GENDER DAN PERMASALAHANNYA, CADAR SERTA LGBT
GENDER DAN PERMASALAHANNYA, CADAR SERTA
LGBT
1.
Gener
Konsep
urgen yang perlu dipahami dalam diskursus gender adalah membedakan dua hal yang
berbeda, yaitu gender dan jenis kelamin. Dengan memisahkan makna antara gender,
maka setiap pendidik dan orang tua akan mampu membedakan antara yang kodrati
dengan yang bukan kodrati.
Jenis
kelamin adalah suatu hal yang menunjukkan pada pembagian sifat dua jenis
kelamin manusia secara biologis. Sebagai contoh dari jenis kelamin laki-laki
yaitu memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat kelaki-lakian, seperti
memiliki penis, jakun, serta mampu menghasilkan sperma.
Jenis kelamin perempuan juga memiliki
organ-organ yang menunjukkan sifat perempuan, di antaranya memiliki vagina,
rahim, payudara, serta menghasilkan ovum. Sifat-sifat tersebut melekat
selamnaya pada manusia yang memiliki jenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Secara
biologis, semua organ yang dimiliki baik oleh laki-laki tidak akan bisa ditukar
pada jenis kelamin perempuan. Begitu pula sebaliknya, seluruh organ yang
dimiliki perempuan tidak akan dibenarkan untuk ditukar dengan organ laki-laki.
Inilah yang disebut ketentuan ilahi yang tidak
dibenarkan untuk dipertukarkan dan bersifat kodrati. Gender adalah sifat yang
melekat pada laki-laki dan perempuan yang dibangun dari interaksi sosial dan
budaya.
Kedua
sifat tersebut esensinya dapat dipertukarkan. Dalam kehidupan sehari dapat
ditemukan bahwa ada laki-laki yang memiliki sifat-sifat perempuan seperti lemah
lembut dan keibua. Hal inilah yang disebut sebagai hal yang bukan kodrati.
Gender juga dipahami sebagai konstruksi sosial yang terkait sikap, peraturan,
tanggungjawab, dan pola tingkah laku laki-laki dan perempuan dalam segala
kehidupannya.
Dalam pemahaman gender, dikenal juga dengan
sifat gender, peran gender, dan ranah gender. Sifat gender merupakan sifat dan
tingkah laku yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Peran gender merupakan
hal-hal atau perilaku yang wajar atau tidak dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan yang berlandaskan pada value (nilai), kultur, serta norma masyarakat
yang berlangsung pada waktu tertentu.
Sedangkan
ranah gender yaitu ruang bagi laki-laki dan perempuan untuk memainkan perannya
masing-masing. Ranah dalam hal ini terbagi dua yaitu ranah domestik dan publik
Ranah domestik yaitu ruang atau wilayah sekitar kehidupan rumah tangga seperti
sumur, dapur dan kasur, sementara wilayah publik yaitu ruang atau wilayah
pekerjaan umum seperti pekerjaan di kantor, pasar dan pusat-pusat perbelanjaan.
Sastryani
menyatakan bahwa konsepsi terhadarp patriarki merupakan sistem sosial yang
mementingkan garis turunan bapak (esensi laki-laki) menjadi pertimbangan utama
untuk ditempatkan sebagai obyek pelaku dari sistem sosial.
Dampak dari konsepsi tersebut pada akhirnya
berimplikasi terhadap kehidupan sehari-hari pada masyarakat umum. Sehingga mereka
mengasumsikan bahwa lakilaki (bapak) sebagai pendamping bagi perempuan.
Presepsi ini pada akhirnya menghasilkan persepsi gender, yakni laki-laki dan
perempuan mempunyai karakterisktik dan sifat yang berbeda, laki-laki memiliki
dominasi untuk mendapatkan penghargaan, penghormatan dan menjaga kewibaannya.
Kehidupan masyarakat yang menganut sistem
garis kebapakan (patriarki), memposisikan laki-laki sebagai pemimpin dan
pengambil segala keputusan, sementara perempuan tidak diberikan ruang dan
posisi yang signifikan dalam segala lini kehidupan bermasyarakat. Kaum
perempuan dianggap berada pada posisi kelas kedua (the second class) di bawah jenis
kelamin laki-laki.
Perempuan
diposisikan sebagai istri yang bertugas mendampingi, melengkapi, menghibur, dan
melayani suami (the patriarch), sementara anak diposisikan sebagai generasi
penerus dan penghibur ayahnya. Berbeda dengan patriarki, pada masyarakat yang
menganut sistem jalur keibuan (matriarki) memposisikan perempuan di atas
laki-laki.
Mereka
memberikan ruang yang cukup besar kepada kaum perempuan untuk memerankan peran
laki-laki seperti menjadi pemimpin dan pengambil keputusan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Praktik
ketimpangan gender terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu:
a.
Marginalisasi atau proses peminggiran/pemiskinan, yang mengakibatkan kemiskinan
secara ekonomi. Seperti dalam memperoleh akses pendidikan, seperti pandangan
yang menganggap bahwa perempuan tidak penting untuk mengenyam pendidikan yang
tinggi dikarenakan nantinya akan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
b.
Subordinasi, yaitu pemahaman yang meyakini salah satu jenis kelamin dianggap
lebih unggul dan urgen dibanding jenis kelamin lain. Pemahaman in juga
memposisikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Hal ini dapat dilihat
pada masa lampau dimana perempuan tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang
sama seperti laki dalam bidang pendidikan. Pada saat yang bersamaan, ketika
kondisi keuangan keluarga pas-pasan maka yang diprioritaskan untuk mengenyam
pendidikan adalah laki-laki.
c. Stereotipe,
yaitu labeling (pelabelan) terhadap seseorang atau kelompok yang tidak sesuai dengan realita yang terjadi.
Kegiatan ini secara umum akan selalu melahirkan ketidakadilan. Hal ini
berimplikasi kepada terjadinya penindasan dan ketidakadilan bagi kaum
perempuan. Sebagi contoh berkembang pemahaman di masyarakat bahwa perempuan
hanya mampu berperan untuk mengerjakan tugas-tugas rumah tangga. Sementara
laki-laki memiliki peran yang lebih dominan dalam hal melakukan pekerjaan di
luar rumah seperti mencari nafkah, menjalankan bisnis, bahkan aktif dalam
perpolitikan.
d.
Violence yaitu suatu bentuk serangan terhadap fisik maupun psikologis
seseorang. Kekerasan terhadap seseorang tidak hanya tertuju pada fisik saja
seperti tindakan asusila dan lain sebagainya, namun juga mengarah pada psikis
seseorang.
e. Beban
ganda yaitu tanggung jawab yang dipikul satu jenis kelamin tertentu secara
berlebihan.Hal-hal tersebut di atas bermuara pada terjadinya diskriminasi
antara laki-laki dan perempuan di lingkungan keluarga dan maupun sosial
masyarakat.
Membahas
tentang gender berarti memberikan ruang dan kesempatan yang sama antara
laki-laki untuk berkontribusi dalam pembangunan, ekonomi, politik dan budaya.
Dengan demikian kesetaraan gender bermakna memberikan akses yang sama kepada
laki-laki dan perempuan untuk menikmati pembangunan.
Gender dalam Pandangan Islam Persepsi
masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan terbangun melalui proses
internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu pandangan gender tidak terlepas
dari dominasi budaya laki-laki, bahkan dominasi budaya laki-laki tidak hanya
mempengaruhi perilaku masyarakat saja, tetapi juga penafsiran terhadap
teks-teks agama (Al-Qur’an dan al-Hadits khususnya yang berkaitan juga tidak
luput dari budaya laki-laki.
Hal ini
sering kali mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan sebagai alasan untuk
menolak kesetaraan gender (Arifin, et.al: 238). Akibat lain yang tidak kalah
pentingnya ialah timbulnya anggapan dan tuduhan dari pihak yang tidak menyukai
Islam atau yang dangkal pemahamannya terhadap Islam bahwa bahwa dalam ajaran
Islam penuh diwarnai dengan ketidakadilan, terutama yang berkaitan dengan masalah
gender, seperti masalah poligami, pembagian harta warisan, dan lain-lain.
Salah satu tema pokok ajaran Islam adalah
persamaan derajat di antara manusia, baik laki-laki atau perempuan, antar suku
bangsa atau keturunan. AlQur’an tidak membeda-bedakan derajat kemuliaan manusia
atas dasar itu semua, melainkan tinggi rendahnya derajat kemuliaan manusia itu
diukur dengan tinggi rendahnya tingkat ketakwaan dan nilai-nilai pengabdian
terhadap Allah Swt.
Mengenai
kedudukan perempuan dalam pandangan Islam tidak seperti yang diduga dan
dipraktikkan oleh sebagian anggota masyarakat, tidak pula seperti yang
dituduhkan oleh orang-orang yang tidak menyukai Islam. Ajaran Islam (AlQur’an),
sangat memuliakan dan memberikan perhatian serta penghormatan yang besar kepada
perempuan tidak ubahnya seperti halnya kepada laki-laki. Allah Swt telah
berfirman dalam Q.S. an-nisa’ [4] ayat 1, Q.S. al-hujarat [49] ayat 13 dan Q.S.
an-nahl [16] ayat 97: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu
yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan
pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah
memperkembangbiakkan lakilaki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada
Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu” (Q.S. an-nisa’ [4] ayat 1).
“Wahai
manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang
perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku agar kamu
saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”
(Q.S. al-hujarat [49] ayat 13).
‘‘Barangsiapa
mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman,
maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri
balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
(Q.S. an-nahl [16] ayat 97).
Ketiga
ayat tersebut menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an) menolak pandangan-pandangan
yang membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Keduanya (laki-laki maupun
perempuan) berasal dari jenis yang sama (jenis manusia), memiliki peluang dan
kesempatan yang sama untuk memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan. Menurut
Nurmila bahwa dalam Islam adalah agama anti-patriarki, yang menjunjung tinggi
keadilan dan menghargai manusia bukan atas dasar jenis kelaminnya, melainkan
usahanya.
Pemahaman
baru terhadap agama dengan menggunakan perspektif keadilan gender, yang lebih
bisa membuka mata masyarakat Muslim akan pesan keadilan gender dalam al-Qur’an.
Allah menjadikan mereka (manusia) beraneka ragam suku dan bangsa agar saling
mengenal satu sama lain untuk berkasih sayang dan saling memuliakan, bukan
untuk saling menghinakan dan saling merendahkan. Tanpa membedakan jenis
kelamin, suku, bangsa, warna kulit dan sebagainya Allah menjanjikan kehidupan
yang baik (kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang beriman dan bertakwa
kepada-Nya.
Jenis
kelamin laki-laki atau perempuan tidaklah menjadi ukuran kemuliaan, akan tetapi
iman dan takwa itulah yang menjadi ukuran kemuliaan yang sebenarnya. Allah
tidak membebani hambanya dengan sesuatu pekerjaan diluar kesanggupannya.
Adanya
perbedaan dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di dalam ajaran
Islam sama sekali bukan untuk merendahkan martabat perempuan, melainkan
pembagian tugas secara proporsional yang justru untuk memuliakan perempuan.
Sesuai dengan kodratnya, laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan struktur anatomi
tubuh dan kekuatan yang berbeda.
Ada jenis pekerjaan yang hanya dapat dilakukan
oleh perempuan, ada pula yang hanya sesuai untuk laki-laki. Pekerjaan hamil,
menyusui, melahirkan, tentu hanya bisa dilakukan oleh perempuan, sementara itu
pekerjaan berat yang membutuhkan kekuatan fisik (otot) tentu tidak sesuai jika
harus dibebankan kepada perempuan. Seandainyapun ada pekerjaan fisik yang dapat
dikerjakan oleh perempuan, tentu harus disesuaikan dengan kemampuannya. Pada
dasarnya, perempuan juga boleh melakukan pakerjaan apa saja selama mereka
sanggup mengerjakannya, namun jika perempuan bahkan juga laki-laki harus
dibebani dengan pekerjaan diluar batas kesanggupannya, maka hal ini tentu
melanggar prinsip keadilan.
Laki-laki
dan perempuan ditakdirkan untuk berpasangan atas dasar persamaan derajat, duduk
sama rendah berdiri sama tinggi, saling melengkapi dan saling memuliakan antara
yang satu dengan yang lain yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan, bukan
untuk saling berhadapan dan saling merendahkan. Tidak ada kelebihan derajat
laki-laki atas perempuan dan sebaliknya kecuali karena ketakwaannya kepada
Allah Swt.
Kesalahpahaman
di dalam memahami ajaran Islam tentang gender antara lain disebabkan karena
orang tersebut tidak meletakkan masalah gender itu dalam Islam sebagai suatu
sistem, melainkan ia melihat persoalan gender itu sebagai suatu aspek ajaran
Islam yang terpisah dari aspek-aspek ajaran Islam yang lainnya. Jika hendak
menilai ajaran Islam, seseorang harus melihat Islam sebagai suatu sistem. Orang
tidak boleh menilai Islam pada aspek tertentu saja yang terpisah dari
sistemnya.
Secara
akademis hal demikian tidak dapat dibenarkan. Misalnya tentang pembagian
warisan yang dinyatakan secara sharih (jelas) di dalam al- Qur’an, bahwa anak
laki-laki mendapat bagian lebih besar, yakni dua kali dari anak perempuan.
Melihat hal ini, orang segera mengambil kesimpulan bahwa ajaran Islam tidak
adil.
Kesimpulan semacam ini tidak sah karena ada
kesalahan pada segi epistemologi. Demikian pula dalam masalah poligami atau
masalah-masalah lain yang terkait dengan gender maupun yang tidak.
Jika ada
pernyataan bahwa dalam kitab suci al-Qur’an terdapat unsur ketidakadilan, maka
yang harus dilakukan adalah membaca ulang dan mencoba memahami al-Qur’an secara
komprehensif. Apabila setelah menelaah ulang masih juga merasa ada
ketidakadilan, yang perlu diperhatikan adalah mungkin saja ada kesalahan
persepsi manusia dalam mendifinisikan sebuah konsep keadilan.
Cadar
Bagi Wanita Cadar bagi wanita, menurut Imam Asy Syafi’i ra menegaskan dalam
al-Umm (1/109): وكل المرأة عورة إًل كفيها ووجهها “Dan setiap wanita
adalah aurat kecuali kedua telapak tangan dan wajahnya” Pendapat ini yang
masyhur dari pendapat ulama Syafi’iyah yang ada.
Imam
Nawawi ra dalam al-Majmu’ (3/169) mengatakan, ان
المشهور من مذهبنا أن عورة الرجل ما بين سرته وركبته وكذلك اًلمة وعورة الحرة جميع
بدنها اًل الوجه والكفين وبهذا كله قال مالك وطائفة وهي رواية عن احمد “Pendapat
yang masyhur di madzhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat pria adalah antara pusar
hingga lutut, begitu pula budak wanita. Sedangkan aurat wanita merdeka adalah
seluruh badannya kecuali wajah dan telapak tangan.
Demikian
pula pendapat yang dianut oleh Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi
salah satu pendapat Imam Ahmad.” Ibnu Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada
Imam Asy Syafi’i dalam alAwsath (5/70), beliau katakan dalam kitab yang sama
(5/75), “Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali wajah
dan kedua telapak tangannya”.
Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim
mengatakan, “Sungguh sangat aneh sebagian orang yang menukil dari ulama
Syafi’iyah dalam masalah ini, tidak bisa membedakan antara dua hal: a. Melihat
wajah dan telapak tangan, itu boleh selama aman dari fitnah (godaan). Hal ini
disepakati oleh ulama Syafi’iyah.
b. Hukum
menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, telah terbukti di atas bahwa ulama
Syafi’iyah membolehkan tanpa syarat. Mereka tidak bisa membedakan dua hal ini
sampai akhirnya rancu.
Sehingga
mereka pun mensyaratkan hal kedua di atas (hukum menyingkap wajah) selama aman
dari fitnah.
Seperti
kita contohkan lainnya, beda antara hukum suara wanita aurat atau bukan? dengan
hukum wanita memberi salam pada laki-laki boleh ataukah tidak?. Suara wanita
bukanlah aurat sebagaimana diterangkan dalam hadits yang shahih. Sedangkan
memberi salam pada laki-laki itu disyaratkan boleh selama aman dari fitnah.”
(Jilbab al-Mar’ah al-Muslimah, 192-193)
Dalam
madzhab Syafi’i jika dikatakan pendapat yang masyhur berarti adalah pendapat di
kalangan ulama madzhab (bukan pendapat Imam Syafi’i) dan merupakan pendapat
yang lebih tersohor, namun ada pendapat ulama Syafi’iyah lainnya yang dalilnya
juga kuat. Artinya ada sebagian ulama Syafi’iyah yang juga punya pendapat bahwa
menutup wajah itu wajib dan dalilnya sama kuat. Namun sebagaimana kata Imam
Nawawi, pendapat yang menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan selain
wajah dan telapak tangan merupakan pendapat yang lebih tersohor di madzhab
Syafi’iyah.
Ada beda pendapat antara ulama Syafi’iyah
terdahulu dan belakangan. Ulama Syafi’iyah membedakan bahwa aurat wanita adalah
seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, ini berlaku dalam shalat.
Sedangkan aurat di luar shalat adalah seluruh badan termasuk wajah dan telapak
tangan. Namun yang dipahami oleh Syaikh ‘Amru di atas, ulama Syafi’iyah
terdahulu (Imam Asy Syafi’i dan Imam
Nawawi) memutlakkan aurat wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan
telapak tangan.
Jika diperhatikan beda antara hukum memandang
wajah wanita dan hukum menyingkap wajah, ini dua hal dua hal yang berbeda.
Dalam buku “al-Niqab adah wa laisa ibadah” yang ditulis Hamdi Zaqzuq, Menteri
Perwaqafan tahun 2008, menyatakan para ulama Mesir senior berpendapat bahwa
cadar adalah sebagai tradisi kaum wanita bukan ibadah. Lebih rinci pada buku
itu dengan mengutip pandangan Syeikh Muhammad al-Ghazali, dalam bukunya
Al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahli al-Fiqh wa al-Rakyi, bahwa Islam telah
mewajibkan bagi wanita untuk membuka wajah dalam ibadah haji, ibadah shalat dan
tidak dalil dalam al-Qur’an hadis dan akal yang menyuruh menutup wajah.
Ibadah perlu dalil yang tegas, memang
diketahui bahwa sebagian kaum wanita pada masa jahiliyah dan awal Islam
mengenakan cadar penutup wajah, tetapi perbuatan ini hanya tradisi bukan
ibadah.
4. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan
Transgender) Ada 4 istilah yang terangkum dalam singkatan LGBT ini yaitu:
1) Lesbian artinya wanita yang mencintai atau
merasakan rangsangan seksual dengan sesama wanita;
2) Gay adalah istilah yang digunakan bagi
lelaki penyuka sesama lelaki;
3) Biseksual adalah orang yang memiliki
ketertarikan kepada lelaki sekaligus kepada perempuan;
4) Transgender adalah orang yang memiliki
identitas gender atau ekspresi gender yang berbeda dengan seksnya yang ditunjuk
saat lahir (waria/wadam).
Empat
istilah di atas disebut homoseksual, yaitu keadaan tertarik kepada orang lain
dari jenis kelamin yang sama. Wahbah Az-Zuhaili mengidentifikasikan tiga
istilah yang relevan dengan LGBT yaitu zina, liwath dan sihaq.
Pertama,
Zina yaitu hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan yang bukan
pasangan suami istri yang sah.
Kedua, homoseksual antara lelaki dengan
lelaki. Ketiga, sihaq (lesbi) yaitu hubungan homoseksual antara wanita dan
wanita.
Para ulama sepakat bahwa liwath (gay) dan
sihaq (lesbi) statusnya lebih buruk dibandingkan zina. Allah menyebutkan
perilaku homoseksual (gay dan lesbi) dalam al-Qur’an pada ayat-ayat yang
mengisahkan kehidupan ummat Nabi Luth as. Dari 27 ayat yang memuat kisah Nabi
Luth as. dengan kaumnya, terdapat tiga ayat yang menyebut perilaku homoseksual
(gay dan lesbi) dengan “fahisyah”. Selain pada kedua ayat di atas (Q.S.
al-A’raf [7]: 80 dan Q.S. al-Ankabut [29]: 28 satu ayat lagi terdapat pada Q.S.
an-Naml [27]: 54.
“Dan (ingatlah kisah) Lut, ketika dia
berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (keji),
padahal kamu melihatnya (kekejian perbuatan maksiat itu)?” (Q.S. an-Naml [27]:
54) Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan: “Dan sesungguhnya
Kami telah mengutus Luth, dan ingatkanlah Luth ketika ia berkata kepada
kaumnya. Luth adalah putra Haran, putra Azar, putra saudara laki-laki Nabi
Ibrahim as. yang telah beriman bersama Nabi Ibrahim as. dan hijrah bersamanya
ke negeri Syam. Allah mengutus Nabi Luth as. kepada kaum Sodom dan
daerah-daerah sekitarnya untuk menyeru mereka agar menyembah Allah,
memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebajikan, melarang mereka berbuat
munkar. Saat itu kaum Sodom tenggelam dalam perbuatan dosa.
Hal-hal
yang diharamkan dan perbuatan keji yang mereka ada-adakan dan belum pernah
dilakukan oleh seseorang pun keturunan Adam dan juga oleh makhluk lain, yaitu
mendatangi orang laki-laki, bukan perempuan (homoseks). Kota Sodom (bahasa
Arab: سدوم/ sadūm) inilah yang dari padanya lahir istilah sodomy. Dalam
bahasa Ibrani, sodom berarti terbakar dan Gemorah (bahasa Arab: 11 Huzaemah
Tahido Yanggo, “Penyimpangan Seksual (LGBT) dalam Pandangan Hukum Islam”,
Misykat, Volume 03, Nomor 02, (Desember 2018), hlm. 1 13 عمورة‘/amūrah)
berarti terkubur. Di dalam al-Quran kaumnnya Nabi Luth as disebut
“Al-Mu’tafikat” yang artinya di jungkir-balikkan (Q.S. an-Najm [53]: 53) ا
“Dan
prahara angin telah meruntuhkan (negeri kaum Lut)” (Q.S. an-Najm [53]: 53)
Perbuatan tersebut merupakan suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh seorang
keturunan Adam dan belum pernah terlintas dalam hati mereka untuk melakukannya
selain kaum Sodom. Semoga laknat Allah tetap menimpa mereka”. Sehubungan dengan
firman Allah: “Dan (Kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada
kaumnya, “Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan
oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini)” (Q.S. al-A’raf [7]: 80) Amr bin
Dinar berkata: “Tidak seorang lelaki pun menyetubuhi lelaki kecuali kaum Luth
yang pertama melakukannya”.
Al-Walid
bin Abdul Malik, Khalifah Bani Umayah, pendiri Masjid Jami’ Damaskus berkata:
“Seandainya Allah tidak menceritakan kepada kita tentang berita kaum Luth,
niscaya kita tidak percaya bahwa ada lelaki yang menaiki lelaki”. Para ahli
tafsir juga mengatakan: “Sebagaimana kaum lelaki, kaum wanitanya Nabi Luth juga
melampiaskan nafsunya dengan sesama wanita”.
Al-Quran menyebutkan perilaku homoseksual ini
sebagai “fâhisyah” karena kaum gay dalam menyalurkan nafsu seksualnya dengan
cara sodomi (liwath) yang secara istilah syariat definisinya adalah memasukan
kepala penis ke dalam dubur/anus pria lainnya. Perilaku ini sudah tentu sangat
menjijikan, karena seorang laki-laki menyetubuhi dubur/anus laki-laki lain,
sedangkan di dalam dubur itu terdapat kotoran besar yang bau, kotor dan jorok,
sehingga manusia yang normal pasti menolaknya. Al-Quran mengisyaratkan dampak
negatif perilaku gay sebagai berikut:
“Apakah
pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di
tempat-tempat pertemuanmu?” Maka jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan,
“Datangkanlah kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang
benar.” (Q.S. al-Ankabut [29]: 29) Menurut Tafsir Jalalain, yang di maksud
“Taqtha’ûnas sabîl” adalah melakukan perbuatan keji di jalan yang dilewati
manusia, sehingga manusia tidak mau lagi melewati jalan itu.
Muhammad
Quraish Syihab dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan ayat di atas sebagai berikut:
“Sesungguhnya yang kalian lakukan (homoseksual) adalah kemungkaran yang
membinasakan, kalian melakukan perbuatan keji dengan para lelaki, kalian
memutuskan jalan untuk mengembangkan keturunan sehingga hasilnya adalah
kehancuran.
Kalian
melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam masyarakat tanpa rasa takut kepada
Allah dan rasa malu di antara kalian”. Ibnu Katsir ketika menjelaskan kalimat
“fî nâdîkum al-munkar” (mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan
kalian) menurut Mujahid, perbuatan mungkar tersebut adalah sebagian mereka
menyetubuhi sebagian yang lain di depan mata sekumpulan manusia.
Menurut
Aisyah ra dan Al Qasim, perbuatan munkar tersebut ialah mereka berkumpul di
tempat-tempat pertemuan sambil saling kentut dan tertawa-tawa. Pendapat lain
menyebutkan bahwa perbuatan munkar mereka adalah adu kambing (domba) dan sabung
ayam. Semua perbuatan itu merekalah yang mula-mula melakukannya.
Bahkan perbuatan mereka jauh lebih jahat dari
pada sekadar itu. Dari uraian di atas diketahui bahwa LGBT menimbulkan berbagai
dampak negatif di masyarakat dengan terputusnya generasi (keturunan) dan
berbagai tindakan kejahatan lain. Abdul Hamid Al-Qudah, spesialis penyakit
kelamin menular dan AIDS di Asosiasi Kedokteran Islam Dunia menjelaskan dampak-dampak
yang ditimbulkan LGBT sebagai berikut:
1)
Dampak kesehatan 78 % pelaku homoseksual terjangkit penyakit-penyakit menular
dan rentan terhadap kematian. Rata-rata usia laki-laki yang menikah adalah 75
tahun, sedangkan rata-rata usia gay adalah 42 tahun, dan menurun menjadi 39
tahun jika menjadi korban AIDS. Rata-rata usia wanita yang bersuami dan normal
adalah 79 tahun, sedangkan rata-rata usia lesbian adalah 45 tahun.
2) Dampak sosial Seorang gay akan sulit
mendapatkan ketenangan hidup karena selalu berganti ganti pasangan. Penelitian
menyatakan: “Seorang gay mempunyai pasangan antara 20-106 orang pertahunnya.
Sedangkan pasangan zina saja tidak tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya”.
Sebanyak 43 persen orang gay yang didata dan diteliti menyatakan bahwa seumur
hidupnya melakukan homoseksual dengan 500 orang. 28 persen melakukannya dengan
lebih dari 1,000 orang. 79 persen melakukannya dengan pasangan yang tidak
dikenali sama sekali dan 70 persen hanya merupakan pasangan kencan satu malam
atau beberapa menit saja. Berdasarkan penelitian tersebut, melegalkan pasangan
LGBT dalam ikatan pernikahan pada hakikatnya adalah tindakan yang sia-sia.
3) Dampak pendidikan Penelitian membuktikan
bahwa pasangan homo menghadapi permasalahan putus sekolah lima kali lebih besar
dari pada siswa normal karena mereka merasakan ketidakamanan dan 28 persen dari
mereka dipaksa meninggalkan sekolah.
4) Dampak keamanan Kaum homoseksual
menyebabkan 33 persen pelecehan seksual pada anakanak di Amerika Serikat (AS),
padahal populasi mereka hanyalah 2 persen dari keseluruhan penduduk negara itu.
Sementara itu, di Indonesia melalui riset dengan bantuan Google dalam kurun
waktu 2014 hingga 2016, telah terjadi 25 kasus pembunuhan sadis dengan latar
belakang kehidupan pelaku dan atau korban dari kalangan pelaku homoseksual. 16
Mengingat buruknya dampak perilaku homoseksual ini, Allah telah menghukum
pelakunya dengan hukuman yang sangat berat. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Hijr
[15]: 72-74.
“(72) (Allah berfirman), “Demi umurmu
(Muhammad), sungguh, mereka terombang-ambing dalam kemabukan (kesesatan).” (73)
Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan
terbit. (74) Maka Kami jungkirbalikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka
dengan batu dari tanah yang keras”. (Q.S. al-Hijr [15]: 72-74)
Ibnul Qayyim menerangkan, karena dampak dari
perilaku gay adalah kerusakan yang besar, maka balasan yang diterima di dunia
dan akhirat adalah siksaan yang sangat berat di dunia dan di akhirat.Pada
rangkaian ayat-ayat ini, Allah menjelaskan tiga bentuk siksaan sekaligus yang
ditimpakan kepada pelaku gay di zaman Nabi Luth Alaihi Salam yaitu mereka
disiksa dengan suara keras mengguntur yang terjadi menjelang matahari terbit,
bersama dengan itu, negeri mereka yang terangkat tinggi ke udara kemudian
dibalik yang semula di atas menjadi di bawah, sambil dihujani batu yang keras
yang berjatuhan secara bertubi-tubi di atas kepala mereka. Sebagaimana yang
disebutkan di ayat lain, yaitu Q.S. Hud [11]: 82-83: “(82) Maka ketika
keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Lut, dan Kami
hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar, (83) yang
diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim”
Q.S. Hud [11]: 82-83) Al- Bukhari menjelaskan “Sijjil” adalah batu yang keras
dan besar.
Ulama lain berkata: “yaitu adalah batu tanah
liat yang di bakar”. Ketika menjelaskan kata “musawwamatan” (yang diberi
tanda), Ibnu Katsir menukilkan pendapat Qotadah dan Ikrimah (dua ahli tafsir
generasi tabiin): “Bahwa kaumnya Nabi 17 Luth As. dihujani dengan batu yang
ditandai dengan terpahat di atasnya namanama orang yang akan ditimpa batu
tersebut”. Batu itu memercikkan bara dan mengenai penduduk negeri dan penduduk
yang terpencar di berbagai desa sekitarnya.
Suatu
saat, seorang sedang berbicara di tengah-tengah manusia, tiba-tiba ia tertimpa
batu dari langit dan jatuh di antara mereka. Batu-batu itu bertubi-tubi
menghujani mereka hingga seluruh negeri dan mereka mati semua. Menurut para
ahli tarikh (sejarah), kehancuran kaumnya Nabi Luth As yang bergelimang maksiat
itu terjadi 4,000 tahun yang lalu. Tidak ada petunjuk lokasi di mana peristiwa
itu terjadi hingga pada tahun 1924, seorang ahli purbakala bernama Wiliam
Albert berangkat menuju Laut Mati untuk melakukan penelitihan di sana. Sodom
dan Gemora terletak di atas sesar Moab dan pembinasaan dua kaumnya Nabi Luth As
ini diinterpretasikan terjadi melalui serangkaian bencana geologi dengan urutan:
1) Pergerakan sesar Moab
2) Gempa dengan magnitude 7,0 + SR yang
menghancurkan kota-kota dan sekitarnya serta likuifaksi yang menenggelamkan
sebagian wilayah kota-kota.
3) Erupsi gunung garam dan gunung lumpur yang
meletuskan halit, anhirdit, batu-batuan, aspal, lumpur, bitumen dan belerang.
4)
Kebakaran kota-kota di sekitarnya karena material hidrokarbon yang diletuskan
terbakar sehingga menjadi hujan api dan belerang. Bencana kotastropik ini telah
meratakan Sodom dan Gemorah dan menewaskan seluruh penduduk kecuali Nabi Luth
Alaihi salam dua puterinya dan seorang yang beriman kepadanya.
Seluruh
ulama sepakat (ijma’) atas keharaman homoseksual. Ibnu Qudamah berkata: “Ulama
sepakat atas keharaman liwath (sodomi). Allah telah mencelanya dalam kitab-Nya
dan mencela pelakunya, demikian pula Rasulullah Saw juga mencelanya. 18 Beliau
bersabda: “Allah mengutuk orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth.
Allah
mengutus orang yang berbuat seperti perbuatan Nabi Luth. Beliau bersabda sampai
tiga kali”. (H.R. Ahmad). Beliau juga telah menetapkan hukuman bagi pelaku
homoseksual ini dalam sabdanya: “Barang siapa yang kalian dapati melakukan
perbuatan kaum Nabi Luth Alaihi salam maka bunuhlah pelaku dan pasangannya”.
(H.R. At-Tirmidzi).
Beliau
mengatakan perbuatan homoseksual adalah sama dengan Zina, sebagaimana sabdanya:
“Apakah seorang lelaki mendatangi lelaki maka keduaduanya telah berzina dan
apabila seorang dan apabila wanita mendatangi wanita maka maka kedua-duanya
telah berzina”. (H.R. Al-Baihaqi) Wahbah Az-Zuhaili meriwayatkan hadist ini
dari Abu Musa Al-Asy’ari ra. Berdasarkan hadis-hadis di atas, para ulama
berbeda pendapat tentang hukuman bagi pelaku homoseksual.
Imam
Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa tindakan homoseksual
mewajibkan hukuman Hadd karena Allah memperberat hukuman bagi pelakunya dalam
kitab-Nya sehingga pelakunya harus mendapatkan hukuman hadd zina karena adanya
makna perzinaan di dalamnya.
Menurut
ulama Syafi’iyah, hukuman hadd bagi pelaku homoseksual adalah sama dengan
hukuman hadd zina. Jika pelakunya muhshan (sudah beristri atau bersuami) wajib
dirajam sampai mati. Sedangkan jika pelakunya (belum beristri atau belum
bersuami) di cambuk 100 kali dan diasingkan.ghairu muhshan Sementara itu, menurut
Amir Abdul Aziz, Guru Besar Fiqh Perbandingan di Universitas dan Najah
Al-Wathaniyah, Nablus, Palestina, pelaku homoseksual baik muhshan maupun ghairu
Muhson hukuman haddnya adalah rajam. Pendapat ini sama dengan pendapat ulama
Malikiyah dan pendapat ulama Hanafiah dalam salah satu versi riwayat yang
paling kuat dari Imam Ahmad. Ketika menjelaskan hadist riwayat Imam At-Tirmidzi
di atas,
Imam
AshShan’ani (1059-1182 H) dalam “Subulus salam” mengatakan ada 4 pendapat
tentang hukuman bagi pelaku homoseksual: 19
1) Dihukum dengan hadd zina yaitu dirajam bagi
yang muhshan dan dijilid bagi yang ghairu muhshan.
2)
Dibunuh baik pelaku maupun obyeknya baik muhshan maupun ghairu muhshan.
3) Dibakar dengan api, baik pelaku maupun
obyeknya. Ini adalah pendapat para sahabat Rasulullah Saw.
4)
Dilempar dari tempat yang tinggi dengan kepala di bawah kemudian dilempari
batu. ini adalah pendapat Abdulllah Bin Abbas ra. Adapun menurut Imam Abu Hanifah,
pelaku homoseksual hanya dihukum ta’zir karena tindakan homoseksual tidak
sampai menyebabkan percampuran nasab.
Sedang ta’zirnya adalah dimasukkan ke penjara
sampai bertaubat atau sampai mati. Dari uraian di atas, Islam memandang bahwa
perilaku LGBT bukanlah penyakit atau genetik tetapi merupakan tindak kejahatan.
Islam
menyebut pelakunya dengan sebutan yang sangat buruk antara lain:
(a)
Al-Mujrimun (para pelaku kriminal) (Q.S. al-A’raf[7]: 84)
(b) Al-Mufsidun (pelaku kerusakan) (Q.S.
al-Ankabut [29]: 30),
(c)
Az-Zalimum (orang yang menganiyaya diri) (Q.S. Al-Ankabut [29]: 31) Apa yang
dinyatakan al-Quran ini adalah benar. Susan Cohran, seorang psikolog dan ahli
epidemiologi dari University of California (AS) berkata: “Tidak masuk akal
memasukkannya ke dalam buku dan berkata, “Ini adalah penyakit” jika tidak ada
bukti bahwa itu adalah penyakit”. Demikian kata Cohran menanggapi soal gay
dalam sebuah panel yang diselenggarakan Lembaga PBB untuk kesehatan, WHO (World
Health Organization).
Untuk
mencegah kejahatan yang sangat membahayakan ini, Islam memberikan beberapa
ketentuan, antara lain:
1)
Merendahkan pandangan/menundukan pandangan.
2)
Berpakaian yang menutup aurat.
3)
Memperbanyak puasa sunnah.
4)
Memisahkan tempat tidur anak ketika ketika sudah berumur 10 tahun. 20
5) Menghindari perilaku wanita menyerupai pria
dan sebaliknya. Sikap tomboy wanita dan lemah gemulai seorang pria dilarang
dalam Islam.
6)
Memilih teman pergaulan dan menghindari pergaulan bebas.
7)
Mewujudkan keluarga harmonis yang penuh ketenangan dan diliputi kasih sayang.
8) Rajin dalam beribadah terutama shalat dan
membaca Al-Quran.