hadits yang antara satu dengan yang lainnya
.pada sanad-sanad yang disebut berdekatan atau berurutan , bersambungan atau merangkai.
Dengan kata lain diantara pembawa
hadits dan penerimanya terjadi pertemuan
langsung. Dengan persambungan ini sehingga menjadi
silsilah atau rangkaian sanad
yang sambung menyambung sejak awal sanad
sampai kepada sumber hadits itu sendiri, yaitu Rasul SAW.
Untuk membuktikan apakah antara
sand-sanad itu bersambung atau tidak, diantaranya dilihat
bagaimana keadaan usia
masing- masing dan tempat tinggal mereka. Apakah usia keduanya memungkinkan bertemu atau tidak. Selain
itu bagaimana pula cara mereka
menerima dan menyampaikannya. Misalnya apakah dengan cara as sama’ (mendengar langsung dari perawi hadits itu), atau dengan cara munawalah
(seorang guru memberikan hadits
yang dicatatnya kepada
muridnya).
d.
Tidak mengandung cacat atau ‘illat.
Secara terminologis, yang dimaksud
dengan ‘illat disini adalah
suatu sebab yang tidak nampak atau smar-samar yang dpata mencacatkan keshahihan
suatu hadits. Maka yang disebut hadits tidak ber;illat
berarti hadits yang tidak memiliki
cacat
, yang disebabkan adanya
hal-hal yang tidak baik, yang kelihatannya samar-samar. Dikatakan samar-samar,
karena jika dilihat dari segi dzahirnya, hadits tersebut terlihat shahih.
Adanya cacat yang tidak nampak tersebut mengakibatkan adanya keraguan sedang
hadits yang didalamnya terdapat keraguan seperti ini kualitasnya menjadi
tidak shahih. Misalnya
menyebutkan muttasil terhadap haidts yang
munqathi’ atau
yang mursal.
e. Matannya tidak janggal
atau syad.
Yang dimaksud dengan hadits
yang tidak syadz disini, ialah hadits yang tidak
bertentangan dengan hadits
lain yang sudah diketahui tinggi kualitas
keshahihannya. Hadits yang syadz pada dasarnya merupakan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang
tsiqah. Akan tetapi karena matanya menyalahi hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang lebih tinggi ketsiqahannya, maka hadits itu dipandang menjadi
janggal atau syadz. Dengan demikian,
maka kedudukan hadits ini dipandang lemah dari sudut matanya.
3.
Pembagian Hadits
Shahih
Para ulama
ahli hadits membagi hadits shahih kepada
dua bagian yaitu: hadis shahih lidzatihi dan
hadis shahih lighairihi.
a. Shahih
Lidzatihi
Yang dimaksud dengan hadits shahih lidzatihi ialah hadits shahih dengan sendirinya. Artimya ialah
hadits shahih yang memiliki lima syarta kriteria, sebagaimana disebutkan pada
persyaratan di atas. Dengan demikian, penyebutan hadits shahih lidzatihi
dalam pemakaiannya sehari-hari
pada dasarnya cukup dengan
memakai sebutan hadits
shahih, tanpa harus
memberikan penambahan kata lidzatihi.
Hadits shahih dalam kategori
ini telah berhasil dihimpun oleh para mudawwin dengan jumlahnya yang
sangat banyak, seperti oleh Malik, al Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi, dan Ibnu Majjah
dalam kitab shahih
karya masing- masing.
b. Shahih Lighairihi
Yang dimaksud dengan hadits
shahih lighairihi ialah hadits yang keshahihannya dibantu oleh adanya
keterangan lain. hadits kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek
kedhabitan perawinya (qalil adh-dhabit). Diantaranya perawinya ada
yang kurang sempurna
kedhabitannya, sehingga dianggap tidak
memenuhi syarat untuk
dikategorikan sebagai hadits shahih.
Baginya semula hanya sampai kepada derajat atau kategori hadits
hasan li dzatih.
Dengan ditemukannya keterangan
lain, baik berupa syahid maupun mutabi’ (matan
atau sanad lain)
yang bisa menguatkan keterangan atau kandungan
matannya. Hadits ini derajatnya naik setingkat lebih
tinggi, sehingga menjadi
shahih li ghairih.
4.
Kehujjahan Hadits
Shahih
Para ulama
sependapat bahwa hadits
ahad yang shahih
dapat dijadikan untuk menetapkan syari’at Islam. Namun mereka berbeda pendapat, apabila dijadikan
hujjah untuk menetapkan soal-soal akidah.
Perbedaan
pendapat di atas berpangkal pada perbedaan penilaian mereka tentang faedah
yang diperoleh dari
hadits ahad yang shahih,
yaitu apakah hadits semacam ini memberi faedah qath’I atau dzanni. Ulama yang
mengangggap hadits semacam ini member faedah qath’I sebagaimana hadits
mutawatir, maka hadits-hadits tersebut
dapat dijadikan hujjah
untuk menetapkan
masalah-masalah akidah. Akan tetapi, yang menganggap hanya member faedah dzanni, berarti
hadits-hadits tersebut tidak
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan soal ini.
Para ulama dalam
hal ini terbagi
kepada beberapa pendapat, antara lain: pertama, menurutsebagaian ulama memandang bahwa hadits-hadits shahih riwayat Al
Bukhari,Muslim memberikan faedah qath’i.
Menurut sebagian ulama
lainnya, antara lain ibnu
Hazm bahwa semua hadits shahih memberikan faedah qath’i tanpa dibedakan diriwayatkan kedua ulama diatas atau bukan.
Menurut Ibnu Hazm, tidak ada keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan yang meriwayatkannya.
Semua hadits jika memenuhi syarat
keshahihannya adalah sama dalam memberikan faedahnya.8
D. Hadits Hasan
1.
Pengertian hadits Hasan
Hadis Hasan
adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hapalannya,
bersambung sanadnya, tidak mengandung ‘illat dan tidak syadz. Dari definisi di
atas menunjukkan bahwa hadis hasan itu sama dengan hadis shahih,
perbedaannya hanya pada tingkat kedlabithan perowinya berada di bawah hadis shahih.
Menurut Ibnu
Taimiyah, yang mula-mula mempopulerkan istilah
hadis hasan ialah
Abi Isa At Turmudzi atau lebih dikenal dengan Imam Turmudzi. Sebelumnya para ulama membagi
hadits hanya kepada dua kategori, yaitu
shahih dan dlaif.
Lahirnya hadis hasan
disebabkan ditemukannya adanya kriteria perowi yang kurang sempurna dalam
kedhabitannya. Artinya terdapat
perawi yang kualitas hafalannya di bawah kebanyakan para perawi yang shahih,
akan tetapi diatas
para perawi yang dha’if. Dengan
8 Abu Muhammad
Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam,
(Kairo : al-Ashimah, t.th), 119-137.
kata lain, tingkat
kedhabitannya menengah antara yang shahih dan
yang dha’if, padahal
pada kriteria-kriteria lainnya
terpenuhi dengan baik atau sempurna.9
2.
Persyaratan Hadis
Hasan
a.
Para perawi-nya adil.
b.
Ke-dhabit-an perawi-nya dibawah
perawi hadits shahih.
c.
Sanad-sanadnya bersambung.
d.
Tidak terdapat kejanggalan atau syadz, dan
e. Tidak mengandung ‘illat.
3.
Pembagian Hadis Hasan
a. Hasan li dzatih
Yang dimaksud dengan hadits hasan li dzatih ialah hadits hasan
dengan sendirinya, yakni hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits hasan
yang lima, yang mengacu pada definisi al Asqalani di atas.
b.
Hasan li gharih
Hadits hasan li ghairih ialah
hadits hasan bukan dengan sendirinya, artinya hadits yang menduduki kualitas
hasan karena dibantu oleh keterangan lain baik adanya syahid maupun muttabi’.
4.
Kehujjahan Hadis Hasan
Sebagaimana hadits shahih, menurut para ulama ahli
hadits, bahwa hadits hasan, baik hasan li dzatih
maupun hasan li ghairih, juga dapat diadikan hujjah
untuk menetapkan suatu kepastian
9 M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979), 335
hukum, yang harus diamalkan.10 Hanya
saja terdapat perbedaan pandangan
diantara mereka dalam soal penempatan rutbah atau urutannya, yang disebabkan
oleh kualitasnya masing-masing. Ada ulama yang tetap membedakan kualitas
kehujjahan baik antara shahih li datih
dan shahih li ghairih
dengan hasan li dzatih
dan hasan li ghairih.
E. Hadis Dlaif
1. Pengertian Hadis
Dlaif
Kata ضعيف menurut bahasa berarti
yang lemah sebagai
lawan kata dari
قوي (yang kuat). Sebagai
lawan kata dari shahih
kata dha’if juga berarti سقيم (yang sakit).
Maka sebutan hadits dha’if, secara bahasa berarti hadits yang lemah, yang sakit
atau yang tidak kuat.
Sedangkan pengertian hadis dlaif secara
istilah adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau
lebih dari syarat-syarat hadits Shahih atau hadits Hasan, atau hadis yang tidak
ada padanya sifat-sifat hadis
shahih dan hadis
hasan.11 Hadits Dhaif
merupakan hadits Mardud
yaitu hadits yang tidak diterima
oleh para ulama hadits untuk dijadikan dasar hukum.
2.
Pembagian Hadis Dlaif
Hadis dlaif terbagi menjadi beberapa macam,
yaitu :
a. Dlaif
disebabkan adanya kekurangan pada rawinya baik tentang keadilan maupun
hafalannya, sebagai berikut:
10 Jamal al-Din
al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdis Min Funun
Musthalah al- Hadis,(Beirut : Dar Al-Nafatis, 1987), 109
11 Ibn Al-Sholah, Ulum al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : al-
Muktabat al-Tijariah Musthafa
Ahmad al-Baz, 1993), 62.
1)
Hadis Maudlu’,
yaitu hadis yang dibuat dan diciptakan oleh seseorang yang kemudian disandarkan
kepada Rasulullah secara palsu dan dusta.12
2)
Hadits Matruk,
yang berarti hadits
yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja
dan perawi itu dituduh berdusta.
3)
Hadits Munkar,
yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
terpercaya/ jujur.13
4)
Hadits Mu’allal,
artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya
terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani bahwa hadis
Mu’allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata
ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma’lul (yang dicacati) dan
disebut Hadits Mu’tal (Hadits sakit atau cacat).
5)
Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang
kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang
perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan
kontradiksi dan tidak dapat dikompromikan.
6)
Hadits Maqlub,
yakni hadits yang terbalik yaitu hadits
yang diriwayatkan perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang
belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun
matan (isi).
12 Mahmud Abu Rayah, Adlwa’ ‘Ala
Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir : Dar al-Ma’arif,t.th), 119
13 Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Meotdologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 98
7)
Hadis Muharraf,
yaitu hadis yang terjadi perubahan huruf dan syakalnya.
8)
Hadis Mushahhaf,
yaitu hadis yang sudah berubah titik kata.
9)
Hadits Mubham
yaitu hadits yang perowinya tidak diketahui identitasnya.
10)
Hadits Mudraj,
yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
11)
Hadits Syadz,
Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang
terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari
perawi-perawi yang lain.
b.
Dlaif disebabkan sanadnya tidak bersambung
1)
Hadis Mu’allaq, yaitu hadis yang
digugurkan sanad pertama
(guru mukhorrij).
2)
Hadis Mursal,
yaitu hadis yang digugurkan sanad
terakhir (sahabat) atau nama sahabat tidak disebut.
3)
Hadis Mu’dlal, yaitu hadis yang digugurkan itu dua orang rawi atau lebih berturut-turut.
4)
Hadis Munqathi’,
yaitu hadis yang digugurkan 2 orang perowi atau lebih dan tidak
berturut-turut.
5)
Hadits Mudallas,
disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Hadis mudallas terbagi menjadi
2, yaitu :
(a)
Tadlis Isnad,
yaitu seorang perowi menerima hadis
dari orang yang semasa, tetapi tidak pernah bertemu langsung atau
bertemu langsung tetapi tidak menyebut namanya.
(b) Tadlis Syuyukh, yaitu seorang perowi menyebut
nama gurunya bukan dengan
namanya yang dikenal
khalayak umum, tetapi dengan
nama yang kurang
dikenal.
c.
Dha’if dari sudut sandaran matan-nya
1)
Hadis Mauquf,
yaitu hadis yang matanya disandarkan kepada sahabat.
2)
Hadis Maqthu’,
yaitu hadis yang matannya disandarkan kepada tabi’in.
3.
Kehujjahan Hadis
Dlaif
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama
mengenai hukum pengamalan hadis dlaif. Pertama, hadis dlaif tidak dapat diamalkan secara mutlak. Menurut
madzhab Imam Malik,
Syafi’i, Yahya bin Ma’in, Abdurrahman bin Mahdi, Bukhari, Muslim, Ibnu
Abdil Bar, Ibnu Hazm dan para imam ahli hadits lainnya, mereka tidak
membolehkan beramal dengan hadits dha’if secara mutlaq meskipun untuk fadhaa-ilul
a’mal.
Kedua, Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, hadis dlaif boleh diamalkan dengan
beberapa persyaratan yang sangat ketat,14 yaitu
:
a.
Hadits tersebut khusus
untuk fadhaa-ilul a’mal atau targhib dan tarhib, tidak boleh untuk akidah
atau ahkaam atau tafsir Qur- an
b.
Hadits tersebut tidak sangat dha’if apalagi hadits-hadits
maudhu’, munkar
dan hadits-hadits yang tidak jelas asalnya.
c. Hadits tersebut tidak
boleh diyakini sebagai sabda Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam dan tidak boleh
dimasyhurkan.
14
Jamal al-Din Al-Qasimy, Qawa’id Al-Tahdis,
119
d.
Hadits tersebut harus mempunyai dasar yang umum
dari hadits shahih.
e. Wajib memberikan bayan
(penjelasan) bahwa hadits tersebut dha’if saat menyampaikan atau membawakannya.
f. Dalam membawakannya
tidak boleh menggunakan lafadz- lafadz jazm
(yang menetapkan), seperti: ‘Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda’ atau ‘mengerjakan sesuatu’ atau ‘memerintahkan dan melarang’ dan
lain-lain yang menunjukkan ketetapan atau kepastian bahwa Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib
menggunakan lafadz tamridh (yaitu
lafadz yang tidak menunjukkan sebagai suatu ketetapan). Seperti: ‘Telah
diriwayatkan dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam’ dan yang serupa dengannya.
Pendapat ketiga, berpendapat boleh mengamalkan hadis
dlaif secara mutlak. Abu Daud dan Imam Ahmad berpendapat bahwa mengamalkan hadis dlaif lebih
disukai daripada berpedoman kepada
akal atau qiyas.15
F. Hadis Maudhu’
1. Pengertian Hadis
Maudhu’:
Hadis
maudhu’ adalah hadis yang dibuat-buat atau dicip- takan atau didustakan atas nama Nabi.16 Menurut Ahmad Amin hadis maudhu’ sudah ada sejak masa
Rasulullah. Dasarnya adalah munculnya hadis:
15 M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadis, ‘Ulumuhu wa Musthalahuh, (Beirut : Dar al-Fikr, 1979), 351
16
Mahmud Abu Rayah, Adlwa’ ‘Ala Sunnah
al-Muhammadiyah, 119
ابلخارى رواه .انلار من مقعده فليتبوأ متعمدا عيل كذب من “Barang siapa yang sengaja bedusta
atas namaku maka hendaklah
tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)
Ulama Hadis
lain berpendapat bahwa munculnya hadis maudhu’
adalah pada tahun
40 H, pada masa khalifah
Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pertikaian politik.
2.
Faktor Penyebab Munculnya Hadis Maudhu’
a. Pertentangan politik
antara Ali dan Muawiyah. Menurut Ibnu Abi al-Hadid
kelompok Syiah adalah
yang pertama kali membuat hadis maudhu’.
b. Usaha kaum zindiq,
yaitu golongan yang berusaha merusak Islam dari dalam, seperti dilakukan oleh
Abdul Karim Ibn al- Auja’yang mengaku telah
membuat 4000 hadis
palsu. Golongan ini membuat
hadis palsu dengan
cara membuat hadis
Tasyayyu (membangkitkan
fanatisme), Tashawwuf (membenci
dunia), hadis yang mengandung falsafah dan hikmah. Tujuannya adalah untuk
meruntuhkan kecerdasan umat Islam, merusak kepercayaan, akidah, dan amalan umat islam.
c. Perselisihan dalam
ilmu Kalam dengan
tujuan untuk memperkuat pandangan
kelompok masing-masing.
d.
Sikap fanatic terhadap suku atau bangsa (ashabiyah).
e. Menarik simpati kaum
awam. Mereka membuat kisah-kisah atau hikayat palsu untuk menarik minat para
pendengar. Contohnya: “Barangsiapa membaca la
ilaha illallah, maka Allah akan menjadikan tiap-tiap kalimatnya seekor burung, paruhnya dari emas, dan buahnya dari marjan”.
f. Menjilat kepada
penguasa, seperti yang dilakukan oleh Ghiyats bin Ibrahim pada masa
pemerintahan al-Mahdi. Dia
menambahkan perkataannya sendiri
dalam hadis Nabi hanya
untuk menyenangkan khalifah.17
3.
Usaha Penyelamatan dari hadis Maudhu’:
a. Menyusun kaidah
penelitian hadis, khususnya kaidah tentang
kesahihan sanadnya.
b. Menyusun kitab-kitab
yang memuat tentang hadis maudhu’ antara lain: al-Maudhu’ al-Kubra yang disusun oleh Abu al-Fajri.
4.
Cara Mengetahui Hadis Maudhu’:
a.
Adanya pengakuan dari pembuatnya
b. Maknanya rusak, dalam
arti bertentangan dengan al-Qur’an,
hadis mutawatir, dan hadis sahih.
c. Matannya menyebutkan
janji yang besar untuk perbuatan kecil.
d. Rawinya pendusta.
REFERENSI:
1.
M.’Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis,
‘Ulumuhu wa Musthalahuh,
(Beirut : Dar al-Fikr, 1979)
2.
Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah
al-Fikr fi Musthalahah Ahli
Al-Atsar, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1934),
3.
Fatkhurrohman, Ikhtisar
Mustholah Hadis, (Bandung : PT al- Ma’arif, 1974), 143
17
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Media Pratama, 1998), 191-193.
4.
Ibn Al-Sholah, Ulum
al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : al-Muktabat al-Tijariah
Musthafa Ahmad al-Baz, 1993).
5.
Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr
6.
Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdis Min Funun Musthalah al-Hadis,(Beirut : Dar
Al-Nafatis, 1987)
7.
An-Nawawi, At-Taqrib
li An-NawawiFann Ushul
al-Hadis, (Kairo
: Abd ar-rahman Muhammad, t.th)
8.
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Ihkam
fi
Ushul al-Ahkam, (Kairo :
al-Ashimah, t.th).
9.
Ibn Al-Sholah, Ulum
al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : al-Muktabat al-Tijariah
Musthafa Ahmad al-Baz, 1993), 62.
10.
Mahmud Abu Rayah, Adlwa’ ‘Ala Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir : Dar al-Ma’arif,t.th), 119
11.
Moh Zuhri, Hadis, Telaah
Historis dan Meotdologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), 98
12. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Media Pratama, 1998)
PERTANYAAN
1.
Jelaskan pengertian hadis sahih dan syarat-syaratnya!
2. Apa yang kamu ketahui
tentang hadis hasan? Apa per- bedaannya dengan hadis sahih?
3. Bagaimana pandangan
ulama terhadap kehujjahan hadis da’if? Jelaskan!
4. Sebutkan factor-faktor
yang mempengaruhi munculnya hadis maudhu’!v
Peta Konsep
Proses Penerimaan dan Penyampaian Hadis
(Tahammul dan ‘Ada al-Hadis)
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa mampu
mendeskripsikan proses penerimaan dan penyampaian hadis Nabi
saw.
A. Penerimaan dan
Penyampaian Periwayatan
1. Pengertian
Sebelum
berbicara lebih jauh tentang penerimaan dan penyebaran atau penyampaian hadis
terlebih dahulu akan diperkenalkan definisi atau pengertiannya. Penerimaan
dan penyampaian periwayatan hadis
dalam bahasa ahli
hadis disebut dengan tahammul
wa ada’ al-hadis. Tahammul secara bahasa berarti
membawa atau
memikul dengan berat.1 Sedangkan secara istilah tahammul adalah mengambil dan menerima hadis dari seorang syaikh dengan
metode tertentu dari
beberapa metode tahammul.2 Dalam tahammul harus dijelaskan bagaimana cara atau
metode penerimaan
hadis, karena metode
ini nanti sangat
signifikan dan akan berpengaruh dalam menentukan
validitas suatu hadis
apakah benar dari Rasul atau tidak.
Sedangkan
kata ada’ al-hadis berasal dari kata Adda yuaddi ta’diyatan wa adaan yang
berarti melaksanakan sesuatu pada waktunya, membayar pada waktunya, atau
menyampaikan kepadanya.Misalnya menjalankan shalat atau puasa pada waktunya
disebut ada’ sebagai antonim dari qadla’. Sedangkan pengertian ada’ secara istilah adalah meriwayatkan
hadis dan menyampaikannya kepada orang lain dengan menggunakan bentuk kata
tertentu.
Dalam ada’ harus disebutkan bagaimana ungkapan
atau bentuk kata yang digunakan menyampaikan hadis, karena ungkapan ada’ ini nanti menjadi obyek penelitian
bagi para peneliti untuk dinilai validitasnya.
Kegiatan tahammul dan ada’ al-hadis
adalah proses periwayatan hadis baik menerima atau menyampaikannya yang
dengan sengaja dilakukan oleh para periwayat secara ilmiah dengan menggunakan
teori dan metode tertentu demi terpeliharanya hadis, bukan proses yang
spontanitas yang tidak disengaja dan bukan tradisi semata.
1 Majma’
al-Lugah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wajiz,
(Mesir: Al-Hay’ah al- ’Ammah li Syu’un al-Muthabi’ al-’Amiriyah, 1998), 172
2 M. Ajjaj
al-Khatib, al-Mukhtashar al-Wajiz fi Ulum
al-Hadis,(Beirut : Muassasat al-Risalah, 1985), 87
2.
Syarat-Syarat Tahammul dan Ada’ al-Hadis
Yang
dimaksud adalah syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seseorang untuk layak melakukan kegiatan
tahammul dan ada’ al-hadis atau dalam istilah M. ‘Ajjaj al-Khatib disebut sebagai
kelayakan tahammul dan ada’ al-hadis.
a. Syarat tahammul al-hadis
Menurut
pendapat yang shahih, para ulama tidak mensyarat- kan secara ketat dalam
tahammul al-hadis sebagaimana persyarat- an ada’ al-hadis. Tahammul boleh dilakukan oleh siapa saja
asalkan sudah tamyiz, sehat akalnya dan terbebas dari berbagai faktor
yang dapat menghalangi penerimaan hadis dengan baik dan sem- purna3,
sekalipun dilakukan oleh non muslim dan belum
baligh.
Jumhur ulama
memperbolehkan anak kecil yang belum mukallaf
menerima hadis, asal sudah mumayyiz (kritis
dan paham berkomunikasi) sekalipun sebagian kecil ulama ada yang tidak
memperbolehkannya. Pendapat jumhur tentunya lebih kuat, karena para sahabat dan
tabi’in menerima periwayatan para sahabat yang masih kecil seperti Hasan,
Husein, ibnu Abbas dan lain-lainnya tanpa membedakan antara tahammul sebelum
baligh atau sesudahnya.4
Sementara
berkaitan dengan batas usia anak kecil untuk bisa dianggap mumayyiz
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Pendapat-pendapat tersebut adalah :
1) Minimal berusia
5 tahun, pendapat
jumhur ulama dan pendapat
al-Qadli ‘Iyadl serta Ibnu al-Shalah berdasarkan perkataan seorang
sahabat Mahmud bin al-Rabi’ r.a yang artinya
: Dari
3 Muhammad bin Shalih
Al-Utsamain, Ilmu Musthalah Al-Hadis, terj. Ahmad
S. Marzuqi (Yogyakarta : Media
Hidayah, 2008), 86
4 M. Ajjaj al-Khatib, al-Mukhtashar al-Wajiz, 88
Mahmud al-Rabi’ berkata : “Aku
ingat Nabi saw meludahkan sekali ludah di mukaku dari air timba, sedang aku
berusia lima tahun.” (HR. Al-Bukhari)
2) Telah berusia
15 tahun, karena
pada usia inilah
seorang baru mampu berpikir
kritis dan memiliki ingatan yang tajam, demikian pendapat Imam Ahmad Bin Hambal.
3) Sudah bisa membedakan
antara sapi dan keledai atau antara sapi dengan binatang lainnya, sekitar berusia
4 sampai dengan 5
tahun, demikian pendapat
Musa bin Harun al-Hammal dan Ibn
al-Maqarri.
4) Sudah mumayyiz (pandai berkomunikasi), dibuktikan adanya ketrampilan dalam berkomunikasi dan mampu menjawab
ketika ditanya sekalipun usianya di bawah 5 tahun. Jika sifat tamyiz itu belum
dimiliki maka belum dapat diterima tahammulnya sekalipun usianya lebih dari 5 tahun.
Pendapat inilah yang terkuat
dibanding pendapat-pendapat lainnya.5
Sekalipun anak
kecil yang mumayyiz
diperbolehkan taham- mul hadis,
tapi para ulama
berbeda pendapat tentang
usia terbaik dalam tahammul,
yakni menurut penduduk Syam, sebaiknya mulai tahammul berkisar usia 30 tahun,
sedang menurut pen- duduk Kuffah
berusia 20 tahun, menurut penduduk Basrah berusia 10 tahun dan menurut pendapat
yang lain, bersegera mendengar hadis lebih
baik, karena hadis telah terbukukan.6
b. Syarat Ada’ al-Hadis
Syarat untuk bisa melakukan
kegiatan ada’ al-hadis atau menyampaikan/meriwayatkan sebuah hadis lebih ketat
diban-
5
Majid Khon dkk, Ulumul Hadis,(Jakarta
: PSW UIN Jakarta, 2005), 59
6
Mahmud Tahhan, Ulumul Hadis, Studi
Kompleksitas Hadis Nabi, Terj.Zainul
Muttaqin, (Yogyakarta : Titian
Ilahi, 1997), 185
dingkan syarat tahammul
al-hadis. Hal ini disebabkan karena seorang
perowi harus benar-benar dapat mempertanggung- jawabkan keotentikan dan kebenaran hadis yang disampaikannya. Syarat-syarat yang
ditetapkan oleh para ulama untuk bisa melakukan ada’ al-hadis adalah Islam,
Baligh, adil dan dhabit.
1)
Beragama Islam.
Periwayatan seorang kafir tidak
dapat diterima secara ijma’ ulama. Memang tidak rasional jika dalam urusan
sumber agama Islam diperoleh dari seorang karir yang tidak beriman kepadanya.
Pemberitaan dari orang fasik saja harus diperiksa apalagi dari orang kafir.
(lihat : al-Hujurat : 6 ).
2)
Dewasa (mukallaf/balig dan aqil )
Balig menjadi persyaratan dalam
taklif atau mukallaf, maka tidak
diterima periwayatan seseorang yang belum mencapai usia mukallaf. Berdasar sabda Nabi saw :
عن احلسن ابلرصى عن ىلع ان رسول اهلل صىل اهلل عليه وسلم قال رفع القلم عن ثالثة
عن انلا ئم حيت يستيقظ
وعن الصيب حيت يشب وعن ملعتوه
حيت يعقل
) الرتمذي
أخرجه( Terangkat pena
dari 3 perkara
: orang tidur
sehingga bangun, anak kecil sehingga mimpi keluar air
sperma, dan orang gila sehingga ia sadar akalnya.” (HR. Turmudzi)
Seorang anak kecil yang belum
mencapai usia dewasa tidak dapat diterima periwayatannya, karena ditakutkan
bohong. Hal ini berbeda
dengan tahammul yang dilakukan anak kecil
diperbolehkan. Demikian juga periwayatan yang dilakukan oleh seorang
yang tak berakal, kurang akal, dan orang gila tidak dapat diterima, berdasarkan hadis
di atas dan ia tidak
mukallaf.
Adil adalah suatu sifat
yang melekat pada
jiwa seseorang yang melazimi taqwa dan menjaga
kehormatan dirinya (muru’ah). Sifat keadilan ini sebagai
indikatornya dapat dilihat dari kejujurannya, menjauhi dosa-dosa besar, tidak
melakukan dosa-dosa kecil secara
terus-menerus, tidak melakukan perbuatan
mubah yang mencederai kehormatan dirinya, seperti makan di jalanan,
kencing di jalan,
pergaulan dengan anak nakal dan berlebihan dalam bercanda.
4)
Ingatan Kuat (Dlabith)
Yang dimaksud dengan dlabith
adalah kemampuan seorang perowi dalam memahami dan mengingat apa yang ia dengar
ketika tahammul, masih ingat atau hapal pada saat menyampaikan periwayatannya
dengan hafalannya (dlabith shadr) dan terpelihara tulisannya dari kesalahan,
pergantian dan kekurangan (dlabith
kitab). Sebagai indikator kedlabithan seorang perowi dapat dilihat melalui penelitian
hadis-hadis yang ia riwayatkan, jika sesuai dengan
periwayatan para perowi lain yang dlabith sekalipun secara makna, berarti
ia dlabith dan tidak apa sedikit berbeda.
Jika banyak perbedaannya, bahkan sedikit persamaannya berarti ia tidak dlabith dan
hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah.7
B.
Metode Mempelajari Hadis (Tahammul wa Ada al-Hadis)
Metode mempelajari/menerima
hadis yang dipakai oleh para ulama itu ada delapan. Demikian
juga metode ada’ yang digunakan ada 8 macam yang menyertai
tahammul, karena seseorang yang menyampaikan periwayatan (ada’), harus
menjelaskan metode
7 M. Ajjaj
Al-Khatib, Al-Mukhtashar al-Wajiz fi Ulum
al-Hadis, (Beirut : Mu’assasat al-Risalah, 1985), 89-90
apa yang
digunakan ketika menerima
hadis. Metode-metode8 itu adalah:
1. As-Sima’
Metode as-Sima’ yaitu guru membaca hadis di depan para muridnya.
Bentuknya bisa membaca
hafalan, membaca dari kitab, tanyajawab dan dikte. Metode ini
merupakan metode yang paling tinggi, karena di sini antara guru dan murid
bertemu langsung (liqa’) dan
berhadapan langsung (musyafahah).
Bentuk ungkapan ada’ yang digunakan dalam metode ini adalah: sami’tu, dan
haddatsana.
2. Al-‘ardlu (Al-Qira’ah)
Metode Al-‘Ardlu, yaitu seorang murid membaca hadis di depan guru,
sedangkan guru mendengarkan bacaannya, baik murid itu membaca sendiri atau
mendengar murid lain yang membaca di hadapannya, baik bacaan dari hafalannya
atau dari tulisan (kitab). Dalam metode ini seorang guru dapat mengoreksi hadis
yang dibaca oleh muridnya. Dalam metode pengajaran metode al-qira’ah disebut
dengan metode sorogan. Hukum metode ini adalah sah, sedang tingkatannya ada
yang berpendapat sama dengan as-sima’, ada yang mengatakan lebih rendah dan ada pula yang berpendapat lebih tinggi daripada
as-sima’. Bentuk ungkapan ada’ yang dipakai dalam metode ini adalah akhbarana, qara’tu
‘ala fulanin atau
haddatsana qiraatan ‘alaihi.
Hukum periwayatan hadis
dengan menggunakan metode ini menurut jumhur ulama diperbolehkan..
3.
Al-Ijazah, yaitu pemberian ijin seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu demi satu. Istilah yang dipakai untuk ada’ adalah an-ba-ana.
8
Mahmud Tahhan, Ulumul Hadis, 186-187
4.
Al-Munawalah, yaitu seorang guru memberi sebuah atau
beberapa hadis tanpa menyuruh untuk meriwayatkannya. Metode munawalah ini
adakalanya disertai dengan
Ijazah dan adakalanya yang tidak
disertai dengan ijazah. Hukum
riwayat untuk macam pertama diperbolehkan, sementara untuk macam
kedua tidak diperbolehkan. Istilah yang dipakai
dalam penyampaian (ada’) adalah an-ba-ana.
5.
Al-Mukatabah, yaitu seorang guru menulis hadis untuk
sese- orang, hal ini mirip dengan metode ijazah.
Hukum riwayatnya diperbolehkan.Lafadz yang digunakan dalam penyampaian (ada’)
adalah “kataba ilayya Fulanun” atau “haddasana
kitabatan.”
6.
I’lam as-Syaikh, yaitu pemberian informasi guru kepada murid bahwa hadis dalam kitab tertentu
adalah hasil periwayatan yang diproleh dari seseorang tanpa menyebut namanya.
Hukum riwayatnya ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak
memperbolehkan.Lafadz penyampaiannya : “a’lamani
Syaikhi bikadza”
7. Al-Washiyah, yaitu guru mewasiatkan buku-buku hadis kepada muridnya
sebelum meninggal. Hukum riwayat metode ini ada yang berpendapat boleh ada yang
berpendapat tidak boleh, inilah pendapat yang benar. Lafadz penyampaiannya : “Ausha ilayya fulanun bikadza, atau haddasani fulanun
washiyatan.”
8.
Al-Wijadah, yaitu seseorang yang menemukan catatan
hadis seseorang tanpa ada rekomendasi untuk meriwayatkannya. Lafadz
penyampaiannya adalah “ wajadtu
bikhaththi fulanin atau qara’tu
bikhaththi fulanin.
Dari delapan metode di atas,
menurut jumhur metode yang tertinggi adalah
metode al-sima’, kemudian baru
al-qira’ah. Kedua
metode di atas merupakan metode
yang diutamakan karena merupakan bentuk periwayatan secara langsung (musyafahah). Metode ijazah, asal jelas hadis apa dan kepada
siapa ijazah itu diberikan dapat diterima. Metode al-kitabah
dan munawalah dapat diterima asal dibarengi ijazah. Sedangkan
metode 3 terakhir,
yaitu al-i’lam, al-washiyah dan al-wijadah
menurut pendapat yang
shahih tidak dapat diterima periwayatannya.
REFERENSI :
1. Majma’ al-Lugah
al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam al-Wajiz,
(Mesir: Al- Hay’ah al-’Ammah li Syu’un al-Muthabi’ al-’Amiriyah, 1998)
2. M. Ajjaj al-Khatib, al-Mukhtashar al-Wajiz
fi Ulum al-Hadis,(Beirut
: Muassasat al-Risalah, 1985)
3. Majid Khon dkk, Ulumul Hadis,(Jakarta : PSW UIN Jakarta,
2005)
4. Mahmud Tahhan, Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis Nabi,
Terj.Zainul Muttaqin, (Yogyakarta : Titian Ilahi, 1997)
5. Muhammad bin
Shalih Al-Utsamain, Ilmu Musthalah Al-Hadis, terj. Ahmad S. Marzuqi (Yogyakarta : Media Hidayah,
2008)
PERTANYAAN:
1.
Apa yang dimaksud
dengan tahammul dan ada’ al-hadis?
2.
Jelaskan perbedaan persyaratan dalam tahammul dan ada’ al- hadis?
3.
Jelaskan metode-metode yang digunakan para ulama
hadis dalam menerima periwayatan!
4.
Di antara metode-metode tersebut mana yang diterima
dan ditolak oleh ulama ? Jelaskan!
Peta Konsep
Ilmu al-Jarh wat-Ta’dil
Kompetensi Dasar :
Mahasiswa
mampu mendeskripsikan tentang pengertian, cara mengetahui dan tingkatan
keadilan dan kecacatan perowi
A. Pengertian Ilmu Jarh Wat-Ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan
darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke‘adilan seseorang.
Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat
menjatuhkan ke‘adilannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga
menyebabkan gugur riwayat- nya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak
periwayatan- nya. Macam-macam jarh (cacat)
dari perowi adalah :
1.
Bid’ah, melakukan tindakan tercela
2. Mukhalafah, menyalahi
periwayatan yang lebih tsiqoh
3.
Ghalath, banyak
keliru.
4.
Jahalatul Hal, tidak dikenal identitasnya
5.
Da’wathul Inqitha’, diduga
keras sanadnya tidak
bersambung
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan
sifat yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan
seorang yang ‘adil artinya kesak- siannya diterima; dan At-Ta’dil artinya
mensucikannya dan membersihkannya.
Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh
sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat
menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh,
berakal, dan kekuatan hafalan).
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang
mensucikannya, sehingga nampak keadilannya, dan diterima periwayatannya.
Dan atas
dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu
yang menerangkan tentang kualitas perowi dari segi kecacatan dan keadilannya
dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima
atau menolak riwayat
mereka.1
B. Urgensi Ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil
Para ulama
menganjurkan untuk melakukan jarh dan
ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang
terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :
1
M. Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, 260
Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada se- orang laki-laki : “(Dan)
itu seburuk-buruk saudara di tengah- tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah
binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi
Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya : “Adapun Abu
Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka
memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak
mempunyai harta” (HR. Muslim).Dua hadits di atas merupakan
dalil Al-Jarh dalam rangka nasihat dan kemaslahatan.
Adapun diperbolehkannya ta’dil, salah
satunya berdasarkan hadits:
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
: “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid
bin Walid, salah satu pedang
diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah
radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena
itu, para ulama membolehkan jarh dan
ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan
sebagaimana dibolehkan jarh dalam
persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan
mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
Faedah ilmu jarh wat-ta’dil ialah untuk menetapkan apakah periwayatan seoarang rawi itu dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi dijarh oleh para ahli sebagi rawi
yang cacat , maka periwayannya harus ditolak dan apabila seorang rawi dipuji
sebagai orang yang adil, niscaya
periwayatannya diterima, selama
syarat-syarat yang lain untuk menerima hadis dipenuhi.2
C. Cara Mengetahui
Kecacatan dan Keadilan Perawi
Keadilan seorang
rawi itu dapat diketahui dengan
salah satu dari dua ketetapan
berikut :
Pertama,
dengan kepopulerannya di kalangan para ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai
orang adil (bisy-syuhrah). Seperti terkenalnya sebagai
orang yang adil
dikalangan ahli ilmu bagi Anas bin Malik,
Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah
bin Al-Hajjaj, Asy-Syafi’iy, Ahmad dan lain sebagainya. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang
adil di kalangan ahli ilmu, maka
mereka tidak perlu lagi untuk diperbincangkan tentang keadilannya.
Kedua,
dengan pujian dari seorang yang adil (tazkiyah). Yaitu ditetapkan sebagi rawi
yang adil oleh orang yang adil, yang
semua rawi yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawi yang adil.
Penetapan
tentang kecacatan seoarng rawi juga dapat diterima
melalui dua jalan :
1.
Berdasarkan berita tentang ketenaran seorang rawi
dalam keaibannya. Seoarang rawi
yang sudah dikenal
sebagai orang yang fasik
atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi
dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan kecacatannya.
2.
Berdasarkan pentarjihan dari seorang yang adil yang
telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian ketetapan
2 Fatchur Rahman, Ikhtshar Mushthalhu’liHadis,( Bandung:
PT Al-Ma’arif, 1974), 307-308
yang dipegang
oleh para Muhadditsin. Sedang menurut para
fuqoha sekurang-kurangnya harus ditarjih oleh dua orang laki-laki yang adil.
D. Tingkatan-Tingkatan
Al-Jarh Wat-Ta’dil
NO TINGKATAN LAFADZ ARTI 1. Tingkatan yang tertinggi dengan menggunakan af’alut tafdhil, menunjukkan
sangat tsiqah أوثق انلاس أثبت انلاس حفظا و عدل إيله املنتيه ف اثلبت ثقة فوق
اثلقة Orang yang paling tsiqah Orang
yang paling mantap hafalan dan keadilannya Orang
yang paling top keteguhan hati dan lidahnya Orang yang tsiqah
me- lebihi orang yang tsiqah. 2. Memperkuat kestiqahan perowi dengan membubuhi satu sifat dari
sifat-sifat yang menunjukkan keadilan dan kedhabitannya. ثبت ثت, ثقة قة, ثبت ثقة, ضابط متقن Orang yang teguh lagi teguh, orang yang tsiqah lagi tsiqah, orang yang
teguh lagi stiqah, orang yang kuat ingatan lagi menyakinkan ilmunya. 3. Menunjuk keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti kuat
ingatan ثبت, ثقة, ضابط, متقن
Para perawi
yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi
keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka
ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada
pula yang sering lupa dan salah
padahal mereka orang
yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta
dalam hadits. Oleh karena
itu, para ulama’ menetapkan tingkatan jarh dan
ta’dil, dan lafadh- lafadh yang
menunjukkan pada setiap
tingkatan. Tingkatan ta’dil
ada enam tingkatan, dengan perincian sebagai berikut :
4. |
Menunjuk
keadilan |
صدوق مأمون ل بأس به |
Orang
yang sangat |
|
dan
kedlabitan tetapi |
jujur |
|
|
dengan
lafad yang tidak |
Orang
yang dapat |
|
|
mengandung
arti kuat |
memegang
amanat |
|
|
ingatan dan
adil (Tsiqah) |
Orang
yang tidak cacat. |
|
5. |
Menunjuk kejujuran rawi, tetapi tidak terfaham adanya kedlabitan. |
مله الصدق جيد
احلديث مقارب احلديث |
Orang
yang berstatus jujur Orang yang baik hadisnya |
|
|
|
Orang
yang hadisnya |
|
|
|
berdekatan
dengan |
|
|
|
hadis
orang lain yang |
|
|
|
tsiqoh. |
6. |
Menunjuk arti
mendekati cacat. |
صدوق إن شا
ء اهلل فالن صويلح |
Orang
yang jujur insyaAllah Orang
yang sedikit |
|
|
|
kesalehannya. |
NO TINGKATAN LAFADZ ARTI 1. Tingkatan yang tertinggi dengan menggunakan af’alut tafdhil,
menunjukkan sangat cacat أوضع انلاس أكذب انلاس إيله املنتيه ف
الوضع Orang yang paling dusta Orang yang paling bohong Orang yang paling top kebohongannya 2. Menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan lafadz
berbentuk sighat muballaghah كذاب, وضاع, دجال Orang yang pembohong, orang yang pendusta,
orang yang penipu 3. Menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong dsbnya. فالن متهم بالوضع فالن ساقط فالن مرتوك احلديث Orang yang dituduh bohong Orang yang gugur Orang yang ditinggalkan hadisnya.
Sedangkan
untuk tingkatan jarh juga ada enam tingkatan, dengan perincian sebagai berikut
:
Menunjuk kepada bersangatan lemahnya. |
مطرح احلديث فالن ضعيف فالن مردود
احلديث |
Orang yang dilem- parkan
hadisnya Orang yang lemah. Orang yang ditolak hadisnya. |
|
5. |
Menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan
rawi mengenai hafalannya. |
فالن ليتج به فالن جمهول فالن منكر احلديث |
Orang yang tidak dapat dibuat hujjah hadisnya. Orang yang tidak dikenal identitasnya. Orang yang munkar hadisnya. |
6. |
Menyifati rawi dengan
sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya. |
ضعف حديثه فالن لني |
Orang yang didlaifkan hadisnya Orang yang lunak |
E. Perlawanan antara Jahr
dan Ta’dil.
Apabila
terdapat ta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian
ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama yang lain men-tarjih-kan dalam hal ini
terdapat empat pendapat:
1. Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’ad- dil-nya lebih banyak daripada
jarhnya. Sebab bagi jarih
tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’addil dan
kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang diberitakan menurut
lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak
diketahui oleh si mu’addil. Pendapat ini
dipegang oleh jumhuru’l-ulama.
2.
Ta’dil harus didahulukan
daripada jarh. Karena si
jarih dalam meng-aibkan si
rawi kurang tepat,
dikarenakan sebab yang digunakan untuk meng-aibkan itu bukan
sebab yang mencacatkan yang sebenarnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang
mu’addil, sudah barang
tentu tidak serampangan menta’dilkan seseorang selama
tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.
3.
Bila jumlahmu’addil-nya lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan
ta’dil. Sebab jumlah yang banyak itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan
mengharuskan untuk mengamalkan kabar-kabar mereka.
4. Masih tetap dalam
ke-ta’arudlan-nya selama belum
ditemukan yang
me-rajih-kannya. Pengarang
at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya
khilaf ini, ialah jumlah mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya
seimbang antara mu’addil dan jarih-
nya, maka mendahulukan jarh itu sudah merupakan putusan ijma’.
F. Kitab-Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan
karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah
berkembang sekitar
abad ketiga dan
keempat, dan hasil
pentajrihan maupun
penta’dilan para kritikus hadis sudah dikumpulkan. Pelopor pertama
penyusunan ilmu ini
dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal. Sesudah
itu maka terjadilah penyusunan karya-karya tentang jarh wat ta’dil menjadi semakin berkembang.
Para penyusun
mempunyai metode yang berlainan dalam menyusun
kitab jarh wat ta’dil ini. Sebagian
di antara mereka hanya menyebutkan orang-orang yang dla’if saja dalam karyanya. Sebagian lagi menyebutkan orang-orang yang tsiqaat saja dan sebagian lagi menggabungkan antara yang dla’if
dan yang tsiqaat. Sebagian besar metode yang dipakai
oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan
huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang
sampai kepada mereka:
1.
Kitab Ma’rifatur-Rijaal,
karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
2.
Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir
dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir,
karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di
India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh
Al- Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir.
3.
Kitab Ats-Tsiqaat,
karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin
Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.
4.
Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip.
5.
Kitaab Adl-Dlu’afaa’
wal-Kadzdzabuun wal-Matrukuun min- Ashhaabil-Hadiits, karya Abu ‘Utsman
Sa’id bin ‘Amr Al- Bardza’I (wafat tahun 292
H).
6.
Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Imam
Shmad bin Ali An-Nasa’I (wafat tahun 303 H), telah dicetak di India bersama kitab Adl-Dlu’afaa’ karya Imam Bukhari.
7.
Kitab Adl-Dlu’afaa’,
karya Abu Ja’far Muhammad bin ‘Amr binMusa bin Hammad Al-‘Uqaily (wafat tahun
322 H), manuskrip.
8.
Kitab Ma’rifatul-Majruhiin minal-Muhadditsiin, karya Muhammad bin Ahmad bin Hibban Al-Busti (wafat tahun
354 H), manuskrip; dan karyanya Kitab Ats-Tsiqaat,
juga manuskrip.
9.
Kitab At-Tarikhul-Kabiir, karya
Imam Bukhari (wafat
tahun 256
H) mencakup atas 12315c biografi
sebagaimana dalam naskah
yang dicetak dengan nomor.
10.
Kitab Al-Jarh wat-Ta’dil, karya
Abdurrahman bin Abi Hatim
Ar-Razi (wafat tahun
327 H) dan ia termasuk
di antara yang paling besar dari kitab-kitab tentang Al-Jarh wat-Ta’dil yang sampai pada kita, dan paling banyak faidahnya;
dimana ia
mencakup banyak perkataan para
imam Al-Jarh wat-Ta’dil terkait dengan para perawi hadits. Kitab ini merupakan
ringkasan dari upaya para pendahulu
yang mengerti ilmu ini
mengenai para perawi hadits secara
umum.
11.
Kitab Rijaal
Al-Bukhari wa Muslim, karya Abu Abdillah Al- hakim An-Naisabury (wafat
tahun 404 H); telah dicetak.
12.
Kitab Al-Jami’i
baina Rijalish-Shahihain, karya Abul-Fadll Muhammad bin Thahir Al-Maqdisy
(wafat tahun 507 H); dicetak.
13.
Kitab Al-Kamal
fi Asmaa-ir-Rijaal, karya
Al-Hafidh Abdul Ghani bin Abdil-Wahid Al-Maqdisy Al-Jumma’ily (wafat
tahun 600 H), termasuk karya tertua yang sampai pada kita yang secara khusus
membahas perawi kutub sittah. Dan sejumlah ulama’ telah melakukan perbaikan dan
peringkasan atasnya.
14.
Kitab Tahdzibul-Kamal, karya Al-Hafidh Al-Hajjaj Yusuf bin
Az-Zaki Al-Mizzi (wafat tahun 742 H).
15.
Kitab Tadzkiratul-Huffadh,
karya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H).
16.
Kitab Tahdzibut-Tahdzib,
karya Adz-Dzahabi juga.
17.
Kitab Al-Kasyif
fii Ma’rifat man Lahu Riwayat
fil-Kutubis-Sittah, karya Adz-Dzahabi juga.
18.
Kitab Tahdzibut-Tahdzib,
karya Al-hafidh Ibnu Hajar Al- ‘Atsqalani (wafat tahun 852 H), yang merupakan
ringkasan dan perbaikan dari Tahdzibul-Kamal karya Al-Hafidh Al- Mizzi; dan dia
adalah kitab yang paling menonjol yang dicetak secara terus-menerus. Di
dalamnya Ibnu hajar telah meringkas hal-hal yang perlu diringkas, dan menambah
hal- hal yang terlewatkan di kitab asli, dan kitab Kitab Tahdzibut- Tahdzib
adalah kitab paling baik dan paling detil.
REFERENSI
1.
Subhi Salih, ‘Ulum al-Hadis
wa Mustalahuhu, Beirut:
Dar ‘Ilmi li al-Malayini, 1988.
2. Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama,
1998
3.
Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Metdologis,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
4.
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1992.
5.
M. Syuhudi Ismail, Metodolgi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
6.
Fathurrahman, Ikhtisar
Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991
7.
Ibn Salah, ’Ulum
al-Hadis, Madinah: al-Maktabah al-Madinah al-Munawwarah, t.th.
8.
Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
PERTANYAAN :
1.
Apa yang dimaksud
dengan ilmu jarh wat ta’dil?
2. Bagaimana kita
mengetahui keadilan dan kecacatan seorang
perowi?
3. Bagaimana bila terjadi perlawanan antara jarh dan ta’dil?
4.
Sebutkan 5 kitab yang membahas tentang jarh wat ta’dil!
Peta Konsep
Ilmu Takhrij Hadis
Kompetensi dasar:
Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian, tujuan, dan
langkah-langkah dalam melakukan takhrij hadis.
Pengantar:
Hadis yang
dapat dijadikan sebagai sumber ajaran Islam adalah hadis yang sahih
atau hasan. Hadis
yang terdapat di kitab-
kitab selain hadis perlu diteliti kelengkapan unsur-unsurnya hingga validitas
kesahihannya. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan
dalam menetapkan hadis sebagai dalil.
A. Pengertian Takhrij al-Hadits
Ada tiga istilah yang berkaitan erat dengan
takhrij, yaitu takhrij (ختريج), ikhraj (إخراج), dan istikhraj (إستخراج). Takhrij berasal dari kata kharraja (ّرج خ) yang berarti
tampak atau jelas.
Sedangkan menurut Mahmud
al-Thahhan, secara etimologis, takhrij berarti berkumpulnya dua persoalan dalam
satu hal. Selanjutnya ia menjelaskan bahwa ada tiga pengertian takhrij, yaitu اإلستنباط
(mengeluarkan), اتلدريب (melatih atau
membiasakan), dan اتلوجيه
(mengarahkan).
Sedangkan menurut ulama ahli hadits, kata takhrij
mempunyai beberapa arti, yaitu:
1. Kata takhrij (ختريج) sama dengan kata ikhraj yang
berarti menampakkan hadits kepada
orang lain dengan
menyebutkan sumbernya. Misalnya, hadits ini dikeluarkan oleh al-Bukhari atau
ditakhrij oleh al-Bukhari. Artinya, ia meriwayatkannya dan menyebutkan tempat dikeluarkannya secara
independen.
2. Takhrij kadang-kadang
digunakan untuk arti mengeluarkan
hadits dan meriwayatkannya.
3. Takhrij terkadang juga
disebut dilalah, artinya petunjuk sumber-sumber asli hadits dan mengacu
kepadanya dengan menyebutkan penyusun yang pernah meriwayatkannya.
Secara
terminologis, takhrij berarti petunjuk jalan ke tempat/ letak suatu hadits
(menyebut sejumlah buku yang di dalamnya terdapat hadits itu) pada sumber-
sumbernya yang orisinal berikut sanadnya, dan menjelaskan martabatnya jika diperlukan.
B.
Latar Belakang Munculnya Ilmu Takhrij al-Hadits
Mahmud al-Thahhan mengatakan bahwa pada
mulanya ilmu takhrij al-hadits tidak dibutuhkan oleh ulama dan peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadits sangat luas dan mantap. Lagi pula, hubungan para ulama dengan
sumber hadits aslinya
pada waktu itu sangat dekat
dan melekat, sehingga
ketika mereka hendak
menjelaskan validitas suatu
hadits, mereka cukup menjelaskan tempat
atau sumbernya dalam
berbagai kitab hadits. Mereka mengetahui cara-cara
kitab sumber hadits
itu ditulis, sehingga dengan potensi
dan kemampuan yang dimiliki mereka tidak mengalami
kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber dalam rangka mengemukakan suatu hadits. Apabila dibacakan
kepada mereka suatu
hadits yang bukan
dari kitab hadits,
maka dengan mudah
mereka menjelaskan sumber
aslinya. Beberapa
abad kemudian, para
ulama hadits merasa
kesulitan untuk mengetahui hadits
dari sumber aslinya, terutama setelah berkembang karya-karya besar di bidang
Syari’ah yang banyak menggunakan hadits sebagai
dasar ketetapan hukum,
begitu juga dengan ilmu-ilmu yang lain seperti
Tafsir, Sejarah, dan lainnya. Keadaan ini menjadi latar belakang timbulnya keinginan para ulama untuk melakukan takhrij. Upaya yang mereka lakukan adalah dengan menjelaskan atau menunjukkan hadits
kepada sumber aslinya,
menjelaskan metodenya, dan menentukan
kualitas hadits sesuai dengan kedudukannya.
Hasil jerih
payah para ulama itu
memunculkan kitab- kitab takhrij, di antaranya yang terkenal
adalah Fawaid al- Muntakhabah al-Shahah karya Abu Qasim al-Husaini, Takhrij
al-Fawaid al-Muntakhabah al-Shahah wa al-Gharaib karya Abu Qasim al-Mahrawani.
C.
Tujuan dan Manfaat Takhrij al-Hadits
1.
Untuk mengetahui asal-usul riwayat hadits yang diteliti
2.
Untuk mengetahui seluruh
riwayat bagi hadits
yang diteliti.
3.
Untuk mengetahui ada atau tidaknya
syahid atau muttabi’
pada sanad yang diteliti.
4.
Adanya syahid dan atau muttabi’ yang kuat dapat
memperkuat
sanad yang diteliti.
D. Proses dan Metode
Takhrij al-Hadits
1.
Proses Takhrij Hadis
Mentakhrij hadis berarti melakukan tiga
hal, yaitu:
a. Menelusuri di Kitab mana
hadis yang diteliti berada. Tahap ini berarti menemukan kitab di mana hadis
tersebut berada dan berapa jalur periwayatannya.
b. Membuat Bagan Sanad
Periwayat Hadis. Tahap ini dimulai dengan menemukan para periwayat hadis itu
sendiri dengan rangkaian silsilah sandnya.
c. Memberikan penilaian
kualitas hadis. Tahap ini dilakukan dengan
memeriksa persambungan sand dan reputasi para periwayat, sehigga diketahui apakah
hadis itu sahih
atau tidak.
2.
Syarat Hadis yang
ditakhrij
Hadis yang diteliti harus diambil atau ditakhrij
dari sumber-
sumber asli hadis yaitu:
a. Kitab-kitab hadis yang
dihimpun sendiri oleh pengarangnya dan lengkap sanadnya sampai kepada Rasul,
seperti: kutub as- sittah, Muwatta’, Musnad Ahmad, dsb.
b.
Kitab-kitab hadis pengikut kitab hadis pokok (no.
1), seperti: kitab al-Jami’u Baina
Sahihain karya al-Humaidi, Tahzib as-
Sunan
Abi Dawud karya
al-Munziry, kitab Tuhfatul asyraf bi
Ma’rifatil Atraf karya al-Mazi.
c. Kitab-kitab selain
hadis, seperti kitab tafsir, fiqh, dan sejarah yang didukung hadis, dengan
syarat hadis tersebut lengkap sanadnya.
3.
Metode-Metode Takhrij
Mengenai cara-cara mentakhrij
hadits, al-Mahdi dan al- Thahhan mengemukakan lima metode takhrij sebagai
berikut 1:
a. Takhrij melalui
periwayat pertama (al-rawi al-a’la/sahabat) Takhrij dengan metode ini dapat
dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui secara pasti perawi pertamanya dari
kalangan Sahabat. Langkah pertama dari metode ini adalah mengenal nama perawi
pertama dari hadits yang akan ditakhrij.
Langkah berikutnya adalah mencari nama perawi yang diinginkan dari kitab-kitab al-Athraf atau Musnad.
Bila nama perawi pertama
yang dicari telah
ditemukan, kemudian dicari
hadits yang diinginkan di antara hadits-hadits yang tertera di bawah nama
perawi tersebut. Bila
sudah ditemukan, maka akan
diketahui ulama hadits yang meriwayatkannya. Kitab yang membantu untuk kegiatan
takhrij berdasarkan metode ini adalah
kitab-kitab al-Athraf dan Musnad. Al-Athraf adalah himpunan hadits yang
berasal dari kitab induknya di mana
yang dicantumkan hanyalah bagian atau potongan hadits dari setiap hadits yang diriwayatkan oleh Sahabat atau tabi’in. Musnad adalah kitab
hadits yang disusun
berdasarkan nama-nama
Sahabat yang meriwayatkannya. Cara penyusunan
1 Mahmud al-Thohhan, Dasar-Dasar Ilmu
Takhrij
dan
Studi
Sanad,
(Semarang : Dina Utama, 1983),
83
nama-nama Sahabat dalam kitab
ini tidak sama, ada yang disusun secara alpabet
dan ada juga yang disusun
berdasarkan waktu masuk Islam atau keutamaan Sahabat. Di antara
kitab- kitab Musnad tersebut adalah kitab Musnad karya Imam Ahmad
ibn Hanbal, karya Abu Bakr ‘Abdullah ibn al-Zubair
al-Humaidi, dan karya Abu Daud al-Tayalisi.
Keunggulan metode ini adalah
mudah dan cepat menemukan sahabat yang meriwayatkan hadis karena sistematikanya
berdasarkan alfabetis huruf hijaiyah. Sedangkan kekurangan- nya adalah membutuhkan
waktu yang lama untuk menemukan hadis yang dicari jika sahabat tersebut banyak
meriwayatkan hadis.
b.
Takhrij melalui Lafadz pertama Matan Hadits
Penggunaan metode didasarkan atas lafadz pertama
matan hadits. Melalui metode ini, pentakhrij terlebih dahulu menghimpun lafadz
pertama hadits berdasarkan huruf-huruf hijaiyah. Setelah pentakhrij mengetahui
lafadz pertama yang terletak dalam hadits
tersebut, selanjutnya ia mencari lafadz
itu dalam kitab-kitab takhrij yang disusun sesuai dengan metode ini berdasarkan
huruf pertama, huruf kedua dan seterusnya. Langkah-langkah pencarian nya pada
Contoh, hadits yang berbunyi منا
فليس غشانا من adalah : pertama, karena lafadz pertamanya
adalah من , maka
pentakhrij harus mencarinya pada bab mim (م). Langkah kedua mencari huruf nun (ن) setelah
mim (م) tersebut. Ketiga,
mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu ghain (غ), dan demikian seterusnya.
Kitab-kitab yang dapat
digunakan untuk mentakhrij dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami’
al-Kabir karya Imam Suyuthi, al-Jami’ al-Azhar karya al-Manawi, al-Jami’ al-Shaghir
min Hadits al-Basyir al-Nazhir
karya Jalaluddin al-Suyuthi. Dalam kitab
al-Jami’ al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nazhir, Jalaluddin
al-Suyuthi menghimpun dan menyusun hadits- hadits yang diatur berdasarkan urutaan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif, ba’, ta’, dan seterusnya.
Keunggulan dari metode ini
adalah: a. meskipun tidak hapal
keseluruhan matan hadis, dengan lafal pertama saja dapat dengan cepat menemukan
hadis yang dicari; b. Akan ditemukan hadis lain yang tidak
menjadi objek pencarian dan mungkin dibutuhkan.
Sedangkan Kekurangan metode ini
adalah: 1.jika lafal yang dianggap awal hadis bukan awal hadis, maka hadis sulit
ditemukan; 2. jika terjadi penggantian lafal yang diucapkan Rasul, maka hadis
juga sulit untuk ditemukan.
c.
Takhrij melalui penggalan kata-kata yang tidak banyak
diungkap dalam lisan
Menurut Mahmud al-Thahhan,
mentakhrij hadits dengan metode ini dapat menggunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits
al-Nabawi karya A.J. Wensinck yang diter- jemahkan oleh Muhammd Fuad
‘Abd al-Baqi. Kitab
ini merujuk kepada
kitab-kitab yang menjadi sumber pokok hadits, yaitu Kutub al-Sittah,
al-Muwaththa’, Musnad Imam Ahmad, dan Sunan al-Darimi.
Cara penggunaan kitab al-Mu’jam
di atas dapat dilihat pada jilid 7 bagian permulaan. Di sana akan diperoleh
penjelasan tentang bagaimana menggunakan kitab ini secara
mudah. Dua hal penting yang
perlu dijelaskan di sini adalah pemberian kode nama yang dijadikan sumber rujukan, misalnya
مم untuk Ahmad, م untuk Turmuzhi, مم untuk Ibn Majjah, مم untuk
Darimi; dan penjelasan tentang
kitab atau bab dan halaman kitab yang dirujuk,
misalnya Musnad Ahmad,
nomor setelah rumus/kode
terdapat dua bentuk: nomor kecil menunjukkan jilid dan nomor besar menunjukkan halaman
dari kitab yang dimaksud.
Langkah-langkahnya penggunaan metode ini
adalah :
1)
Kita hendaknya mencari kata-kata tertentu dalam
hadis yang akan kita takhrij, namun kata-kata ini haruslah merupakan kata yang
berupa isim dan fiil, dan tidak bisa mentakhrijnya dengan kata huruf (seperti
kata sambung).
2)
Dalam mencari kata pada hadis yang akan ditakhrij,
hen- daknya dicari kata yang paling asing (jarang digunakan). Karena semakin
asing kata tersebut, maka proses pentakhrijannya semakin mudah.
3)
Setelah kita dapatkan kata tersebut, maka langkah selanjutnya kita perlu menemukan kata dasar dari
kata yang akan kita
pergunakan, terutama bila kata tersebut bukan merupakan kata dasar. Demikian
juga dengan isimnya, perlu kita temukan
bentuk mufrad dan asal katanya.
4)
Setelah kita mengetahui kata dasarnya, maka setelah
itu kita merujuk ke kitab takhrij
yang menggunakan metode ini. Kitab yang paling masyhur
adalah kitab : Al-mu’jam al- Mufahras li alfadh al-hadis an-Nabawy.
5)
Jadi, kita tinggal
merujuk pada keterangan yang diberikan oleh
kitab mu’jam tersebut dalam kitab-kitab hadis
induk yang ditunjukkan.
Contoh :
Kita ingin melacak hadis :
نلفسه يب
ما ألخيه يب
حيت أحدكم
يؤمن ل Setelah dicari melalui kata
yuhibbu, kita cari
dengan menggunakan kata habba
pada mu’jam, jilid 1, maka kita akan mendapatkan petunjuk sebagaimana berikut :
حيت يب ألخيه...
م إيمان 71
٢,7 خ إيمان 7
, ت قيامة 59
, ن إيمان 19
,٣٣ ,جه مقدمة 9
جنائز 1
, ذي إستئذان 5
الرقاق 9٢ ,
حم 9:٢,1:
89٢78,٢,٢7٢51,٢6,٠٢:176,٣
Artinya hadis di atas
diriwayatkan oleh
1)
Imam Muslim dalam kitab al-Iman, hadis no 71 dan 72
2)
Imam Bukhori dalam kitab al-Iman, pada bab no 7
(dalam kitab al-Iman).
3)
Imam Turmudzi dalam kitab qiyamah, pada bab no 59
4)
Imam Nasa’i dalam kitab al-iman, bab no 19 dan no
33. Adapun tanda dua bintang (**), yang dimaksud hadis tersebut diulang pada
bab tersebut.
5)
Imam Ibnu Majah
dalam muqoddimah bab no 9, dan dalam kitab Janaiz bab no 1.
6)
Imam Darimi dalam sunan darimi dalam kitab
Isti’dzan bab no 5 dan dalam kitab al-riqaq, bab no 29
7)
Imam
Ahmad dalam musnad
Ahmad ibnu Hanbal,
juz 1 halaman 89. Juga dalam juz III, halaman 176, 206,251,272,278,289.
Setelah itu baru kita melacak
hadis tersebut pada kitab yang ditunjuk, maka disana kita akan mendapatkan
hadis tersebut secara lengkap
baik sanad maupun
matannya.
Kelebihan metode ini di antaranya adalah :
1)
Mempercepat pencarian hadits;
2)
Membatasi hadits-haditsnya pada
kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz’,
bab, dan halaman;
3)
Memungkinkan pencarian hadits
melalui kata apa
saja yang terdapat dalam
matan hadits.
Sedangkan kekurangannya adalah :
a. pentakhrij harus
memiliki kemampuan berbahasa Arab beserta perangkat-perangkat ilmunya, karena
metode ini menuntut untuk mengembalikan kata kuncinya kepada kata dasar;
b. terkadang suatu
hadits tidak dapat
ditemukan dengan satu kata kunci, sehingga pentakhrij
harus mencarinya dengan menggunakan
kata-kata yang lain.
d.
Takhrij berdasarkan topik hadits
Seorang pentakhrij boleh saja
tidak terikat dengan bunyi atau
lafadz matan hadits yang ditakhrijnya, tetapi berupaya memahami melalu
topiknya. Upaya penelusurannya memerlukan kitab atau kamus yang dapat
memberikan penjelasan riwayat
hadits melalui topik
yang telah ditentukan. Di antara kitab yang
dapat membantu kegiatan takhrij dengan
metode ini adalah Miftah Kunuz al-Sunnah, al-Jawami’ al- Shahih, al-Mustadrak ‘ala Shahihain, Jam’u al-Fawaid min Jam’i
al-Ushul wa Majma’
al-Zawaid.
Keunggulan metode ini di antaranya adalah:
1)
Metode ini mendidik ketajaman pemahaman terhadap
hadits pada diri pentakhrij;
2)
Metode ini dapat memperkenalkan pentakhrij dengan
hadits-hadits lain yang senada dengan hadits yang
dicari.
Sedangkan kelemahannya adalah:
1)
Terkadang kandungan hadits itu sulit disimpulkan
oleh pentakhrij sehingga tidak dapat ditentukan temanya. Akibatnya ia tidak
mungkin menggunakan metode
ini, apa- lagi kalau
topik yang dikandung hadits itu lebih dari satu;
2)
Terkadang pemahaman pentakhrij tidak sesuai dengan
pemahamaan penyusun kitab, karena penyusun kitab meletakkan suatu
hadits pada topik
yang tidak diduga
oleh pentakhrij.
e.
Takhrij berdasarkan status hadits
Melalui kitab-kitab tertentu,
para ulama berupaya menyusun hadits-hadits berdasarkan statusnya, seperti
hadits qudsi, masyhur, mursal, dan lain-lain. Kelebihan metode ini dapat
memudahkan proses takhrij, karena hadits-hadits yang diperli- hatkan
berdasarkan statusnya jumlahnya sangat sedikit dan tidak rumit. Meskipun
demikian, kekurangannya tetap ada yaitu terbatasnya kitab-kitab yang memuat
hadits menurut statusnya. Di antara kitab yang disusun menurut metode ini
adalah: al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karya Suyuthi,
yang memuat hadits-hadits mutawatir; al- Ittihafath al-Saniah fi al-Ahadits
al-Qudsiyah karya al-Madani yang memuat hadits-hadits qudsi; al-Maqashid
al-Hasanah karya Sakhawi yang memuat hadits-hadits populer; al-Marasil karya Abu Daud yang memuat hadits-hadits mursal; Tanzih al- Syari’ah al-Marfu’ah ‘an al-Akhbar
al-Syani’ah al-Maudlu’ah karya Ibn Iraq yang memuat hadits-hadits maudlu’
E. Kitab-Kitab Tahkhrij Hadis:
Kitab
takhrij hadis yang pertama muncul adalah kitab yang dikarang oleh Katib
al-Baghdadi (463 H). Kitab yang muncul selanjutnya adalah:
1.
Takhrij Ahadis al-Muhazzab, karya Muhammad
Ibn Musa al-
Hazimi as-Syafi’i.
2.
Takhrij Hadis Tafsir
al-Kasysyaf, karya
Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah Ibn Usuf al-Zaila’iy (w. 762 H)/
3.
Takhrij Ahadis al-Baidhawy, karya Muhammad Ibn Abdurrauf dan Muhammad
Humam Zadah (w. 1185 H).
4.
Takhrij Ahadis as-Syifa, karya
as-Sayuti.
5.
Takhrij Ahadis Ihya’, karya Zainuddin al-Iraqi.
REFERENSI:
1.
Mahmud al-Thohhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad, (Semarang : Dina Utama, 1983), 83
2.
Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama,
1998
3.
Moh Zuhri, Hadis, Telaah Historis dan Metdologis,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
4.
Muhammad Mustafa Azami, Metodologi Kritik Hadis, Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1992.
5.
M. Syuhudi Ismail, Metodolgi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
6.
Fathurrahman, Ikhtisar
Mustalahul Hadis, Bandung: Al-Ma’arif, 1991
7.
Muhammad ’Ajaj al-Katib, ’as-Sunnah qabla at-Tadwin, Beirut: Dar al-Fikr, 1971
8.
Ibn Salah, ’Ulum
al-Hadis, Madinah: al-Maktabah al-Madinah al-Munawwarah, t.th.
9.
Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
PERTANYAAN:
1.
Apa yang anda ketahui tentang
takhrij hadis, dan apa pula
kegunaannya?
2.
Sebutkan tahapan-tahapan dalam melakukan takhrij hadis!
3.
Bagaimana cara menentukan kesahihan sebuah hadis,apa saja yang harus diteliti?
4.
Jika ditemukan lafal
pertama dari sebuah
hadis, bagaimana
cara mentakhrij selanjutnya?
5.
Sebutkan kitab-kitab yang diperlukan untuk
melakukan takhrij
hadis!
Daftar Pustaka
Abbas Mutawali Hamadah, As-Sunnah
an-Nabawiyah wa
Makanatuh fi at-Tasyri’, (Kairo : Dar al-Qauniyah, t.t)
Abdul Aziz dkk, Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989)
Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm, al-Ihkam fi
Ushul
al-Ahkam, (Kairo :
al-Ashimah, t.th).
Abu>
Abdillah Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad Ahmad
bin Hambal, Juz 12, (Beirut :
Da>r al-Fikr,
1978)
Abu>
Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukha>ri, S}ah}i>h} Bukha>ri, (Beirut :
Da>r al-Fikr,
tt)
Ajjaj al-Kha>t}ib, AS-Sunnah Qabla
al-Tadwi>n, (Beirut : Da>r
al-Fikr, 1997)
Al-A’zami, Studies in Early H}adi>th Literature, (Indianapolis,
Indiana : Islamic Teaching Centre,
1977)
Al-H}asan bin Abd al-Rahman
al-Ramahurmuzi, Al-Muh}addith al-Fa>sil Bain al-Ra>wi wa al-Wa>’I, (Beirut : Da>r al-Fikr, 1984)
Ali Musthafa Yakub, Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000)
Al-Suyu>thi, Tadri>b Al-Ra>wy fi Syarh Taqri>b Al-Nawa>wi>, Juz
2, (Beirut: Da>r Al-Fikr,
1998)
An-Nawawi, At-Taqrib
li An-NawawiFann Ushul al-Hadis,
(Kairo : Abd ar-rahman Muhammad, t.th)
Asy Syatibi, al Muwafaqat fi Ushul
al Ahkam, juz IV, (Beirut : Dar al Fikr, t.t).
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah H}adi>th, (Bandung : PT.
Al- Ma’arif, 1974)
Fazlur Rahman
dkk, Wacana Studi H{adi>th Kontenporer,
(Yogyakarta : Tiara wacana Yogya, 2002)
Hasby ash
Shidiqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu H}adi>th, (Jakarta
: Bulan Bintang, 1974)
Ibn
Al-Sholah, Ulum al-Hadis Muqaddimah Ibn Al-Shahih, (Mekkah : al-Muktabat al-Tijariah Musthafa
Ahmad al-Baz, 1993).
Ibnu al Qayyim al-Jauziyah, A’lam al Muwaqi’im, Jilid
II, (Mesir
: Matba’ah as sa’adah, 1995)
Ibnu Ha>jar Al-Asqalani, Fath Al-Ba>ri, Jilid I, (Beirut :
Da>r Al-fikr wa Maktabah Al-salafiyah, t.t)
Ibnu Hajar al-asqalani, Syarh Nuhbah al-Fikr fi Musthalahah
Ahli
Al-Atsar, (Beirut :
Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1934)
Imam Abdul Al-Din Abdur Rohman bin Al-Fadl, Sunan
Darimi,
Juz.1, (Beirut : Dar-Al-Fikr, tt.)
Jalaludin as-Suyuti, Tadrib ar-Rawy, (Kairo : Maktabah al- Kahiroh, 1956)
Jamal al-Din al-Qasimy, Qawa’id al-Tahdis Min Funun Musthalah
al-Hadis,(Beirut : Dar Al-Nafatis, 1987)
M. ‘Ajjaj al-Khatib,
Ushul al-Hadis
Pokok-Pokok Ilmu Hadis,
Terj.
M.Nur Ahmad Musafiq,
(Jakarta : Gaya Media Pratama,
2007)
M. Ajjaj al-Kha>t}ib, Us}u>l al-H{adi>s, terj. M.Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1998)
M. Hasby As Shidiqi, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadis,
(Semarang : Thoha Putra, 1994)
M. Ibrahim al-Hafnawi, Dirasat Ushuliyah fi al-Sunnah al- Nabawiyah, (Cairo : Dar al-Wafa, 1991)
M., Ajjaj al-Khatib, al-Mukhtashar al-Wajiz fi Ulum al-
Hadis,(Beirut : Muassasat al-Risalah, 1985)
M.M. Azami., Hadis Nabawi
dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994)
Mahmud Abu Rayah, Adlwa’
‘Ala Sunnah al-Muhammadiyah, (Mesir : Dar al-Ma’arif,t.th)
Mahmud al-Tahhan, Taysir Mushthalah
al-hadis, (Beirut : Dar al-
Tsaqafah al-islamiyah, tth.)
Mahmud al-Thohhan, Dasar-Dasar
Ilmu Takhrij dan Studi Sanad, (Semarang : Dina Utama, 1983)
Mahmud Tahhan, Ulumul Hadis, Studi Kompleksitas Hadis Nabi, Terj.Zainul Muttaqin, (Yogyakarta :
Titian Ilahi, 1997)
Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadis, Terj. A.Muhtadi Ridwan, (Malang : UIN Malang
Press, 2007)
Majid Khon dkk, Ulumul Hadis,(Jakarta : PSW UIN Jakarta, 2005)
Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyah, Al-Mu’jam
al-Wajiz, (Mesir: Al- Hay’ah al-’Ammah li Syu’un al-Muthabi’ al-’Amiriyah, 1998)
Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadis , (Surabaya: Bina Ilmu, 1993)
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu Hadis, (Semarang : RaSAIL Media, 2007)
Muh. Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis dan
Metodologis, (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya,
2003)
Muhammad Ajjaj
Al-Kha>t}ib, As-Sunnah
Qabl at-Tadwi>n, (Beirut
: Da>r
al-Fikr, 1981)
Muhammad Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadis,
‘Ulumuh wa Musthalahuh,
(Beirut : Dar al-Fikr, 1989)
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis,(Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 2006), 89.
Muhammad bin Shalih
Al-Utsamain, Ilmu Musthalah Al-Hadis,
terj. Ahmad S. Marzuqi (Yogyakarta : Media Hidayah, 2008)
Muhammad Ibn Mat}ar al-Zahrani, Tadwi>n Al-Sunnah al-
Nabawiyyah, Nash’atihi wa Tat}awwurihi min Al-Qarn
Al-Awwal ila Niha>yat
Al-Qarn Al-Ta>si’ Al-Hijri, (T{aif : Maktabah Al-S{a>diq,
1412 H)
Munzier Suparta, Ilmu H}adi>th, (Jakarta : RajaGrafindo Persada,
2002)
Mustafa al-Siba’I, As-Sunnah
wa makanatuhu fi at-Tasyri’, (Kairo
: Dar al-Qaumiyah, 1949)
Nawawi, Shahih
Muslim Syarh al-Nawawi, J. 18, (Kairo : Matba’ah
al-Misriyah, 1934)
Nuruddin Itr, Ulumul Hadis 2,
Terj. Mujiyo, (Bandung: Rosdakarya, 1997)
Shubhi al-Shalih, Ulum al-Hadis wa Musthalahuh, (Beirut,
Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1969)
Subhi al-Shalih, Ulu>m al-H}adi>th Wa Must}alahuhu, (Beirut : Da>r al-‘Ilm
Al-Malayin, t.t)
Subhi As-shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995)
SyihAbu>ddin Ahmad ibn Ali (Ibnu Ha>jar)
al-Asqalany, Fath
al- Bariy,
juz vii (Kairo : Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959)
SyihAbu>ddin Ibn Ali (Ibn Ha>jar) al-Asqalany,
Tahdhi>b at- Tahdhi>b, Juz IV, (Kairo :
Musthafa al-Babi al-Halaby, 1959)
Syuhudi Ismail, Kaedah
Kesahehan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995)
Utang Ranuwijaya, Ilmu H}adi>th, (Jakarta : Gaya
Media Pratama, 1996)